Islam: Fikrah dan Thariqah
Allah Swt. memerintahkan kepada kaum Muslim untuk terikat dengan apapun yang berasal dari-Nya yang diturunkan melalui Sayyid al-Mursalîn Rasulullah Muhammad saw. Hal ini jelas sekali dalam banyak firman-Nya, antara lain:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang Rasul berikan kepadamu, terimalah. Apa yang ia larang atasmu, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59]: 7).
Siapapun yang melakukan penelaahan terhadap hukum-hukum yang terdapat di dalam Islam akan menemukan ada dua jenis hukum/ajaran. Pertama: akidah dan hukum syariah yang terkait dengan penyelesaian persoalan yang ada dalam kehidupan. Akidah dan berbagai hukum/ajaran seperti itu dikenal dengan istilah fikrah. Fikrah lebih merupakan konsepsi. Misal: keimanan pada al-Quran dan as-Sunnah serta kemampuan Islam dalam menyelesaikan persoalan, keimanan bahwa Allah itu Mahaadil dan menurunkan hukum-hukum Islam yang adil, dsb. Begitu juga hukum tentang shalat, shaum, haji, kewajiban memberi makan fakir miskin, dsb; semua itu termasuk ke dalam fikrah.
Kedua: hukum/ajaran yang merupakan metode pelaksanaan dari fikrah tadi. Inilah yang dikenal dengan tharîqah. Misal: dalam Islam ada hukum terkait orang murtad. Orang yang keluar dari Islam (murtad) diberi peringatan, diberi kesempatan oleh negara selama tiga hari untuk bertobat. Jika tidak bertobat dalam waktu tersebut maka pengadilan harus menjatuhkan hukuman mati (HR al-Bukhari). Tobat orang murtad yang diterima hanya jika murtadnya itu tidak berulang-ulang, yakni tidak keluar-masuk Islam (Abdurrahman al-Malaki, Nizhâm al-’Uqûbât, hlm. 83-86). Hukum tersebut merupakan hukum untuk menjaga keimanan pada diri kaum Muslim hingga tetap dalam keislamannya. Karena hukum syariah tersebut merupakan metode pelaksanaan hukum ’kewajiban beriman’ maka dikategorikan sebagai thariqah. Contoh lain: Islam mewajibkan memberi makan fakir miskin. Bagaimana metode supaya fakir miskin tersebut benar-benar terjamin makannya? Al-Quran dan as-Sunnah menetapkan adanya hukum nafkah antar ahli waris, hukum zakat yang salah satu penerimanya adalah fakir miskin, hukum pemberian negara (i’thâ’ ad-dawlah) kepada mereka, dan hukum wajibnya negara menjamin kebutuhan pokok warganya. Hukum yang merupakan metode pelaksanaan terlaksananya kewajiban memberi makan fakir miskin tersebut merupakan tharîqah.
Berdasarkan gambaran sekilas di atas, fikrah dan tharîqah sama-sama hukum Islam. Fikrah dan tharîqah harus dijalankan. Hukum/ajaran Islam baik yang terkategori fikrah maupun tharîqah ini membentuk mabda’ (ideologi) Islam. Memisahkan keduanya berarti melaksanakan sebagian hukum syariah dan meninggalkan sebagian hukum syariah lainnya. Tentu ini diharamkan.
Berdasarkan hal ini, Islam yang wajib ditegakkan adalah Islam mabda’i (ideologis), dalam arti fikrah dan tharîqah-nya harus berasal dari syariah.
Fikrah, Tharîqah dan Partai
Saat ini Islam tidak diterapkan secara kâffah. Kaum Muslim dikuasai oleh ideologi Kapitalisme baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan dakwah bagi perubahan dari sistem kufur menjadi sistem Islam. Untuk itu, diperlukan fikrah dan tharîqah yang jelas terkait dakwah sekaligus diperlukan adanya kelompok/gerakan/partai yang jelas, yang berpegang pada fikrah dan tharîqah tersebut. Ada beberapa alasan, antara lain: Pertama, berdasarkan realitas. Sebelum dan ketika membangun apapun, setiap orang atau kelompok perlu mengetahui apa yang akan dibangun (fikrah) dan bagaimana metode yang harus ditempuh untuk mewujudkannya (tharîqah). Lalu siapa yang akan memperjuangkan fikrah tersebut melalui tharîqah tadi. Sebagai contoh sederhana, ketika akan membangun rumah perlu ditetapkan dulu rumah apa yang akan dibangun, permanen atau semi permanen, berapa tingkat, kamarnya berapa buah, ada garasi ataukah tidak, dll. Lalu dibuatlah sketsa tentang rumah yang akan dibuat itu. Inilah ’fikrah’ rumah ini. Lalu bagaimana metode yang akan ditempuh sehingga rumah itu benar-benar akan terbentuk sesuai yang dibayangkan. Berikutnya, siapa arsiteknya, developernya, buruhnya, dll. Tanpa rencana rumah apa yang akan dibuat, yang penting dibangun, maka hasilnya tidak karuan.
Kalau untuk membangun rumah saja seperti ini, maka membangun sebuah masyarakat Islam tentu memerlukan: (1) fikrah tentang masyarakat Islam dan negara yang akan diwujudkan secara jelas; (2) tharîqah untuk mewujudkannya; (3) kelompok/gerakan/partai yang memahami fikrah dan tharîqah tersebut yang terus secara konsisten memperjuangkannya. Tanpa itu semua, perubahan hanyalah sekadar berubah dengan cek kosong. Muaranya, perubahan mungkin terjadi, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Kedua, secara syar’i. Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim masuk Islam secara kâffah (QS al-Baqarah [32]: 208) untuk melanjutkan kehidupan Islam hingga menjadi umat terbaik (QS Ali Imran [3]: 110). Rasulullah saw. pun terus berjuang demi Islam. Dalam rangka mengimplementasikan hal tersebut, Beliau mencontohkan metode yang ditempuhnya; mulai dari pembinaan para Sahabat, membentuk jamaah, melakukan interaksi dengan umat (tafâ’ul ma’a al-ummah) dengan menyerang ide/hukum/kebiasaan yang bertentangan dengan Islam serta membongkar rencana jahat kaum kafir Quraisy. Semua itu, Beliau lakukan tanpa kekerasan sekalipun siksaan menimpa Beliau dan para Sahabatnya. Beliau menyodorkan dirinya kepada para pemimpin kabilah untuk menawarkan Islam, lalu memintanya memberikan dukungan kekuatan demi kemenangan Islam (thalab an-nushrah) hingga Allah Swt. memberinya kemenangan dengan berdirinya pemerintahan/negara di Madinah.
Jalan ini diperintahkan oleh Allah Swt. untuk diikuti (QS Yusuf [12]: 108; QS al-An’am [6]: 153). Bahkan Allah Swt memerintahkan agar ada kelompok/partai yang melakukan dakwah seperti itu:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Berdasarkan hal tersebut, dengan mencontoh sirah Nabi saw., terang bahwa untuk mewujudkan Islam diperlukan kejelasan fikrah tentang masyarakat/negara yang akan dibangun. Selain itu, pencapaian masyarakat/negara seperti itu ditempuh dengan metode (tharîqah):
-
Adanya partai atau jamaah yang mengemban Islam sebagai mabda’ (ideologi) untuk menerapkan hukum Islam (baik fikrah maupun tharîqah-nya).
-
Melakukan pembinaan intensif dan pembentukan opini umum (ra’y[un] ’âm) yang didasarkan pada kesadaran umum (wa’y[un] ’âm).
-
Melakukan pencarian pertolongan (thalab an-nushrah) dan kekuatan dari putra-putri umat Islam. Semua itu untuk menghilang-kan hambatan fisik. Lalu terjadilah penyerahan kekuasaan dari umat (istilâm al-hukm) kepada seseorang yang dibaiat sebagai khalifah.
-
Memproklamirkan Kekhilafahan Islam.
Perjuangan menegakkan Islam secara kâffah dalam Khilafah merupakan pekerjaan besar. Bukan hanya kesungguhan dan semangat yang diperlukan, melainkan juga pemahaman yang jernih tanpa keremang-remangan tentang fikrah yang hendak diwujudkan dan tharîqah yang harus ditempuh. Siapapun di antara komponen umat Islam yang memiliki kejernihan tersebut harus mengambil tanggung jawab untuk memimpin umat Islam untuk bersama-sama berjuang. Jika selama ini yang lantang menyuarakan penerapan syariah Islam dan Khilafah adalah Hizbut Tahrir, maka tidak salah jika Hizb memikul tanggung jawab di pundaknya untuk terjun langsung di tengah umat memimpin perjuangan.
Bahaya Ideologis dan Kelas
Kemenangan tercapai jika Islam unggul di atas ideologi yang ada di dunia: Sosialisme/Komunisme dan Kapitalisme. Untuk mencapai kemenangan ini, mabda’ (ideologi) Islam mutlak tertanam dalam jiwa umat. Hukum/ajaran Islam baik menyangkut konsepsi pemecahan terhadap berbagai masalah masyarakat (fikrah) maupun metode pelaksanaannya (tharîqah) harus terus didakwahkan. Ideologi Islam harus ditanamkan. Pada saat umat memiliki opini umum yang didasarkan kesadaran umum atas ideologi Islam maka umat akan berjuang bersama serta mengharuskan dirinya untuk dipimpin oleh partai/jamaah (hizb) yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan syariah dan menyatukan umat dalam Khilafah. Kepemimpinannya dilandasi oleh ideologi.
Namun, jika umat belum terpahamkan tentang fikrah Islam yang sedang diperjuangkan melalui tharîqah-nya, maka bahaya ideologis (khathr mabda’i) akan datang. Boleh jadi sebagian umat menerima kepemimpinan Hizb, namun bukan atas dasar ideologi melainkan atas dasar yang lain seperti kemampuannya mengorganisasi acara, kecakapannya mendatangkan massa besar, kesungguhannya dalam merencanakan dan menjalankan kegiatan bersama, dll. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan, sekalipun tidak setuju dengan fikrah yang diperjuangkan Hizb, tetapi umat ’rela dipimpin’. Dalam kondisi demikian, ikatan kepemimpinan bukanlah mabda’ (ideologi), melainkan kepentingan.
Jangan heran jika dalam situasi demikian akan muncul tuntutan kepentingan sesaat kepada Hizb. Kalau tuntutannya sesuai dengan fikrah dan tharîqah yang ditempuh tampaknya tidak akan menjadi problem. Namun, akan lain jika tuntutannya misalnya: (1) tuntutan untuk bersikap kompromi terhadap sistem dan penguasa sekular; (2) tuntutan segera berkuasa dengan menjatuhkan penguasa dengan tetap mempertahankan sistem sekular; (3) bertindak anarkis agar suatu tuntutan dikabulkan oleh penguasa; (4) fokus pada merebut kekuasaan dengan mengabaikan penanaman mabda’ dalam diri umat; (5) bergabung dengan sistem kufur yang ada; dll.
Tentu, pilihannya amat berat. Jika memilih tuntutan tersebut maka Hizb harus mengorbankan fikrah dan tharîqah yang diembannya dalam perjuangan. Sebaliknya, jika tidak memenuhi tuntutannya boleh jadi akan ada tudingan-tudingan miring terhadap Hizb. Pilihannya hanya satu: berpeganglah pada mabda’ karena perjuangan ini memang demi tegaknya mabda’ Islam dan ruh Hizb adalah mabda Islam itu sendiri. Lihatlah, bagaimana sikap tegas Nabi saw. mempertahankan mabda’ saat ditawari harta, tahta dan wanita oleh Quraisy; begitu juga sikap tegas beliau berpegang pada mabda’ Islam dalam Perjanjian Hudaibiyah. “Aku ini Rasulullah, tidak akan menyalahi perintah-Nya,” kata Beliau saat itu. Sikap negatif umat hanyalah sesaat, akan berubah dengan makin pahamnya mereka terhadap fikrah dan tharîqah yang ditempuh.
Untuk menghindari terjadinya hal ini perlu ditempuh beberapa hal, di antaranya: (1) berpegang teguh pada hukum Islam secara total, baik fikrah maupun tharîqah-nya; (2) bersungguh-sungguh membina umat dengan mabda’ Islam serta melakukan pergolakan terhadap pemikiran kufur, membongkar rencana jahat asing; (3) menjaga kejernihan pemikiran dan pemahaman Hizb; (4) terus berjuang berada di tengah-tengah umat dengan hidup bersama mereka, berkomunikasi, beraktivitas bersama, dll. [MR Kurnia]