Berjuang tidak mungkin sendirian. Gambaran paling nyata tentang hal ini adalah Rasulullah Muhammad saw. sendiri. Akhlak beliau tiada tara, bahkan digelari ‘al-Amin’ (yang terpercaya jauh sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul terakhir). Kecerdasannya luar biasa. Beliau adalah ma’shûm, terpelihara dari dosa. Bahkan Beliau sejak awal telah dijamin akan dimenangkan oleh Allah Rabb al-’Alamîn. Namun demikian, teladan umat Islam tersebut tetap diminta oleh Allah menyampaikan dakwah sekaligus mengkoordinasikan para pangikutnya hingga menjadi sebuah kesatuan hizbullah (lihat QS al-Maidah [5]: 56). Beliau dan para Sahabatnya hidup secara berjamaah. Perjuangan dalam jamaah merupakan suatu keniscayaan. Lebih dari itu, Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk berjamaah dalam menyerukan Islam dan amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali ‘Imran [3]: 104).
Wajib Menaati Amir
Tidak mungkin ada kejamaahan tanpa ada kepemimpinan. Karenanya, adalah wajar belaka ketika Allah Swt. saat memerintahkan berjuang dalam kejamaahan sekaligus mewajibkan ketaatan kepada pimpinan (amir). Rasulullah saw. bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berada di manapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pimpinan) (HR Ahmad).
Hadis ini menunjukkan kewajiban adanya pimpinan dalam kelompok, apalagi kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam.
Inti dari suatu kepemimpinan dalam kejamaahan adalah wajib memberikan ketaatan kepada pimpinan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ
Siapa saja yang membenci suatu perintah dari amirnya hendaklah ia bersabar (HR al-Bukhari).
Nabi Muhammad saw. dalam hadis sahih tersebut menegaskan kewajiban menaati pimpinan. Namun, ketaatan kepada amir harus disertai dengan sikap kritis. Ketaatan tersebut tidak boleh dalam kemaksiatan kepada Allah Swt. Namun, tidak boleh terjadi dengan dalih kekritisan justru ketaatan itu sendiri yang dihilangkan. Ingat, salah satu daya kritis itu adalah terikat dengan kebijakan/keputusan pimpinan/amir sebagai pemilik kewenangan yang sah secara syar’i.
Kewajiban menaati perintah amir berulang kali ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. Diceritakan dari Irbadl bin Sariyah, suatu hari, seusai mengimami shalat subuh Rasulullah saw. mengarahkan pandangannya kepada para Sahabat. Beliau menasihati mereka dengan suatu nasihat yang begitu membekas di hati para Sahabat hingga membuat mereka berlinang air mata dan jiwa mereka berguncang. Di antara Sahabat bahkan ada yang berkomentar, “Wahai Rasulullah, nasihat ini seakan-akan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau pesankan kepada kami?” Nasihat itu adalah:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin sekalipun ia dulunya adalah seorang budak dari Habsyah (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Penyatuan takwa kepada Allah dan ketaatan kepada pemimpin dalam sebuah wasiat Nabi saw. di atas menggambarkan betapa pentingnya ketaatan tersebut.
Perintah pemimpin harus dilaksanakan baik secara lahiriah (zhâhir[an]) maupun dalam kepasrahan hati penuh sukarela (bâthin[an]). Satu-satunya keadaan yang menghilangkan hak ditaati dalam diri seorang amir adalah jika perintah/larangannya bertentangan dengan aturan Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat adalah wajib atas seorang Muslim, baik ia suka maupun benci, terhadap suatu perintah pimpinannya selama perintah itu bukan perintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika ia diperintah melakukan kemaksiatan maka ia tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).
Begitu juga kata Nabi saw.: Lâ thâ’ata li makhlûq[in] fî ma’shiyati al-Khâliq (Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Sang Pencipta). Itu pun harus jelas betul bahwa memang benar amirnya itu keluar dari al-Quran dan as-Sunnah. Misal: perintah untuk menjauhi umat dan memusuhi organisasi-organisasi Islam jelas bertentangan dengan ayat-ayat dan hadis terkait persatuan dan ukhuwah. Andai saja hal ini terjadi, sikap yang harus diambil adalah menasihati amir. Berbeda dengan hal tersebut, keputusan amir berupa pengaturan pola komunikasi dan tata hubungan dengan berbagai komponen umat dengan tetap menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi Islam tersebut merupakan perintah yang sesuai dengan ajaran Islam. Sikap satu-satunya yang diajarkan Nabi Muhammad saw. adalah menaatinya.
Penyelesaian Masalah
Perbedaan pendapat adalah rahmat. Namun, jika tidak didudukkan dalam rel syariah, perbedaan tersebut bukan tidak mustahil berubah menjadi penyakit (niqmah, bukan nikmat). Ada beberapa prinsip dalam upaya penyelesaian masalah saat berbeda pendapat dalam suatu kejamaahan. Pertama: menjadikan soliditas jamaah dan ketaatan kepada amir sebagai prioritas. Singkirkan egoisme individual, peganglah ruh kebersamaan (rûh jamâ’i). Rasulullah saw. bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada perintah pemimpin sekalipun ia dulunya adalah seorang budak dari Habsyah. Sesungguhnya ada di antara kalian yang akan menjumpai sesuatu sesudahku dengan melihat banyak perselisihan. Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang tertunjuki. Pegang teguhlah sunnah-sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Salah satu sunnah Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin adalah menjaga ruh ketaatan pada pimpinan. Ambil contoh, Abu Dzar al-Ghifari. Beliau amat besar jasanya terhadap Islam. Abu Dzar berhasil mengembangkan Islam di kampung halamannya sehingga suku Ghifar dan suku Aslam masuk Islam melalui dakwahnya. Dia lelaki pemberani dan lurus, tegas dalam mengoreksi penguasa. Kritikan pedas pun sering ia lontarkan kepada Wali Negeri Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan, pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan. Suatu waktu, Abu Dzar dipanggil oleh sang Khalifah seraya ditawari tinggal di ibukota bersama Khalifah dan tidak diizinkan tinggal di Damaskus. Namun, beliau lebih memilih mengasingkan diri di daerah Rabdzah. Dalam pengasingannya beliau pernah ditemui oleh sekelompok delegasi dari Kuffah. Delegasi itu meminta agar Abu Dzar mengobarkan pembangkangan melawan Utsman bin Affan. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih mengabulkannya, Abu Dzar justru menasihati mereka dengan perkataan amat pedas, “Demi Allah, kalaulah Utsman menyalibku pada kayu yang paling panjang atau di atas gunung tinggi sekalipun, niscaya aku akan tetap mendengarnya dan menaatinya.”
Kedua: berpegang pada hukum musyawarah. Ada dua hal terkait hukum musyawarah dalam Islam, yakni: (1) penentu keputusan adalah amir; (2) keputusan tersebut harus didasarkan pada hukum musyawarah dalam Islam. Dalam Islam, hal-hal terkait hukum syariah diambil amir berdasarkan dalil terkuat. Jika pendapat amir dianggap dalilnya tidak kuat, tetap ikuti pendapat amir tersebut dengan terus melakukan masukan bahkan koreksi. Adapun dalam perkara keahlian, serahkan kepada para ahlinya. Amir akan melakukan penilaian dan mengambil keputusan berdasarkan pendapat-pendapat yang berasal dari para ahli tersebut. Lalu terkait dengan hal-hal mubah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, amir mengambil dengan cara memperhatikan suara terbanyak. Bahkan selama tidak bertentangan dengan Islam, amir memiliki hak prerogatif untuk menentukan kebijakan apapun demi keselamatan dan perkembangan dakwah, baik atas pertimbangan dari berbagai pihak ataupun dari dirinya sendiri. Satu-satunya yang tidak boleh ia lakukan adalah menyimpang dari hukum Islam. Banyak sekali hadis-hadis yang menjelaskan ketidakbolehan untuk menaati pimpinan hanya dalam satu keadaan, yaitu jika bermaksiat kepada Allah Swt. Selama proses pengambilan keputusan berpegang pada hukum syariah musyawarah tersebut atau tidak bertentangan dengan hukum Islam maka keputusan apapun yang ditetapkan pimpinan (amir) wajib ditaati secara syar’i sekalipun berbeda pendapat dengan diri sendiri.
Ketiga: setiap orang harus menyadari kedudukan dan kewenangan masing-masing. Penentu kebijakan bukan merupakan hak setiap orang. Ada yang diberi kewenangan secara syar’i untuk membuat suatu kebijakan, namun ada juga pihak lain yang tidak punya hak tersebut. Jangan sampai setiap orang merasa berhak membuat kebijakan masing-masing. Dalam Islam ada kaidah, “Ash-Shalâhiyah fardhiyyah wa al-’amal jamâ’i (Kewenangan bersifat individual (di tangan amir/pimpinan), sementara aktivitas amal dilakukan oleh semua pihak).
Urgensi Ketaatan dalam Dakwah
Sejak awal, Nabi Muhammad saw. menanamkan ajaran Islam ke dalam diri para Sahabat. Mereka disatukan pemikiran dan perasaannya dengan akidah Islam. Pemikiran (afkâr), pendapat (arâ) dan hukum (ahkâm) yang mengikat mereka sama. Upaya Rasulullah saw. menyatukan semua itu di antaranya disebutkan dalam al-Quran:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Dialah Yng mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rsul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menycikan mereka dan mengajari mereka Al-Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS al-Jumu’ah [62]:2).
Beliau memerintahkan Sahabat dan umat Islam sesudahnya untuk berpegang pada al-Quran dan sunnahnya jika tidak ingin tersesat (HR at-Tirmidzi).
Bukan hanya itu, Rasulullah dalam geraknya menyatukan kepemimpinan. Secara nyata, Beliaulah yang langsung memimpin pergerakan bersama para Sahabat. Dalam banyak hadis, seperti telah disinggung di atas, Beliau mewajibkan untuk menaati pimpinan (amir). Ketidaktaatan bawahan pada komando pimpinan akan merugikan dan memporak-porandakan keseluruhan. Sebagai contoh sederhana adalah peristiwa Perang Uhud. Karena merasa perang sudah selesai dan menang, pasukan pemanah segera turun. Padahal Rasulullah saw. telah mewanti-wanti agar mereka tetap di tempat, tidak boleh turun hingga ada komando berikutnya. Akibatnya, pasukan Quraisy dapat memukul balik pasukan kaum Muslim ketika itu. Keporakporandaan terjadi hanya karena ’kesalahan yang disangka kecil’ namun ternyata vital: mengabaikan ketaatan kepada pimpinan.
Merujuk pada hal tadi, siapapun yang mengamati sirah Rasulullah saw. akan menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua kesatuan yang dibangun dan dicontohkan oleh Beliau: kesatuan pemikiran (afkâr), pendapat (arâ) dan hukum (ahkâm); kesatuan kepemimpinan.
Kesatuan jenis pertama meniscayakan adanya ide-ide yang diadopsi dan dikembangkan oleh kelompok dakwah (afkâr mutabannât).
Ketaatan dan keterikatan terhadap afkâr mutabannât akan menyatukan pemikiran dan perasaan. Adapun ketaatan kepada amir dalam kesatuan kepemimpinan akan menjadikan satunya langkah dan gerak dakwah. Oleh sebab itu, riak-riak penyimpangan dari afkar mutabannat tidak boleh ditoleransi. Begitu juga penampakan ketidaktaatan atau bahkan upaya merobohkan kepercayaan (dharb tsiqah) kepada pimpinan; harus segera diselesaikan. Jika tidak, kerugian akan menimpa gerakan dakwah secara keseluruhan. Sebaliknya, kepercayaan dan ketaatan kepada amir merupakan energi tersendiri untuk makin mensolidkan internal dan memofuskan upaya melawan musuh-musuh Islam dan memenangkan perjuangannya. Insya Allah. [MR Kurnia]