HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Bolehkah Memutus Hubungan Dengan Sesama Muslim?

Soal:

Bagaimana hukum memutus hubungan (muqâtha’ah) dengan sesama Muslim? Apakah dengan muqâtha’ah tersebut berarti sama dengan mengkafirkan seseorang? Jika tindakan tersebut dinisbatkan kepada tindakan Nabi terhadap Kaab dan kawan-kawan, apakah ini hanya hak kepala negara, atau hak semua orang?

Jawab:

Pertama, harus didudukkan bahwa memutus hubungan (muqâtha’ah) dengan sesama Muslim adalah hukum syariah yang diberlakukan untuk menyelesaikan masalah tertentu yang terjadi dalam hubungan antar sesama Muslim. Hukum ini tidak ada kaitannya dengan masalah takfîr (pengkafiran) seorang Muslim. Dengan kata lain, orang yang diputus hubungannya oleh yang lain, bukan berarti dianggap kafir. Ia tetap Muslim. Namun, karena sifat tertentu yang melekat padanya, maka kepadanya diberlakukan hukum muqâtha’ah tersebut.

Dalam konteks inilah, Ibn Baththal menyatakan, bahwa Allah mempunyai hukum yang mengandung kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Dia Mahatahu akan urusannya sehingga mereka harus tunduk pada perintah-Nya dalam urusan tersebut.[1]

Kedua, ada hadis yang melarang memutus hubungan (muqâtha’ah) dengan sesama Muslim, di antaranya sabda Rasulullah saw.:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَياَلٍ

Tidaklah halal seorang Muslim meninggalkan saudaranya lebih dari tiga malam (HR al-Bukhari).

Makna an yahjura, atau bentuknya mashdar-nya hajr, adalah lawan dari kata washl, atau memutus hubungan.[2] Secara harfiah (manthûq), hadis ini melarang seorang Muslim memutus hubungan dengan sesama Muslim lebih dari tiga hari. Dari hadis ini juga bisa dipahami, berdasarkan mafhûm mukhâlafah, bahwa memutus hubungan sesama Muslim dibolehkan kurang dari tiga hari.[3]

Namun, larangan tersebut dikecualikan terhadap orang yang melakukan maksiat. Dalam kitab Fath al-Bari: Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ibn Hajar al-Asqalani, mengomentari judul bab: Bab Mâ Yajûzu min al-Hijran li Man ‘Ashâ (Memutus Hubungan yang Dibolehkan terhadap Orang yang Maksiat), dengan menyatakan: Dengan penjelasan ini, al-Bukhari ingin menjelaskan hukum memutus hubungan yang dibolehkan. Sebab, keumuman dari larangan tersebut sebenarnya hanya berlaku untuk orang yang diputus hubungannya tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Dari sini tampak, bahwa alasan dibolehkannya memutus hubungan berlaku untuk orang yang melakukan maksiat.[4]

Ibn al-Mulhib menyatakan, memutus hubungan yang dibolehkan itu beragam, sesuai dengan kadar kesalahannya. Terhadap orang yang melakukan maksiat, dibolehkan memutus hubungan dengan cara tidak berbicara dengannya, sebagaimana dalam kisah Kaab bin Malik dan kedua temannya (Murarah dan Hilal). Terhadap keluarga atau teman karena faktor marah, boleh memutus hubungan dengan tidak menyebut nama, atau bermuka masam, tetapi dengan tetap berbicara, mengucapkan dan menjawab salam kepadanya.[5]

Menurut ath-Thabari, kasus Kaab bin Malik adalah dasar untuk memutus hubungan dengan orang yang melakukan maksiat.[6] Dalam uraiannya, Ibn Hajar mengomentari pernyataan Abdullah bin Zubair, ketika di­­-muqâtha’ah oleh Aisyah: fa innahu la yahillu lahâ qathi’athi (Tidak halal baginya untuk memutus hubungan kekerabatan denganku), dengan menyatakan: Jika memutus hubungan denganku sebagai sanksi atas dosaku, maka pasti akan lama. Jika tidak, maka memutus hubungan secara permanen itu akan menyebabkannya memutus silaturrahim. Menurut Ibn Hajar, alasan Aisyah melakukan itu karena Abdullah bin Zubair, yang notabene masih keponakannya sendiri itu, telah melakukan kesalahan besar. Masih menurutnya, Aisyah melakukan itu karena tindakan memutus hubungan dengan tidak mau berbicara dengan Abdullah bin Zubair itu memang dibolehkan, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Kaab dan kedua temannya, sebagai sanksi atas kemaksiatan mereka.[7]

Karena itu, konteks tindakan Nabi saw. terhadap Kaab bin Malik, Murarah dan Hilal itu dipahami oleh para Sahabat, termasuk Aisyah dan Abdullah bin Zubair, bukan hanya hak kepala negara, sehingga tindakan yang sama tidak bisa dilakukan oleh orang biasa, seperti Aisyah. Sebaliknya, dengan tindakan muqâtha’ah yang dilakukan oleh Asiyah ini, maka tindakan tersebut bisa dilakukan oleh siapapun terhadap siapapun.

Imam an-Nawawi juga menjelaskan, bahwa hadis yang memerintahkan untuk memutus hubungan dengan ahli bid’ah, orang fasik[8] dan para penyerang sunnah itu jumlahnya banyak. Karena itu, menurutnya, memutus hubungan secara permanen pun dibolehkan. Karena itu, larangan memutus hubungan dengan kaum Muslim lebih dari tiga hari itu tidak berlaku untuk ahli bid’ah, orang fasik dan sejenisnya. Para Sahabat, tâbi‘în dan generasi pasca mereka pun senantiasa memutus hubungan dengan siapa saja yang melanggar sunnah atau orang yang ucapannya rusak (mafsadah).

Ibn ‘Abd al-Barr juga menyatakan hal yang sama, bahwa para ulama sepakat: siapa saja yang takut berbicara dengan seseorang, yang dengan berbicara tersebut bisa menyebabkan agamanya rusak atau memadaratkan urusan dunianya, maka dia dibolehkan untuk memutuskan hubungan dengan orang tersebut.[9]

Ketiga, tentang mengucapkan dan menjawab salam dalam konteks muqâtha’ah, dalam hal ini hukumnya bisa dikembalikan pada alasan muqâtha’ah-nya. Jika alasan muqâtha’ah-nya bukan karena faktor maksiat, melainkan karena faktor marah terhadap keluarga atau teman, maka mengucapkan dan menjawab salam tetap diperintahkan.[10] Namun, jika alasan muqâtha’ah-nya karena faktor maksiat, dan orang yang di-muqâtha’ah tersebut layak dihukumi, minimal sebagai orang fasik, maka mengucapkan dan menjawab salam tidak diperintahkan. Dalam kitab Faydh al-‘Allam fî Syarh Arba’ina Hadîtsan fi as-Salâm, Sayid Shalih bin Ahmad al-‘Idrus, menjelaskan: Salam kepada orang fasik, ahli bid’ah dan pelaku dosa besar tidak disunnahkan. Bahkan tidak sepatutnya mengucapkan dan menjawab salam mereka.[11] Imam as-Suyuthi juga menyatakan pandangan yang hampir sama.[12]

Sebagaimana penjelasan ath-Thabari di atas, dasarnya bisa dikembalikan pada tindakan Nabi dan para Sahabat untuk tidak mengucapkan dan menjawab salam Kaab bin Malik, Murarah dan Hilal. Sebab, inilah pijakan dasar dalam memutus hubungan dengan orang yang melakukan maksiat.[13] Wallâhu a’lam.

Catatan kaki:

  1. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Saudi, t.t., III/2671.
  2. Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., V/250.
  3. Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., XVI/117.
  4. Ibn Hajar al-Asqalani, Op. cit., III/2671.
  5. Ibid, III/2671.
  6. Ibid, III/2671.
  7. Ibid, III/2670-2671.
  8. Tentang Ahli bid’ah dan penyerang sunnah sudah jelas, maka tidak perlu dijelaskan lagi. Namun, tentang orang fasik, penting untuk dijelaskan. Kata fasaqa, menurut Ibn Mandzur, artinya keluar dari kebenaran. Menurut istilah ahli fikih, fisq (masdar dari fasaqa), adalah tindakan melakukan dosa besar dengan sengaja, atau terus-menerus melakukan dosa kecil, yang tidak perlu ditakwilkan lagi. Tidak taat kepada amir adalah bentuk kemaksiatan, yang oleh Nabi saw. disebut sama dengan tidak taat kepada Beliau (Hr. Ahmad, Ibn ‘Iwanah, Ibn Hibban dan Ibn Huzaimah). Dengan kata lain, tidak taat kepada amir merupakan dosa besar. Tindakan tidak taat kepada amir itu saja, menurut definisi fasik di atas, sudah cukup menjadikan pelakunya sebagai orang fasik, apalagi ketidaktaatan tersebut dilakukan dengan bangga, tanpa perasaan bersalah; bahkan kemudian mengembangkan fitnah bahwa amirnya maksiat. Tidak hanya itu, orang tersebut juga memprovokasi orang lain untuk melawan amirnya, sebagaimana yang dia lakukan. Dengan demikian, orang tersebut telah melakukan tiga dosa besar sekaligus: (1) Dosa tidak taat kepada amir; (2) Dosa memfitnah amir dengan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan; (3) Dosa memprovokasi orang lain untuk melakukan perlawanan terhadap amirnya. Terhadap orang seperti ini berlaku hukum muqâtha’ah di atas, termasuk perintah untuk memeriksa semua informasi yang bersumber dari orang tersebut (Lihat: Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, X/308; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 315.
  9. Lihat: Tanwîr al-Hawâlik, I/655.
  10. Op.cit., III/2671.
  11. Al-‘Alim al-Ushuli as-Sayid Shalih bin Ahmad al-‘Idrus, Faydh al-‘Allam fî Syarh Arba’îna Hadîtsan fî as-Salâm, Mathba’ah ar-Rushaifah, Malanj, Indonesia, t.t., hlm. 9.
  12. Lihat: Syamsuddin ar-Ramli, Nihâyât al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhâj, t.t., XXVI/366.
  13. Lihat: Ibn Hajar, Op. cit., III/2671.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*