Terciptanya masyarakat bersih tanpa pornografi tampaknya masih jauh dari harapan. Rencana pengesahan RUU Pornografi menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR akhir September tahun ini kembali urung dilakukan menyusul kontroversi alot antara pihak yang pro dan yang kontra.
Pihak yang pro tampaknya sudah begitu muak dengan merebaknya pornografi yang berujung pada kerusakan masyarakat. Sebaliknya, pihak yang kontra menyembunyikan alasan ideologisnya di balik alasan kebebasan dan hak asasi. Pertanyaannya, begitu dilematiskah upaya memberangus pornografi?
Tarik Ulur, Mengapa Terjadi?
Jika dicermati, 4 kali revisi draft RUU APP hingga menjadi RUU Pornografi sama sekali tak pernah mengarah pada perubahan asasi. Faktanya, semua draft ini masih ’tegak’ di atas paradigma yang sama, yakni sekularisme dan pragmatisme. Dari sisi substansi, RUU ini tak memiliki arah yang jelas hingga terus mengalami distorsi dan bahkan cenderung akomodatif terhadap prinsip-prinsip kebebasan. Ini terlihat dari perubahan-perubahan standar definisi serta adanya pasal-pasal pengecualian yang rentan penyalahgunaan. Padahal persoalan paradigma dan definisi ini merupakan entry point bagi penyusunan UU secara keseluruhan dan bahkan menjadi kunci bagi efektif-tidaknya pemberlakuan UU dalam mencegah eksploitasi seksualitas di tengah-tengah masyarakat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perjalanan RUU ini mandek dan terdistorsi. Pertama: penerapan asas sekularisme dan sistem demokrasi oleh negara. Diakui atau tidak, Indonesia adalah negara sekular yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Kalaupun ada, peran agama dibatasi hanya pada domain privat, semisal ritual peribadatan, dan sebagian domain kelompok, semisal pengaturan masalah perdata (Nikah-Talak-Cerai-Rujuk/NTCR). Adapun interaksi kemasyarakatan lainnya (poleksosbudhankam) diatur berdasarkan kehendak rakyat yang direpresentasikan oleh ’wakil-wakil’ mereka di DPR. Berdasarkan kehendak rakyat inilah DPR memproduksi berbagai undang-undang yang ’dianggap’ bisa menyelesaikan berbagai problem di tengah kehidupan mereka.
Pada tataran praktis, gagasan sekularisme diimplementasikan oleh sistem demokrasi. Sebagaimana asasnya, sistem ini juga menjadikan ’kedaulatan manusia/rakyat’ sebagai sesuatu yang diagungkan. Itulah mengapa, konsep demokrasi tidak bisa lepas dari konsep kebebasan, HAM, pluralisme, dan isme rusak lainnya. Bahkan prinsip kebebasan (liberalisme) menjadi ruh bagi keberadaan demokrasi. Konsekuensinya, setiap pilihan—baik menyangkut agama, cara hidup, pendapat maupun kepemilikan—harus diakui dan diakomodasi tanpa klaim benar dan salah. Adapun untuk keputusan yang mengikat semua orang, termasuk UU, sistem ini mengharuskan tunduk pada ’mekanisme suara mayoritas’, dengan asumsi “suara mayoritas adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Dalam kasus pornografi hal ini tampak jelas. Secara umum masyarakat mengakui pornografi-pornoaksi merupakan penyimpangan yang membahayakan. Akan tetapi, praktik ini sulit diberantas. Banyaknya benturan kepentingan yang lahir dari persepsi yang berbeda tentang manfaat-madarat telah membuat masyarakat larut dalam polemik berkepanjangan mengenai batasan pornografi dan persoalan-persoalan tak substantif lainnya. Ujung-ujungnya, hukum tak berdaya menjerat pelaku pornografi hanya karena begitu multiinterpretatifnya kata pornografi.
Kedua: akibat tidak didasarkan pada syariah Islam. Polemik seputar UU pornografi-pornoaksi juga tidak akan pernah terjadi jika semua pihak mau merujuk pada syariah Islam, bukan pada akal. Ini karena, syariah Islam memiliki pandangan yang jelas mengenai pornografi-pornoaksi. Dalam Islam setiap aktivitas yang mengumbar aurat dan syahwat (pornografi-pornoaksi) dipandang sebagai pelanggaran terhadap syariah yang harus dicegah. Adapun pertimbangan mengenai dampak hanyalah penguat atas urgensi mencegah dan memberangus praktik ini. Sebab, sejatinya apa yang dilarang oleh syariah pasti mendatangkan kerusakan dan apa yang diperintahkan oleh syariah pasti mendatangkan kebaikan; tidak hanya bagi kelompok tertentu, negeri tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia, Muslim dan non-Muslim, di seluruh dunia.
Ketiga: akibat ketidakmandirian negara dari tekanan asing. Tak dipungkiri, saat ini Indonesia tengah berada di bawah cengkeraman asing. Hutang yang menumpuk dan jeratan berbagai perjanjian internasional telah membuat posisi Indonesia seperti makan buah simalakama. Bahkan bangsa ini seolah tak punya pilihan untuk menentukan arah kebijakan berbagai aspek kehidupannya sendiri karena cengkeraman asing sudah masuk hingga ranah legislasi. Keluarnya UU PMA, UU Migas, UU SDA, UU Anti Terorisme, UU PKDRT, dan kini RUU Pornografi yang pro asing dan pro nilai-nilai Barat merupakan bukti adanya penjajahan lewat UU. Targetnya jelas. Selain target ekonomi, mereka juga punya target ideologis, yakni membendung bangkitnya kekuatan Islam global.
Pandangan Syariah Islam
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa merebaknya pornografi-pornoaksi berikut berbagai problem yang menyertainya adalah ekses dari penerapan sistem Kapitalisme sekular yang meniscayakan kebebasan tanpa batas. Selain menafikan peran agama, ideologi ini mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang rusak dan membawa kerusakan. Kebahagiaan dimaknai dan diukur hanya dengan ukuran materi, manfaat dan kenikmatan jasadi semata. Nilai-nilai kehidupan steril dari nilai halal-haram. Wajar jika akhirnya kecabulan, aktivitas mengumbar aurat, free sex, aborsi, dan aktivitas amoral lainnya menjadi hal yang biasa. Di sisi lain, menguatnya paham individualisme yang juga menjadi ciri masyarakat sekular membuat berbagai kerusakan ini berlangsung tanpa ada kontrol. Masyarakat cenderung apatis dan kehilangan sense of crisis.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang tegak di atas landasan akidah yang sahih. Sistem ini memiliki seperangkat aturan yang lengkap dan solutif serta mampu mencegah segala bentuk kerusakan dan ketidakadilan. Ini karena sistem ini lahir dari Zat Yang Mahaadil dan Mahasempurna. Aturan-aturan yang dilahirkannya pun senantiasa sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa manusia, tanpa kecuali.
Sejarah menunjukkan, tatkala Islam diterapkan secara kâffah dan konsisten, masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang sangat bersih dan maju. Kasus-kasus kriminalitas bisa ditekan sedemikian rupa hingga untuk kasus pencurian yang berakhir dengan penerapan sanksi potong tangan misalnya, dalam kurun waktu 13 abad tercatat hanya 200 kasus saja! Kasus-kasus amoral, termasuk pornografi-pornoaksi, nyaris tak pernah terjadi kecuali beberapa kasus saja.
Karenanya, untuk mencegah merebaknya pornografi-pornoaksi tak ada solusi lain selain kembali pada sistem Islam. Sistem ini telah mengatur sedemikian rinci hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang dengannya kebersihan dan tujuan-tujuan mulia yang bisa dibangun melalui interaksi keduanya bisa terjaga. Aturan-aturan pergaulan dalam Islam (An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm) ini meliputi:
1. Aturan mengenai batasan aurat dan kewajiban menundukkan pandangan.
Masalah pornografi-pornoaksi sesungguh-nya terkait dengan masalah aurat dan memandang aurat. Islam sudah memberi batasan yang sangat jelas tentang kedua hal ini. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Selain itu Islam juga memerintahkan setiap Muslim untuk menundukkan pandangan, yakni larangan melihat apa yang terlarang untuk dilihat (aurat). Bahkan untuk wanita, selain diperintah menggunakan khimar (kerudung), mereka juga diwajibkan memakai jilbab (yakni sejenis pakaian tertentu yang menutupi pakaian sehari-harinya hingga ujung kaki). Allah SWT berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Katakanlah kepada para wanita Mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya (QS an-Nur [24]: 31).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (QS al-Ahzab [33]: 59).
Berdasarkan riwayat yang sahih, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah ra. sepakat bahwa yang dimaksud dengn kalimat illâ mâ dzahara minhâ adalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan. Adapun untuk laki-laki, disebutkan dalam sabda Nabi saw., “Sesungguhnya apa yang ada di bawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya.” (HR Ahmad). Dengan demikian, setiap aktivitas menampakkan aurat sebagaimana fakta pornografi-pornoaksi jelas sudah terkategori pelanggaran terhadap syariah.
2. Larangan eksploitasi seksual: tabarruj; larangan ekspos masalah seksual.
Masalah pornografi-pornoaksi juga terkait dengan aktivitas eksploitasi dan ekspos masalah seksual yang kerap dilakukan dengan cara menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki asing atau bukan mahram (tabarruj). Dalam Islam, aktivitas semacam ini termasuk yang diharamkan sebagaimana firman Allah:
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah dulu (QS al-Ahzab [33]: 33).
Kemudian dalam Rasulullah saw. pernah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
Ada dua golongan di antara penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian tetapi telanjang yang cenderung dan menimbulkan kecenderungan orang lain—rambut mereka seperti punuk unta yang miring (HR Muslim).
3. Larangan berzina dan mendekati zina.
Masalah pornografi-pornoaksi juga biasanya lekat dengan aktivitas mendekati zina bahkan perzinaan itu sendiri. Dalam hal ini, Islam secara tegas melarang aktivitas ini dan memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelakunya. Allah Swt. berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).
Dengan dalil ini ditarik mafhûm, jika mendekati saja haram, apalagi melakukannya. Hal ini diperkuat dengan nash yang memuat jenis sanksi bagi para pelaku zina:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Laki-laki pezina dan perempuan pezina, cambuklah dengan 100 kali cambukan (QS an-Nur [24]: 2).
Sanksi ini berlaku bagi pezina ghayr muhsan (yakni pemuda/i yang belum menikah). Adapun untuk yang muhshan (pernah menikah) hukumannya adalah dirajam hingga meninggal.
4. Larangan ber-khalwat.
Khalwat adalah aktivitas berdua-duaan antara laki-laki dan wanita di tempat yang tidak memungkinkan bagi orang lain untuk bergabung kecuali dengan izinnya. Aktivitas seperti ini dilarang oleh Islam dengan larangan yang tegas. Rasulullah saw. bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah tidak berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan (HR Ahmad).
Hikmah dari aturan ini adalah, masyarakat akan tercegah dari peluang melakukan maksiat, termasuk yang mengarah pada pornografi-pornoaksi.
Pentingnya Penerapan Islam Secara Kâffah oleh Negara
Demikianlah sebagian aturan Allah yang terkait dengan pergaulan pria wanita, yang jika diterapkan, secara preventif akan meminimal-kan munculnya berbagai kemaksiatan di masyarakat, termasuk pornografi-pornoaksi. Hanya saja, penerapan aturan sosial ini tidak mungkin efektif kecuali bersamaan dengan penerapan aturan-aturan Islam lainnya (poleksosbudhankam) secara utuh oleh negara yang tegak di atas asas Islam. Hal ini karena sistem Islam tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Negaralah yang akan mampu menerapkannya secara ketat dan konsisten, termasuk menerapkan sistem sanksi Islam sebagai metode untuk menjaga tegaknya hukum sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran terhadap syariah.
Dengan demikian, negara adalah pilar penting bagi tegaknya sistem Islam, selain ketakwaan individu dan kontrol yang kuat dari masyarakat.
Karena itu, mewujudkan masyarakat yang ideal dan bersih harus dimulai dengan proses penyadaran umat akan ideologi Islam. Dalam hal ini aktivitas dakwah dan budaya amar makruf nahi mungkar harus terus dihidupkan agar kebersihan masyarakat senantiasa terjaga.
Sepanjang jalan perubahan ditempuh dengan cara yang sama ditempuh Rasulullah, maka terwujudnya masyarakat Islam akan menjadi kenyataan, dan cita-cita memberangus pornografi tidak lagi menjadi utopi. Wallâhu a’lam. [Husnul Khotimah]