HTI

Fokus (Al Waie)

RUU Pornografi: Pertarungan Islam VS Sekularisme

Sejatinya Rancangan Undang-Undang Pornografi disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 23 September lalu. Namun rencana pengesahan itu batal karena harus menerima masukan dari masyarakat agar RUU Pornografi itu lebih sempurna dan bisa mengakomodasi semua kalangan. Padahal pembahasan RUU Pornografi sudah berlangsung sangat lama, yakni sejak tahun 1997 lalu. Bisa dikatakan, pembahasan RUU yang dulu dikenal RUU Anti Pornografi (RUU P) ini paling lama dan alot di antara pembahasan RUU lainnya. Pro-kontra di masyarakat pun terjadi mewarnai perjalanan pembahasan RUU tersebut.

Tentu ini cukup melelahkan sekaligus menguras energi bangsa ini. Wajar jika banyak pihak yang meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Pornografi ini. “Ya kalau sudah terlalu lelah dan capek, segera saja disahkan,” kata Safinas Z. Asaari, Asisten Deputi Urusan Sosial Budaya dan Lingkungan Kementerian PP di Jakarta, Sabtu (20/9/2008).

Tampaknya keinginan mayoritas masyarakat Indonesia yang notabene Muslim agar negara ini memiliki UU yang bisa secara efektif memberantas pornografi dan pornoaksi sulit terwujud. Itu karena kelompok masyarakat yang kontra RUU Pornografi ngotot menolak disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Di antaranya malah mengancam akan melakukan pembangkangan sipil jika RUU ini jadi disahkan. Padahal RUU yang ada sekarang sudah mengakomodasi masukan dari kelompok yang selama ini kontra RUU Pornografi.

Lama dan alotnya pembahasan RUU Pornografi di DPR itu mencerminkan begitu kuatnya pertarungan ideologi dan kepentingan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap RUU tersebut, baik di masyarakat maupun di DPR. Ada dua kubu yang terlihat kasatmata berlawanan aspirasinya terkait RUU Pornografi itu, yaitu kelompok Islam yang mendukung adanya UU yang bisa memberantas pornografi dan kelompok sekular atau Islamphobia yang menolak adanya UU khusus yang mengatur pornografi.

Umumnya yang kontra terhadap RUU Pornografi ini datang dari LSM-LSM dan para seniman liberal yang tergabung dalam Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika. Sebagiannya datang dari kelompok Islam Liberal, kalangan tokoh Kristen, Hindu, dan partai sekular.

Sebaliknya, yang pro umumnya datang dari organisasi massa Islam seperti MUI, kalangan ormas Islam, Masyarakat Tolak Pornografi, Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, serta gabungan majelis taklim dan partai-partai Islam. Mereka ini merupakan wakil dari mayoritas bangsa ini yang ingin menyelamatkan moral generasi bangsa ini dari pengaruh pornografi dan pornoaksi.

Ya, mereka adalah mayoritas. Itu dibuktikan oleh aksi lebih dari satu juta umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majelis taklim yang menggelar longmarch dari Bundaran HI ke gedung DPR RI dalam rangka mendukung pemberantasan pornografi-pornoaksi, demi melindungi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat pada Ahad dua tahun lalu (21/5/2006). Aksi yang dikoordinasi oleh Tim Pengawal RUU APP Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Umat Islam (FUI) ini merupakan aksi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Sejak itulah dukungan agar DPR segera mengesahkan RUU APP pun terus mengalir.

Namun sayang, aspirasi mayoritas bangsa ini tidak segera disambut DPR. Nasib RUU APP tidak jelas hingga terakhir terbetik kabar bahwa DPR akan segera mengesahkan RUU yang sudah berubah menjadi RUU Pornografi tersebut pada 23 September 2008. Menjelang Pengesahan RUU tersebut, pro-kontra kembali mencuat di tengah masyarakat.

Kelompok sekular dan Islamphobia yang selama ini kontra, menjelang disahkannya RUU Pornografi itu, makin gencar menggalang opini dengan menggelar berbagai kegiatan seperti unjuk rasa, seminar hingga pengiriman delegasi ke DPR agar RUU tersebut tidak jadi disahkan. Aspirasi mereka mendapat tempat di media sehingga cukup dominan menghiasi pemberitaan baik media cetak maupun elektronik.

Beberapa kelompok seperti Yayasan Jurnal Perempuan, Konferensi Waligereja Indonesia, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Indonesian Conference on Religion and Peace, dan Parisada Hindu Dharma Indonesia beberapa waktu yang lalu mendatangi Adnan Buyung Nasution, anggota Wantimpres yang dikenal anti Islam, untuk mengajukan aspirasinya menolak disahkannya RUU tersebut.

Adnan Buyung Nasution menduga terdapat upaya merusak kehidupan berbangsa dan bernegara oleh kelompok tertentu melalui pengesahan RUU Pornografi. Upaya itu dianggapnya dapat mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa (VHRmedia, 22 September 2008).

Sejumlah kelompok masyarakat di daerah seperti aktivis Yogyakarta untuk Keberagaman (YUK), Sulut, dan Komponen Rakyat Bali juga berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Pornografi tersebut. Mereka menuduh UU ini hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu sehingga tidak sejalan dengan kebhinekaan. “Tidak sejalan dengan kebhinekaan,” kata Koordinator Bali Tourism Board Ngurah Wijaya, Kamis (18/9) seperti ditulis Tempo Interaktif (18/09/2008).

Kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya kelompok yang selama ini menolak RUU APP atau sekarang RUU Pornografi adalah kelompok yang juga sangat menentang berbagai UU atau Perda yang sesuai dengan aspirasi umat Islam, perda-perda anti maksiat, UU Sisdiknas, atau UU Perkawinan.

Walhasil, penentangan mereka terhadap RUU APP atau Pornografi merupakan sikap paranoid yang sangat nyata terhadap syariah Islam. Itu bisa dilihat dari logika mereka bahwa jika RUU ini jadi disahkan akan terjadi arabisasi; itu merupakan ancaman syariah Islam; itu merupakan islamisasi; melanggar HAM, mengancam budaya, melecehkan perempuan, legalisasi perda syariah dan lainnya.

Seperti dikatakan Hendardi dari Setara Institute, “Harus diakui, RUU ini merupakan desakan kelompok-kelompok Islam yang menghendaki penyeragaman atas nama kepatuhan pada ajaran agama (Islam), yang sebenarnya tidak semua umat Islam menyepakatinya,” ujar Hendardi dalam press release-nya (16/9/2008).

Sementara itu, Eva Kusuma Sundari, anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (FPDIP) mengatakan, “Saya melihat ada kepentingan di balik rencana pengesahan RUU Pornografi, yaitu RUU-P akan dijadikan payung hukum perda-perda syariah,” ujarnya dalam debat di sebuah TV swasta.

Menanggapi tuduhan itu, Mochtar Ngabalin, anggota Pansus RUU P dari Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB) membantahnya. “Tidak ada urusannya antara RUU P dengan perda syariah. Sebelum RUU ini ada Perda syariah sudah ada,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Ketua Pansus RUUP, Balkan Kaplale. Alasan PDIP dan PDS yang menganggap RUU tersebut berbau syariah dan akan menimbulkan disintegrasi bangsa tidak berdasar. “Jika ada daerah yang mengancam disintegrasi maka saya katakan itu tindakan makar, subversif, dan bisa dikenakan hukuman tembak,” ujar Balkan.

Terkait tuduhan bahwa RUU Pornografi itu melecehkan perempuan juga dibantah oleh Wakil Ketua Pansus, Yoyoh Yusroh. Yoyoh mengatakan, RUU Pornografi justru untuk melindungi perempuan dari sasaran pelecehan dan tindak pornografi di media massa. “Dengan disahkannya RUU Pornografi ini, kami berharap perempuan lebih termuliakan,” ujar Yoyoh kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (20/09/2008).

Haris Abu Ulya dari DPP HTI mengatakan, jika ada masyarakat, seperti sebagian warga Bali yang merasa terdiskriminasi dengan RUU Pornografi tersebut, maka nyatanya umat Islam di Bali juga menerima diskriminasi di sana. Kata Abu Ulya, jika mereka menganggap RUU ini berbau syariah maka sistem Awig-Awig di Bali juga berlaku tidak adil bagi minoritas. Abu Ulya yang mengaku telah melakukan penelitian di Bali selama setahun, menyatakan bahwa aturan adat Hindu Bali itu membuat orang Islam sulit mencari tempat pemakaman. Jika mereka merayakan Hari Raya Nyepi, orang Islam juga terkena imbasnya, tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh menyalakan lampu. Padahal itu bukan hari raya umat Islam.

Intervensi Asing dan Kepentingan Industri Seks

Lama dan alotnya pembahasan RUU Pornografi ini disinyalir juga karena begitu kuatnya intervensi asing dan kepentingan industri seks di Indonesia. Hal itu diakui oleh Balkan Kaplale dalam rapat dengar pendapat dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di ruang rapat Komisi VIII DPR – RI, 18/9/2008.

Balkan mengungkapkan, meski DPR telah menghilangkan kata anti dan pornoaksi dari RUU, negara-negara asing masih saja mengincarnya, di antaranya adalah Australia dan Inggris.

Balkan juga mengatakan ada tujuh negara lain yang mengintai RUU ini, di antaranya Swedia dan Denmark. “Menurut negara-negara tadi, Indonesia adalah pasar yang paling empuk untuk industri seks. Berbeda dengan Malaysia yang agak kental aturan,” ujarnya.

Beberapa tahun sebelumnya Balkan Kaplale mengaku pernah didatangi pihak yang mengatasnamakan perwakilan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Orang asing itu mengkhawatirkan bergulirnya RUU APP menjadi UU. Tentu saja, karena aturan hukum itu akan membentengi bangsa Indonesia dari penghancuran moral lewat industri gaya hidup destruktif yang mereka produksi dengan kedok HAM dan kebebasan berekpresi.

Negara-negara kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat tentu sangat berkepentingan dengan maraknya liberalisasi, termasuk pornografi, di negeri Islam terbesar seperti Indonesia ini. Karena itu, mereka berusaha keras untuk menggagalkan pengesahan RUU Pornografi itu melalui berbagai cara.

Tidak dipungkiri, LSM-LSM yang selama ini sangat keras menentang RUU Pornografi adalah LSM-LSM komprador yang didanai asing. Mereka bergerak di Indonesia untuk merealisasikan agenda penjajahan asing, yang salah satunya adalah meliberalisasi Indonesia dan menentang segala hal yang dianggapnya membahayakan rencana liberalisasi itu.

Penolakan terhadap RUU yang membatasi pornografi dan pornoaksi adalah satu cara untuk memuluskan jalan liberalisasi dan penjajahan di Indonesia. Sebab, bagi Barat, liberalisme di negeri ini adalah untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam.

Industri seks juga tentu sangat berkepentingan dengan gagalnya pengesahan RUU yang mengatur pornografi tersebut. Sebab, selama ini bisnis yang berbau pornografi dan pornoaksi di Indonesia telah banyak memberikan keuntungan kepada mereka. Disinyalir industri seks ini juga telah memberikan pemasukan yang sangat besar bagi negara. Karena itu, jika RUU P ini jadi disahkan maka industri seks di Indonesia akan bangkrut dan pemasukan ke negara juga akan berkurang. Karena itu, wajar pula jika kemudian mereka berusaha untuk menggagalkannya dengan berbagai cara.

Keuntungan dari bisnis pornografi memang menggiurkan. Pelaku kecil-kecilan seperti Tabloid Lipstik, misalnya, hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasional redaksi untuk empat penerbitan dalam sebulan. Pendapatannya dari iklan untuk tiga penerbitan itu bisa mencapai Rp 60 juta (Tempo Edisi 20-26 Maret 2006).

Pada tahun 2003, keuntungan industri pornografi yang pasarnya mencapai seluruh dunia telah mencapai 57 miliar dolar AS. Keuntungan ini lebih besar daripada total keuntungan seluruh pemilik klub-klub sepak bola, baseball, dan basket profesional; juga melebihi keuntungan 3 jaringan TV ABC, CBS, dan NBC dijadikan satu. (Dr. Mohammad Omar Farooq dalam nation.ittefaq.com). Itu baru keuntungan dari bidang yang jelas-jelas disebut pornografi. Belum lagi dari industri yang sebenarnya juga terkait dengan pamer aurat dan adegan-adegan mengundang birahi, misalnya industri hiburan di hotel-hotel atau kafe-kafe, fesyen, acara hiburan di televisi, dan juga industri film. Keuntungan di industri-industri ini pun tidak kalah menggiurkan. Tidak aneh kalau para pemain dalam industri ini berdiri paling depan untuk menentang setiap upaya yang menghambat pornografi dan pornoaksi.

Karena itu, benar seperti dikatakan oleh Novelis Indonesia, Tasmi PS, bahwa upaya penolakan RUU ini berbau industri. Pasalnya, saat ini jumlah industri yang bergerak di bidang pornografi ini semakin menjamur. Bahkan, kata Tasmi, banyak advertising yang menggunakan kemasan pornografi untuk menarik massa. “Apalagi dengan munculnya teknologi Internet,” katanya.

Menurut Tasmi, perlindungan moral bangsa ini hanya akan terwujud apabila ada payung hukumnya. “Segala macam razia oleh aparat tak ada tindak lanjutnya, hanya shock therapy,” ujarnya seperti ditulis Republika, 22/9/2008.

Distorsi RUU Pornografi: Mengakomodasi Liberalisme

Umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini tentu sangat mengharapkan parlemen segera mengesahkan UU yang bisa memberantas pornografi. Sebab, peredaran pornografi di negeri ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Seperti kata Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, saat ini Indonesia merupakan peringkat tiga untuk kategori pengakses internet dengan kata seks. Dua tahun lalu, kata Inke, Indonesia masih peringkat keenam. “Itu lebih “hebat” dari prestasi Olimpiade,” kata Inke, saat menghadiri sarasehan tentang UU Prornografi, di Jakarta.

Fenomena itu, menurut Inke, karena selama ini tak ada hukum yang secara tegas melarang pornoaksi. “Kita butuh undang-undang yang secara tegas menyebutkan kata pornografi secara definisinya. Jika tidak maka para perusak moral dengan modus pornografi itu selamanya terbebas dari jeratan hukum,” paparnya seperti ditulis Republika, 22 /9/ 2008.

Selain itu, lanjut Inke, kejahatan pornografi ini tak hanya menimpa orang dewasa, melainkan juga anak-anak.

Namun, tampaknya keinginan itu sulit terwujud. Sebab, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi (RUU APP) yang kini berubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU P) isinya berbeda dengan RUU APP ketika pertama kali diajukan. RUU P tersebut, selain mengalami pemangkasan, juga sudah mengalami distorsi. Walhasil substansinya tidak lagi sesuai dengan aspirasi umat Islam. Itu terjadi karena RUU tersebut mengakomodasi masukan dan kritikan dari kelompok liberal yang selama ini menentangnya.

Materi dalam RUU tersebut banyak mengandung kelemahan (misalnya menyangkut batasan pornografi pada Pasal 1 ayat 1), rancu (antara pornografi yang dilarang dan yang dibolehkan pada Pasal 13 ayat 1), bahkan beberapa bagiannya (Pasal 13 ayat 2) bisa dianggap memberi jalan bagi berkembangnya pornografi itu sendiri. Dari sisi substansi, penghapusan kata anti pada judul RUU memberi kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur bukan menghapus pornografi. “Jadi, alih-alih pornografi akan lenyap, dengan terbitnya RUU Pornografi ini, malah mungkin pornografi dan pornoaksi akan berkembang dengan berlindung pada diktum “kebolehan pornografi di tempat dan cara khusus” atau atas nama seni dan budaya (Pasal 14),” ujar Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta, Kamis (17/9/2008).

Berkenaan dengan hal itu pula maka kata Ismail, Hizbut Tahrir Indonesia mengkritik RUU Pornografi tersebut. Kritik tersebut dibuat untuk meluruskan RUU tersebut, karena dianggap bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya RUU itu sendiri.

Kritik utama HTI atas RUU Pornografi ini adalah ketidakjelasan basis teologis yang digunakan oleh RUU ini. “Karena tidak jelasnya basis teologis yang digunakan, definisi tentang pornografi dalam RUU ini juga menjadi kabur,” ujar Ismail.

Menurut HTI, akan berbeda halnya bila RUU semacam ini dibuat berdasarkan ketentuan syariah. Definisi tentang pornografi dapat dengan mudah dibuat dan pasti tidak akan menyinggung agama lain, karena masalah-masalah yang terkait dengan keyakinan dikembalikan kepada agama masing-masing, baik yang berkaitan dengan tataperibadatan maupun berpakaian. “Di sinilah pentingnya penerapan syariah di tengah masyarakat. Syariah akan memberikan pengaturan tentang berbagai hal secara jelas, tegas dan konsisten untuk seluruh masyarakat, namun sekaligus tetap menghargai adanya perbedaan akibat perbedaan keyakinan agama. Dengan cara itu, kerahmatan yang dijanjikan dari penerapan syariah itu bisa diwujudkan,” jelas Ismail Yusanto. [Abu Ziad]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*