Pengantar Redaksi:
Munculnya UU yang mengatur pornografi dan pornoaksi mendapat penentangan sengit dari kalangan liberal dan feminis. Entah ada apa dengan mereka. Seperti orang ‘kalap’ mereka pun menggunakan logika ‘sekenanya’. Bagaimana sebenarnya bangunan logika mereka? Apakah RUU Pornografi yang akan disahkan sudah sesuai dengan harapan? Adakah ‘catatan kritis’ terhadap RUU Pornografi?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, redaksi al-wa’ie (gus uwik) mewawancarai Ustadz Muhammad Rochmat S Labib (Ketua DPP HTI). Berikut petikannya.
Ada yang berpandangan, UU Anti Pornografi tidak diperlukan. Bagaimana menyikapi pandangan tersebut?
Untuk bisa memberantas kejahatan apa pun, pasti dibutuhkan tangan negara untuk melakukannya. Caranya adalah dengan menjatuhkan sanksi tegas kepada semua pelaku yang terlibat. Ini berlaku untuk kejahatan apa saja, termasuk pornografi. Semua yang terlibat dalam pornografi—produsen, pelaku, penyebar, pengguna dan sebagainya—harus dihukum. Dengan begitu, mata rantai pornografi dan pornoaksi dapat diputus.
Tindakan tegas itu jelas tidak mungkin oleh keluarga. Yang bisa dilakukan keluarga hanya sebatas menghimbau anggota keluarganya agar tidak terlibat dalam pornografi. Itu pun tidak ada jaminan setiap keluarga melakukan pendidikan yang sama.
Pemberantasan pornografi lewat keluarga kian mustahil jika melihat pornografi yang telah bergentayangan sedimikain rupa. Hampir tidak ada ruang tanpa dihadiri pornografi. Bagaimana mungkin orangtua bisa memberikan pendidikan secara optimal jika anak-anak dikepung oleh pornografi di sekitarnya? Oleh karena itu, membebankan pemberantasan pornografi kepada keluarga bukan hanya salah, namun juga berbahaya.
Ada juga yang mengatakan bahwa ‘klausul’ tentang asusila sudah diatur dalam KUHP sehingga tidak perlu diundangkan secara khusus. Bagaimana menurut Ustadz?
Dalam KUHP tidak satu pun yang secara khusus mengatur pornografi. Yang ada hanya pelanggaran susila. Itu pun sangat global dan multitafsir. Masing-masing hakim bisa memberikan penafsirannya sendiri-sendiri. UU tersebut tidak bisa menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi.
Bukti jelas akan hal itu adalah Majalah Playboy Indonesia, yang jelas-jelas mengusung pornografi, diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Itu menunjukkan, KUHP tidak bisa berbuat banyak menghadapi serbuan pornografi dan pornoaksi. Peredaran pornografi yang kini demikian bebas beredar di masyarakat juga menjadi bukti lainnya. Bahkan Indonesia dimasukkan sebagai negara paling bebas dalam pornografi nomor dua setelah Rusia.
Jadi, apakah kita sangat membutuhkan undang-undang yang melarang pornografi dan pornoaksi?
Ya, benar. Sebab, membanjirnya pornografi dan pornoaksi hanya bisa dihadang oleh undang-undang yang tegas melarang dan memberantasnya. Dengan adanya undang-undang yang tegas melarang saja, suatu kejahatan masih dimungkinkan terjadi, apalagi tidak ada.
Namun, ada yang berpendapat bahwa undang-undang itu mendiskriminasi wanita dan mengancaman non-Muslim. Betul demikian?
Apakah yang dimaksud dengan mendiskriminasi wanita? Apakah karena bagian tubuh wanita lebih banyak tidak boleh dipertontonkan sebagaimana laki-laki? Kalau itu yang dimaksud dengan mendiskriminasi, itu jelas kesimpulan yang salah. Sebab, memang terdapat perbedaan fisik antara tubuh laki-laki dan perempuan. Bagian tubuh wanita jauh lebih menarik. Oleh karena itu, dalam kasus pornografi, tubuh wanitalah yang lebih banyak dipertontonkan. Karena faktanya berbeda, maka solusi yang diberikan terhadapnya pun harus berbeda. Tak mengherankan jika dalam Islam dibedakan batas aurat antara keduanya. Ibarat penyakit, ketika penyakitnya berbeda, tentulah obat yang diberikan berbeda.
Bisa jadi ada yang beralasan, apa salahnya wanita mempertontonkan keindahan tubuhnya. Harus diingat, wanita pula yang akan menjadi korban jika pameran aurat itu dibebaskan. Dalam berbagai kasus pemerkosaan akibat pornografi, wanitalah yang menjadi korbannya. Di Amerika, misalnya, pada 1995 terjadi kasus pemerkosaan sebanyak 683.280. Setiap 1 dari 3 wanita pasti mengalami kekerasan seksual seumur hidupnya. Setiap 1 dari 4 mahasiswi perguruan tinggi pasti pernah diperkosa/mengalami percobaan perkosaan (Sumber: United States Department of Justice-Violence Against Women Office).
Pemerkosaan bisa menimbulkan dampak-dampak emosional, mental, dan psikologis bagi korban dan keluarganya. Sensus di AS menunjukkan bahwa 1,3 juta perempuan sedang mengidap suatu penyakit akibat pemerkosaan yang dikenal dengan rape related post traumatic disorder (RR-PTSD); 3,8 juta perempuan pernah mengidap RR-PTSD; diperkirakan 211.000 perempuan akan mengidap RR-PTSD setiap tahunnya.
Oleh karena itu, pelarangan pornografi justru melindungi wanita. Demikian juga non-Muslim. Mereka juga ikut terlindungi.
Para penentang itu beralasan bahwa salah satu kekhawatiran mereka adalah terjadinya ‘arabisasi’ atau ‘islamisasi’.
Kita patut heran kepada mereka, mengapa kalau sesuatu yang datangnya dari Islam dan Arab mesti dicurigai dan ditentang? Pertanyaannya, apakah yang berasal dari Islam dan Arab pasti buruk sehingga layak untuk ditolak? Jika tidak, mengapa kita tidak bersikap lebih obyektif sehingga mau menerima kebaikan dan kebenaran dari mana pun, termasuk dari Islam dan Arab.
Jika penolakan itu didasarkan pada nasionalisme, mengapa sikap yang sama tidak diberlakukan terhadap Barat? Dalam soal berpakaian, misalnya, pakaian ala Baratlah yang wajib dikenakan. Lihat saja bagaimana seluruh siswa sekolah, birokrat, atau tentara dipaksa untuk mengenakan celana, rok, dasi, atau topi yang notabene pakaian ala Barat. Mengapa tidak ada yang protes dan menentang? Apakah karena berasal dari Barat sehingga pasti baik dan layak diterima?
Oleh karena itu, menolak larangan pornografi dengan alasan ‘arabisasi’ atau ‘islamisasi’ adalah alasan yang mengada-ada. Seharusnya, kita bisa bersikap lebih obyektif. Dari mana pun datangnya, jika benar dan membawa kebaikan bagi kita, harus diterima. Sebaliknya, jika salah dan membawa kehancuran, sekalipun itu tradisi sendiri yang telah berurat-berakar, harus ditinggalkan. Kalau ‘arabisasi’ barangkali masih harus diteliti ulang. Namun, kalau dari Islam semestinya justru harus diterima. Sebab, Islam sudah pasti benar karena datang dari Zat Yang Mahabenar.
Ada juga yang menolak RUU Pornografi karena khawatir akan menghancurkan budaya dan akan terjadi penyeragaman budaya?
Alasan ini juga mengada-ada. Kalau itu alasannya, mengapa tidak ada yang menentang ketika semua pakaian tradisional, termasuk koteka, tidak boleh digunakan dalam berbagai kegiatan resmi? Mengapa tidak ada yang berteriak bahwa kebijakan itu bisa melenyapkan kekayaan budaya Indonesia?
Demikian juga ketika ada keharusan mengenakan helm bagi pengendara sepeda motor. Mengapa kebijakan itu tidak dianggap telah memberangus budaya lokal yang mengenakan blangkon (penutup kepala khas Jawa)? Barangkali saja karena semua menyadari betapa bahayanya mengendarai sepeda motor tanpa helm yang melindungi kepala sehingga mereka harus merelakan meninggalkan blangkon-nya.
Kasus pornografi pun tidak jauh berbeda. Ketika aurat dipamerkan di ruang publik dipandang membahayakan bagi kehidupan, harus dilarang, termasuk pakaian adat yang sudah jelas terkatagori porno dan membahayakan; bukan malah dilestarikan, apalagi dikembangkan, atau dijadikan sebagai alasan menolak pelarangan pornografi dan pornoaksi.
Lalu bagaimana isi draft terakhir RUU Pornografi menurut Ustadz, apa sudah memenuhi harapan?
Itu yang kita prihatinkan. Dalam draft terakhir yang saya baca, ada perubahan cukup mendasar pada RUU ini. Jika draft sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, kini kata anti dan pornoaksi dihilangkan sehingga menjadi RUU Pornografi. Penghilangan dua kata tersebut sangat berarti. Dihilangkannya kata anti mengesankan bahwa yang diinginkan oleh RUU ini hanyalah mengatur atau meregulasi pornografi, bukan melarang atau memberantasnya. Kesan ini kian menemukan buktinya jika kita menelaah beberapa pasal-pasal di dalamnya.
Demikian juga penghilangan kata pornoaksi. Itu menunjukkan bahwa pornoaksi tidak termasuk dalam perkara yang diatur dalam RUU ini. Berbeda dengan draft RUU APP yang secara tegas menjelaskan perkara pornoaksi, di dalam RUU pornografi ini tidak ditemukan sama sekali kata pornoaksi. Jika dicermati, memang ada upaya untuk memperluas makna pornografi sehingga mencakup pornoaksi juga. Akan tetapi, cakupannya tidak menyeluruh sehingga banyak tindakan pornoaksi yang tidak tercakup dalam RUU ini. Padahal pornoaksi tidak kalah bahayanya bagi kehidupan dibandingkan pornografi.
Bisa dijelaskan lebih detail?
Dalam draft RUU ini, pornografi dikelompokkan menjadi dua macam; yang dilarang dan yang diperbolehkan. Dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa pornografi yang dilarang itu berupa lima materi: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin.
Jika dicermati, kelima materi pornografi itu hanya berkisar pada kalamin. Mungkin hanya kata ‘ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan’ yang bisa memberikan pengertian lebih luas. Namun, jika ketelanjangan diartikan sebagai ‘tanpa busana’, berarti juga yang terlihat kelaminnya.
Dengan demikian, mempertontonkan beberapa anggota tubuh lainnya, sekalipun dapat membangkitkan hasrat seksual dan melanggar kesusilaan—seperti paha, pinggul, pantat, punggung, pusar, perut dan payudara—tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang.
Bertolak dari pasal itu, berarti banyak aksi porno yang tidak dikategorikan sebagai pornografi terlarang, seperti tarian atau goyangan erotis. Demikian juga berbagai aktivitas yang mengarah pada hubungan seks seperti berciuman, berpelukan antara laki-laki dan perempuan, dsb.
Ada pasal-pasal yang secara tegas memperbolehkan materi pornografi?
Dalam pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa pornografi selain yang dimaksudkan dalam pasal 4 ayat 1 wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pasal ini secara jelas menunjukkan bahwa selain pornografi yang dilarang, ada juga materi pornografi yang diperbolehkan. Kendati harus mengikuti peraturan perundang-undangan, jelas tidak ada larangan terhadapnya.
Dalam ayat 2 juga dijelaskan bahwa jenis pornografi tersebut harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘di tempat dan dengan cara khusus’ misalnya penempatan yang tidak dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Berdasarkan pasal ini, pornografi justru mendapatkan legalisasi untuk berkembang tanpa takut diusik jika sudah memenuhi kriteria ‘dilakukan di tempat dan cara khusus’.
Kalau hanya regulasi, berarti belum sesuai dengan harapan masyarakat?
Ya, masih jauh, bahkan sangat naif. Undang-undang yang diharapkan dapat melindungi rakyat dari bahaya pornografi justru malah melindungi dan melegalisasi pornografi. Majalah Playboy Indonesia dan semacamnya yang tidak menampakkan alat kelamin justru menjadi legal menurut pasal ini asalkan dalam peredarannya dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Patut ditegaskan, pornografi bukan hanya berbahaya bagi anak-anak. Berbagai tindak kejahatan yang diakibatkan pornografi, seperti seks bebas, pemerkosaan, dan sebagainya kebanyakan dilakukan oleh orang dewasa.
Mengapa RUU Pornografi jadi seperti itu?
Sebagaimana layaknya undang-undang lainnya, RUU ini hasil kompromi berbagai pihak dan kepentingan, termasuk asing. Ini diakui sendiri oleh Ketua Pansus Balkan Kaplale ketika menemui delegasi dari Hizbut Tahrir. Dia juga menyebut, ada dua negara yang paling kuat menekan, yakni Inggris dan Australia. Jadilah RUU ini tidak tegas melarang pornografi. Namun anehnya, masih ada saja yang menentang RUU ini disahkan dengan berbagai dalih.
Kalau begitu, kira-kira undang-undang seperti apa yang dibutuhkan masyarakat?
Kembalikan saja kepada Islam. Islam memiliki konsep jauh lebih sopan dan beradab berkaitan dengan masalah ini. Konsep itu adalah mengenai aurat dan tata aturannya. Batas aurat dalam Islam itu amat jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita, adalah antara pusar dan lutut. Aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan mahram-nya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan, yakni jilbab dan kerudung.
Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali oleh orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornografi.
Islam juga melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan, bercampur-baur antara pria-wanita, ber-khalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan perzinaan. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornoaksi.
Singkat kata, terapkan syariah secara kâffah, niscaya pornografi akan tersingkir dari kehidupan. []
mungkin kayaknya yang bikin undang2 pornograpi (DPR) adalah para pengagum goyang inul dan kawan2,
masak…, masalah yang sudah jelas halal haramnya aja masih di kompromikan….
tegakkan syariah & khilafah
ya inilah jika democrezi diterapkan 3 orang sholeh kaliber ulama terkenal bila berkumpul dengan 5 orang pemabok maka mereka pemabuk yang menang secara jumlah, namun tidak semua harus di ambil suara / fotting, Islam telah jelas menjadi Hudan (petujuk Hidup) yang sempurna, tidak ada tawar-menawar dalam menerapkan syariat Islam,..yang jelas haram tidak bisa dirubah jadi halal….