Keterlibatan perempuan dalam parlemen telah mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya UU Pemilu no 10 tahun 2008. Pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Legalitas keterlibatan perempuan dalam Pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).
Dalam paradigma Kapitalisme persoalan perempuan hanya dapat dipahami dan diselesaikan sepenuhnya oleh kaum perempuan, yakni melalui berbagai kebijakan yang berorientasi perempuan. Kebijakan semacam ini, katanya, hanya lahir atas kontribusi kaum perempuan.
Kebijakan yang ada saat ini dianggap tidak berpihak kepada perempuan. Sebabnya, parlemen di Indonesia masih didominasi laki-laki yang dianggap tidak pro dengan kepentingan perempuan. Selama ini, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dianggap masih rendah, yaitu berada di peringkat 89 dari 189 negara. Hadar N Gumay mengemukakan, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen pada 2009 diprediksi hanya mencapai 13,6 persen, yaitu 75 orang atau naik sekitar 2,1 persen (12 orang) dibandingkan Pemilu 2004, karena umumnya partai hanya mendapatkan satu atau dua kursi di parlemen kecuali partai besar. (Rakyat Bicara, 27 Februari 2008).
Kuota 30% perempuan di parlemen oleh kalangan gender dijadikan sebagai prasyarat untuk membangun kesejahteraan perempuan. Dengan itu perempuan akan dapat membuat keputusan yang berpihak kepada kepentingan mereka.
Apakah benar dengan memperbanyak perempuan dalam parlemen (legislatif) akan membawa kebaikan kepada perempuan? Fakta menunjukkan negara Skandinavia, yaitu Swedia, sejak 1970-an saat menjalankan terobosan yang memberi tempat pada perempuan untuk dipilih di parlemen (sampai 40%), harus membayar kerugian yang sangat besar. Negara Skandinavia terkenal sebagai negara dengan tingkat perpecahan dan ketidakstabilan keluarga yang tinggi; angka perceraian tinggi, sementara angka perkawinan amat rendah (Megawangi, 1999). Laporan The Economist (9/9/1995) menyebutkan bahwa hal ini berdampak pada tingginya persentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan (50 persen). Menurut Megawangi (1999) angka kenakalan remaja di kawasan ini memang meningkat dalam kurun waktu 20 tahun.
Kesalahan Logika Berpikir
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat yang ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Karena itu, diasumsikan bahwa banyaknya suara perempuan di parlemen akan mempengaruhi pembuatan UU yang memihak perempuan.
Secara fakta, jargon demokrasi ini omong-kosong. Sebabnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh para pemiliki modal, baik lokal maupun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa banyak kebijakan Pemerintah yang telah disetujui oleh wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri, seperti kenaikan BBM.
Karena itu, benarlah pernyataan pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfredo Pareto, dan Robert Michels yang cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara pengusung demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat. Di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital). Benyamin Constan mengatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
Artinya, berapa pun kuota perempuan di dalam parlemen tidak akan menjanjikan solusi yang tuntas dalam penyelesaian permasalahan perempuan selama masih dalam bingkai demokrasi. Dalam parlemen yang paling berkuasa adalah “uang” yang mampu mengubah idealisme anggota parlemen, sekalipun banyak perempuan di parlemen. Sebagai contoh, RUU APP yang sekarang menjadi RUU P masih alot diperdebatkan dalam parlemen. Padahal dalam RUU tersebut banyak kehormatan perempuan yang dilindungi, namun mengapa tidak mudah disahkan. Hal ini disebabkan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan jika RUU disahkan menjadi UU, yaitu kalangan liberal yang mengagung-agungkan kebebasan dan para pemiliki modal yang telah meraup keuntungan dari pornografi dan pornoaksi.
Kuota perempuan tidak akan dapat menghantarkan kesejahteraan kepada perempuan, karena yang menjadi masalah utamanya bukanlah sedikit-banyaknya perempuan di parlemen. Yang sangat menentukan dalam penyelesaian permasalahan perempuan adalah sudut pandang apa yang digunakan. Selama masih menggunakan sudut pandang Kapitalisme (dimana para pemilik modallah yang menentukan arah kebijakan suatu bangsa), sekalipun jumlah perempuan di parlemen melebihi 30%, tetap tidak akan menghantarkan pada penyelesaian masalah perempuan. Artinya, yang paling penting adalah bagaimana sudut pandang dalam sistem pemerintahan harus diganti dari demokrasi-kapitalisme ke sudut pandang yang hakiki dari Pencipta manusia yang akan menjamin kesejahteraan manusia termasuk perempuan, yaitu Ideologi Islam.
Ideologi Islam memandang setiap permasalahan kemanusiaan tidak pernah dibedakan apakah itu permasalahan perempuan atau permasalahan laki-laki. Islam memandang setiap permasalahan umat manusia merupakan tanggung jawab seluruh kaum Muslim. Target penyelesaiannya akan menjamin terpenuhinya kebutuhan semua, baik perempuan ataupun laki-laki, sebagai individu, keluarga dan masyarakat. Apapun persoalannya, apakah itu masalah keterpurukan kaum perempuan dalam kemiskinan, kebodohan dan kesehatan, senantiasa dipandang dalam skala global. Masyarakat yang dibangun dengan ideologi Islam adalah sebuah kesatuan yang memiliki arah dan tujuan yang satu. Sudut pandang Islam bukan sudut pandang berskala individual, yang parsial, pragmatis dan dangkal penyelesaiannya; namun sudut pandang yang berskala universal dengan penyelesaian yang tuntas dan sempurna.
Jika demikian, masih perlukah kuota perempuan di parlemen untuk menyelesaikan permasalahan perempuan?
Tanggung Jawab Muslim dalam Politik
Politik tidak semata-mata didefiniskan sebagai jalan menuju kekuasaan. Definisi ini cenderung membuat kita menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir dari kegiatan politik. Kekuasaan harus dipandang sebagai wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umat dalam ridha Allah Swt. Selain itu, definisi di atas cenderung membuat kita memahami politik secara parsial, bukan sebagai sebuah sistem yang utuh. Dengan definisi politik seperti ini, Muslimah/kaum perempuan dianggap memiliki peran politik hanya jika ia sedang menuju pada—atau sedang memegang jabatan—kekuasaan tertentu (menjadi anggota/pengurus partai politik, menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat, atau duduk dalam jabatan eksekutif pemerintahan). Di luar itu dianggap bukan peran politik.
Al-Quran dan as-Sunnah mengajari kita untuk mengartikan politik (siyâsah) sebagai pengurusan seluruh urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengurusan ini mencakup pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup umat, penunaian hak-hak umat sehingga umat mendapatkan seluruh kemaslahatannya, termasuk upaya penjagaan terhadap agama umat agar mereka terhindar dari azab Allah di akhirat. Pengurusan ini dilakukan secara langsung oleh kepala negara, sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara/pengatur urusan rakyat dan ia dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Sekalipun demikian, tidak berarti politik hanya aktivitas penguasa. Semua aktivitas yang dilakukan baik oleh individu, partai politik atau majelis umat (lembaga perwakilan umat yang bertugas memberi pendapat dan nasihat kepada kepala negara) yang bertujuan menjaga agar penguasa menunaikan tugasnya dengan baik adalah aktivitas politik. Begitu pula upaya pembinaan yang dilakukan agar umat mengerti akan kemaslahatan yang seharusnya dia dapat dari penguasa, atau aktivitas dalam membina kader-kader yang sanggup diserahi urusan umat dalam posisi-posisi kekuasaan, semuanya adalah aktivitas politik.
Aktivitas politik bagi Muslimah bukan berarti merupakan upaya untuk menjadikan Muslimah menjadi penguasa atau menjadi anggota parlemen. Saat berpolitik, Muslimah harus menyadari bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah Swt. Muslimah pun harus menyadari bahwa politik yang ia lakukan adalah sebagai upaya turut memikirkan dan menyelesaikan persoalan umat. Muslimah juga harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat (‘izzah) perempuan. Oleh karena itu, ketika ia melaksanakan aktivitas politik, ia pun harus memperhatikan aturan-aturan lainnya, baik itu aturan umum maupun aturan khusus untuk perempuan.
Aturan yang datang dari Al-Khâliq tentu saja merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberi ketenangan hati, karena Allahlah yang lebih mengetahui hakikat makhluk-Nya. Jika Allah Swt. telah menetapkan bagaimana seharusnya perempuan beraktivitas politik maka sudah pasti aturan tersebut tidak akan merendahkan derajat dan martabat perempuan. Oleh karena itu, jika ada batasan-batasan tertentu bagi wanita dalam menjalankan kewajibannya, bukan berarti hal itu menghalangi perempuan untuk berperan, apalagi kalau dikatakan merendahkan perempuan. Hal itu semata-mata untuk mengatur percaturan kehidupan perempuan dalam suatu komunitas masyarakat demi kebahagiaan dan keselamatannya di dunia dan akhirat.
Peran Muslimah dalam aktivitas politik ini tidak dibatasi oleh waktu, tempat maupun kondisi; sebagaimana shalat fardhu tidak akan berubah oleh waktu, tempat maupun kondisi. Karena itu, ketika seorang Muslimah telah memasuki kehidupan pernikahan dan memiliki sejumlah anak, maka tidak ada alasan untuk berhenti dalam aktivitas politik, kecuali ada alasan yang dibolehkan oleh syariah.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Muslimah memiliki kewajiban untuk terjun dalam aktivitas politik. Sudah saatnya Muslimah memberikan konstribusi yang optimal dalam batas-batas ketentuan syariah saat beraktivitas politik demi tegaknya kemuliaan umat dan ketinggian derajatnya di hadapan Al-Khâliq. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)]