Dunia tersentak. Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi barometer ekonomi dunia dilanda krisis hebat. Akibat krisis yang menimpa negeri Barack Obama itu ekonomi dunia ikut terguncang. Akankah ini menjadi tanda-tanda berakhirnya sistem ekonomi Kapitalisme?
Tanda-tanda kehancuran sistem ekonomi Kapitalisme memang sudah terlihat beberapa tahun terakhir. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998–2001. Bahkan krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di AS.
Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time oi Present Day, menguraikan bahwa sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis yang menimpa AS mulai tampak dari indeks saham melorot tajam. Sejumlah perusahaan keuangan raksasa dunia bangkrut. Perusahaan perkreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac yang memberi garansi utang senilai 5,3 triliun dolar AS atau separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS pun ambruk.
Pada akhir masa jabatannya, Presiden George W. Bush harus berjibaku menyelamatkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 miliar dolar AS. Bukan hanya itu, Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar juga gulung tikar. Inilah akhir nasib bank terbesar dan tertua yang berdiri tahun 1844. Padahal pada 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 miliar dolar AS. Bahkan Maret lalu Majalah Business Week masih sempat menempatkan perusahaan tersebut sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas pada tahun 2008.
Perusahaan investasi lain, seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, juga bernasib sama. Begitu pula AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar, yang memohon suntikkan dana darurat sebesar 40 miliar dolar AS dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Majalah Wall Street Journal menyebutnya dengan kata-kata, “Sistem keuangan Amerika terguncang hingga ke pusarnya.”
Akibat krisis itu, sejumlah institusi keuangan mengalami kerugian yang tidak sedikit; di AS mencapai 300 miliar dolar AS, sedangkan di negara-negara lain diperkirakan 550 miliar dolar AS.
Untuk mengatasi krisis tersebut, sejumlah negara, termasuk AS, mulai menggelontorkan dana miliaran dolar AS ke pasar modal. Cara itu dianggap mampu menopang pasar dan mem-backup likuiditas agar bisa menggerakkan aktivitas ekonomi. Bahkan sebagian ada yang mengintervensi langsung sampai pada level nasionalisasi sebagian bank, seperti terjadi di Inggris.
Penyebab krisis ekonomi negeri Paman Sam adalah penumpukan hutang nasional yang mencapai 8.98 triliun dolar AS, pengurangan pajak korporasi dan pembengkakan biaya perang Irak dan Afganistan. Yang paling krusial adalah subprime mortgage, yakni kerugian surat berharga properti sehingga membangkrutkan Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS dan Mitsubishi UF.
Krisis yang menimpa AS tersebut mendapat sorotan tajam dari media massa di Eropa, seperti dikutip dalam Pinara.net. Misalnya, harian Italia La Republica yang terbit di Roma berkomentar, “Saat ini Amerika Serikat dilanda resesi yang sangat serius dan menyakitkan. Kini pertanyaanya, seburuk apa fase krisis ini, dan apakah akan dapat meruntuhkan ekonomi Amerika Serikat secara mendadak?”
Lebih lanjut harian negeri sepak bola itu mengungkapkan, masyarakat Eropa, terutama Bank Sentral Eropa, menyadari hal itu merupakan ilusi dan tetap mengharapkan masih dapat melindungi kawasannya atau menepis dampak dari krisis berat ekonomi di Amerika Serikat. Namun, dalam krisis yang terjadi pada 2008 ini, Eropa tidak akan lagi mampu menahan dampak krisis ekonomi dari Amerika Serikat dan akan ikut tergilas.
Harian Perancis Dernieres Nouvelles d‘Alsace yang terbit di Strassburg juga mengomentari dengan tajam krisis ekonomi dunia. “Di Jerman, serikat buruh menuntut kenaikan gaji sampai 8 persen untuk mengimbangi daya beli yang terus menurun. Di Prancis menurunnya daya beli juga menjadi topik bahasan.”
Harian itu menyatakan, kenyataannya penurunan daya beli ini bukan hanya masalah Prancis saja, tapi juga dialami seluruh negara Eropa. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terkoreksi ke bawah. “Krisis kredit di Amerika Serikat menunjukkan betapa rentannya globalisasi moneter,” tulis harian tersebut.
Imbas krisis global juga dirasakan Jerman. Harian yang beredar di Jerman, Der Tagesspiegel, yang terbit di Berlin berkomentar, “Jika tidak seluruh ketakutan menjadi kenyataan, sekarang terlihat betapa buruknya persiapan Jerman menghadapi penurunan konjunktur…Negara tidak mampu lagi mengembalikan kemampuannya untuk bertindak. Politik secara keseluruhan gagal mengambil manfaat dari laju konjunktur. Asuransi kesehatan, yayasan dana pensiunan dan pasaran kerja tidak lagi kebal dari krisis.”
Sorotan tajam media itu menjadi bukti bahwa krisis ekonomi kali ini imbasnya sangat besar. Ketakutan terhadap krisis yang lebih besar kini menyelimuti hampir sebagai besar negara-negara di dunia.
Krisis Lebih Hebat
Membandingkan krisis ekonomi kali ini dengan yang menimpa kawasan Asia periode 1997/1998 memang berbeda. Saat itu, krisis hanya memakan korban negara-negara seperti Thailand, Korea, Malaysia, dan Indonesia. Namun, krisis keuangan yang menghantam AS kini justru berimbas kemana-mana, termasuk sejumlah negara di Asia, tak terkecuali Indonesia.
Berbagai kalangan sebenarnya sudah memperkirakan dampak krisis keuangan di AS akan menjadi krisis global. Hal ini karena banyak negara yang ketergantungannya terhadap AS sangat tinggi, baik di pasar keuangan maupun kegiatan ekspor-impor.
Krisis keuangan yang menimpa AS jelas berimbas ke Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus anjlok, bahkan nilai IHSG juga berada pada level tidak sehat. Bursa saham sempat istirahat beberapa hari.
Parahnya, krisis ekonomi berdampak pada produk Indonesia yang menjadi andalan ekspor. Padahal saat krisis ekonomi 1997/1998, ekspor berbagai komoditi yang menjadi penghasil devisa negara, terutama produk pertanian (seperti minyak sawit, karet, kakao dan kopi), justru booming. Produk ekspor tersebut mendapatkan nilai lebih tinggi karena dibayar dengan nilai tukar dolar AS.
Namun, kali ini produk pendulang devisa negara itu tidak bisa mengelak dari krisis. Harga komoditi pertanian seperti minyak sawit dan karet di pasar dunia anjlok. Padahal beberapa bulan sebelumnya kedua komoditi itu sempat menduduki posisi tertinggi. Harga minyak sawit semula berada pada kisaran 1.000 dolar AS/ton turun menjadi 565 dolar AS/ton. Begitu juga harga karet pada Juni lalu masih sebesar 322 sen dolar AS/kg, tetapi Oktober 2008 tinggal 167 sen dolar AS/kg. Ini semua karena banyak buyer di luar negeri yang membatalkan kontrak membeli minyak sawit dan karet.
Ekonom UGM Sri Adiningsih memprediksi, krisis ekonomi 1998 bisa saja terjadi lagi. Apalagi sejauh ini Pemerintah Indonesia belum mempunyai langkah strategis mengantisipasi dampak krisis finansial AS. “Jika krisis finansial AS tidak segera teratasi maka dampaknya terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih buruk dibandingkan dengan krisis ekonomi tahun 1997/98,” katanya.
Bahkan Tim Indonesia Bangkit (TIB) mengkritik pilihan Bank Indonesia dan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengatasi krisis ekonomi. Pengamat Ekonomi dari TIB, Hendri Saparini, menilai kebijakan uang ketat (tight money policy) menunjukkan bahwa Pemerintah SBY tidak belajar dari pengalaman krisis tahun 1998 dan masih tunduk pada resep IMF/Bank Dunia. Padahal dua lembaga itu telah gagal dan terbukti mengakibatkan krisis moneter 1998 berubah menjadi krisis ekonomi yang lebih luas.
Menurut Hendri, sebelum terjadi krisis hebat yang menimpa Indonesia, sampai Agustus 1997, keadaan makro ekonomi masih terkendali. Namun, IMF menyarankan agar Pemerintah Indonesia segera melakukan pengetatan uang. Saran itu diamini Pemerintah. “Kebijakan itu akhirnya memporakporandakan sektor keuangan Indonesia,” ujarnya.
Sayangnya, kata Hendri, saran IMF yang telah terbukti menyesatkan kembali dipatuhi Bank Indonesia (BI). Mendapat sokongan Menteri Keuangan/Menko Perekonomian, Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono memutuskan menaikkan tingkat suku bunga. Keputusan itu memang tidak lepas dari bisikan IMF yang dua bulan sebelumnya menyarankan Pemerintah Indonesia segera manaikkan suku bunga.
Padahal hampir semua negara seperti AS, Eropa, Cina, Jepang, Malaysia dan negara lainnya mengambil langkah menurunkan tingkat suku bunga untuk mengantisipasi kekeringan likuiditas. Langkah BI menaikkan suku bunga membuktikan Menteri Keuangan SBY-JK dan Gubernur Bank Indonesia tidak belajar dari kesalahan masa lalu. “Mereka juga tidak mampu mencari kebijakan terobosan. Yang tampak justru watak aslinya yang sangat mendukung saran IMF meski terbukti telah menjerumuskan Indonesia pada 1998,” tegasnya.
TIB juga menyesalkan langkah Tim Ekonomi SBY yang menyiapkan dana sebesar Rp 4 triliun untuk BUMN agar mem-buy back hingga 50% saham. Pemerintah berharap dana sebesar itu dapat mengangkat sementara harga saham. Padahal cara ini justru berpotensi mendorong penyalahgunaan dana publik dan kemungkinan akan menjadi kasus BLBI jilid II. “Dana yang seharusnya diprioritaskan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi UKM dan memacu sektor riil malah dialihkan untuk melindungi spekulan,” katanya.
Hendri menilai, kebijakan tersebut menunjukkan bukti keberpihakan Pemerintah SBY lebih besar kepada investor asing ketimbang rakyat banyak. Perlu diketahui, lebih dari 60% permainan saham di lantai bursa justru dikuasai investor asing.
Salah dari Akarnya
Krisis yang melanda belahan dunia, terutama yang menimpa negara utama pengusung ekonomi kapitalis, yakni AS, menjadi bukti bahwa ada yang salah dalam sistemnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang terjadi bukan sekadar karena persoalan teknis ekonomi, tetapi lebih karena pondasi ekonomi Kapitalisme yang rapuh.
Dalam pernyataan sikapnya, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto mengatakan, ada tiga sebab yang membuat ekonomi kapitalis kini mati suri. Pertama: sistem ekonomi kapitalis telah menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang, kemudian menjadikan dolar AS sebagai pendamping mata uang di negara-negara dunia. Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun di AS akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebab, sebagian besar cadangan devisa negara-negara di dunia di-cover dengan dolar AS yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera. Karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang.
Kedua: ungkap Ismail, hutang-hutang ribawi alias bunga-berbunga telah menciptakan masalah perekonomian yang besar. Bahkan kadar hutang pokoknya terus menggelembung sesuai dengan prosentase bunga yang berlaku sehingga menyulitkan negara/individu mengembalikan pinjamam. Krisis pengembalian pinjaman itu membuat roda perekonomian berjalan lambat.
Ketiga: cacatnya sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yakni transaksi jual-beli saham, obligasi dan komoditi yang tidak disertai dengan adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan; bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli. Ini adalah sistem yang jelas menimbulkan masalah. “Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi karena untung-rugi melalui cara penipuan dan manipulasi,” ujar Ismail.
Di samping itu, adanya produk derivat (turunan) seperti obligasi kolateral dari hutang (collateralised debt obligations), obligasi hutang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps), semuanya itu, menurut Ismail, merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit yang makin memperumit keadaan.
Sebab lain yang membuat hancurnya sistem ekonomi kapitalis adalah kesalahaan memahami fakta kepemilikan. Di mata para pemikir Timur dan Barat, kepemilikan umum adalah kepemilikan yang dikuasai negara, sedangkan kepemilikan pribadi merupakan kekayaan yang dikuasai kelompok tertentu.
Sesuai dengan teori Kapitalisme liberal yang bertumpu pada pasar bebas, privatisasi, ditambah dengan globalisasi, negara tidak bisa mengintervensi kepemilikan. Akibat kesalahan memahami fakta kepemilikan, terjadilah goncangan dan masalah ekonomi.
Padahal makna kepemilikan bukan sesuatu yang dikuasai negara atau kelompok tertentu. Setidaknya ada tiga macam bentuk kepemilikan. Pertama: kepemilikan umum; meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara harus mengekplorasi dan mendistribusikan ke rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan ini diambil negara dari pajak, hasil perdagangan, industri dan pertanian di luar kepemilikan umum. Terakhir: kepemilikan pribadi; kepemilikan ini bisa dikelola individu sesuai dengan hukum syariah.
Kehancuran Sosialisme dan Kapitalisame antara lain karena keduanya menjadikan kepemilikan-kepemilikan ini sebagai sesuatu yang dikuasai negara atau kelompok tertentu (pribadi). Sosialisme gagal dalam bidang ekonomi, karena menjadikan semua kepemilikan dikuasai negara. Sosialisme berhasil dalam perkara yang memang dikuasai negara, seperti industri berat, minyak dan sejenisnya; namun gagal dalam perkara yang seharusnya dikuasai individu, seperti umumnya pertanian, perdagangan dan industri menengah.
Begitu juga yang dialami Kapitalisme. Kehancuran Kapitalisme antara lain karena menjadikan individu, perusahaan dan institusi berhak memiliki apa yang menjadi milik umum, seperti minyak, gas, semua bentuk energi dan industri senjata berat sampai radar. Sebaliknya, negara tetap berada di luar pasar dari semua kepemilikan tersebut. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari ekonomi pasar bebas, privatisasi dan globalisasi.
Akhirnya terbukti, sistem Kapitalisme yang selama ini mengatur ekonomi dunia mengalami goncangan yang sangat besar; dimulai dari rontoknya pasar modal, kemudian menjalar ke sektor lain.
Kini sistem Kapitalisme sedang menderita penyakit demam yang parah. Obat yang diberikan dokter-dokter ekonomi harganya sangat mahal, bahkan tidak menjamin kesembuhan. Yang terjadi justru makin membuat perasaan panik. Inilah akhir sistem Kapitalisme, menyusul kematian sistem Sosialisme [Yulianto]
Kapitalisme bagaikan virus yang mematikan alihalih menyejahterakan rakyat, namun sejatinya otopia yang mungkin ada dalam dunia mimpi,…sistem yang rusak akan menyebabkan kefasatan dan mudarat, Hanya kepada sistem Islam lah yang bisa mendatangkan kemaslahatan dan kemakmuran bagi rakyatnya, Fakta sejarah telah tebukti dengan kemajuan yang dicapai kejayaan peradaban Islam 13 abad lamanya, La illaha illah, kembali terapkan Sistem Khilafah ala Minhajin Nubuwah, Allahu Akbar, Allahu Akbar,…satukan tekad wujudkan Khilafah Islam,…
hidup (sungguh) susah tanpa Khilafah (‘alaa minhajinnubuwwah)
Ilmu ekonomi yang dipelajari selama ini, mulai dari SLTP-SLTA- dan Perguruan Tinggi adalah ekonomi kapitalis, terutama generasi setelah merdeka sampai generasi sekarang. Perlu kiranya kurikulum yang ada usahakan untuk di robah, mari perkenalkan ilmu ekonomi Islam kepada generasi muda / anak bangsa ini. Barangkali perlu dilakukan dialog dengan para pakar ekonomi di negeri ini untuk memperkenalkan kepada mereka sistem ekonomi Islam dan sistem yang lainnya berbasis Alquran dan Hadist. Ekonom-ekonom keluaran USA perlu diberi tahu konsep ekonomi Islam mudah-mudahan mereka mengerti dan mengakui keunggulan ekonomi Islam. Barangkali HTI bisa memulai melakukan kajian perbandingan konsep ekonomi Islam dan kapitalis, bila perlu kepada ekonom yang berkuasa sekarang diberikan kepada mereka konsep ekonomi Islam. Ya kepada menteri yang berkuasa sekarang,….
system ekonomi kuffar tinggalkan jauh2 mari kita melangkah menuju system ekonomi syariah moslem jangan berkiblat ke amerika supaya tidak sirik