Sebagaimana dimaklumi, saat ini kita memasuki kembali bulan-bulan haji. Jutaan calon jemaah haji dari berbagai penjuru dunia telah mulai berangkat ke Tanah Suci. Jutaan lainnya mengantri agar tahun depan bisa pergi haji. Meski tergolong berat dan melelahkan, minat umat Islam, termasuk di Tanah Air, untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci tidak pernah surut. Padahal ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan kesiapan fisik yang prima dan dana yang besar.
Kita menyaksikan betapa para calon jamaah haji menyambut tibanya musim haji dengan penuh semangat dan kegembiraan. Keluarga dan sanak-saudara yang ditinggalkan pun senantiasa memberikan dorongan semangat kepada mereka yang berangkat. Dengan senang hati, ikhlas dan gembira, mereka melepas keberangkatan para calon jamaah haji. Semua orang menyambut seruan Allah yang suci ini.
Demikianlah, ibadah haji telah mengajari kita spirit untuk melaksanakan salah satu syariah Allah ini dengan penuh keikhlasan, semangat, merasa ringan, riang-gembira dan nikmat.
*****
Nabi saw. telah mengajari semua kaum Muslim yang berhaji wajib mengikuti dan meneladani praktik ibadah haji Beliau sekaligus menunaikan manasiknya sesuai dengan yang telah Beliau syariatkan. Nabi saw. bersabda, “Ambillah dariku manasik (tatacara) ibadah haji kalian.” (HR al-Baihaqi).
Lebih dari itu, ibadah haji sesungguhnya mengajari kita ketaatan secara total kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Mencium Hajar Aswad, misalnya, dilakukan tidak lain semata-mata sebagai bukti ketaatan dan ketundukan kita dalam memenuhi seruan Allah sekaligus meneladani Rasul-Nya. Kita masih ingat, bagaimana ucapan pada saat Umar bin al-Khaththab hendak mencium Hajar Aswad saat menunaikan ibadah haji, “Sungguh, aku tahu, engkau hanya sebongkah batu hitam, yang tidak bisa mendatangkan manfaat atau madarat. Andai saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan sudi menciummu.”
Begitulah sikap Umar, sebagaimana sikap setiap jamaah haji pada umumnya. Mereka taat, patuh dan tunduk menjalankan semua rangkaian aktivitas dalam ibadah haji. Mereka tidak pernah sekalipun mempertanyakan, apalagi memprotes, mengapa dalam ibadah haji harus begini atau harus begitu. Umumnya, yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: bagaimana menjalani semua ketetapan Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah haji itu dengan sebaik-baiknya; dengan penuh keikhlasan, kepasrahan, ketundukan dan bahkan kehati-hatian karena khawatir ibadah hajinya tidak mabrur (diterima). Sikap demikian didasarkan pada satu keyakinan, bahwa semua itu diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya sehingga wajib dilaksanakan apa adanya tanpa perlu membantah.
Jelas sekali, setiap jamaah haji benar-benar mengagungkan dan mensakralkan ibadah haji sebagai salah satu syariah Allah dan Rasul-Nya. Sikap pengagungan dan pensakralan ini tercermin pada kesungguhan mereka untuk menjalankan rangkaian ibadah haji itu dengan penuh semangat, kesungguhan, kehati-hatian, keikhlasan dan kenikmatan; tanpa pernah merasakan lelah atau terbebani.
*****
Tidak sekadar dalam ritual ibadah haji, Allah Swt. sesungguhnya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menaati Beliau dalam segala hal (QS al-Hasyr [57]: 7) serta menjelaskan bahwa mengikuti Beliau adalah sebab satu-satunya untuk dapat masuk surga (QS al-Fath [48]: 17). Mengikuti Beliau juga sekaligus menjadi bukti kebenaran cinta seorang hamba kepada Allah, Tuhannya (QS Ali Imran [3]: 31).
Pengertian ini bersifat umum, yakni perintah untuk menaati dan meneladani Rasulullah saw. dalam segala ucapan dan tindakan Beliau; tidak ada pembatasan ataupun pengkhususan hanya dalam ibadah haji atau ibadah-ibadah ritual lainnya.
*****
Ritual haji dalam Islam adalah bagian dari gerakan perubahan. Sebab, manasik haji yang dilakukan kaum Muslim betul-betul mengubah ‘manasik haji’ ala Jahiliah yang telah dilarang. Misal: kaum Jahiliah biasa tawaf dengan telanjang. Sebaliknya, kaum Muslim melaksanakannya dengan mengenakan pakaian ihram.
Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dariku manasik (tatacara) ibadah haji kalian.” (HR al-Baihaqi).
Melalui sabdanya ini, Rasulullah saw. seolah ingin meneguhkan, “Janganlah kalian mengambil (mengamalkan) manasik haji ala Jahiliah!”
Faktanya, tidak hanya ritual haji ala Jahiliah yang diperintahkan Rasulullah saw. untuk ditinggalkan oleh kaum Muslim, tetapi juga seluruh sistem kehidupan ala Jahiliah. Bahkan inilah di antara pesan utama pidato Rasulullah saw. di Arafah pada saat Haji Wada’, “Ketahuilah, segala sesuatu yang berasal dari ajaran Jahiliah telah diletakkan di bawah telapak kakiku!”
Allah pun, dalam hal ini, memerintahkan kaum Muslim untuk mengambil apapun hanya dari Rasulullah saw. (QS al-Hasyr [57]: 7). Jadi, bukan hanya ritual haji ala Rasulullah saw. yang harus diamalkan, tetapi sekaligus sistem kehidupan yang dibawa oleh Beliau, yakni sistem yang berlandaskan syariah Islam.
Kini, ibadah haji telah ribuan kali dilakukan oleh kaum Muslim. Sayang, sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam terakhir di Turki tahun 1924, sistem Jahiliah justru hadir kembali menggantikan sistem Islam. Sampai hari ini, setelah sekitar 80 tahun, sistem Jahiliah itu masih becokol dan belum digantikan kembali oleh sistem Islam, padahal haji ala Jahiliah sudah lama terkubur sejak ratusan tahun silam.
Tentu saja kita berharap, ibadah haji kali ini akan mendatangkan berkah bagi kaum Muslim, khususnya para jamaah haji, yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya ketaatan umat Islam kepada Allah, sekaligus semakin bersemangatnya mereka untuk segera menerapkan syariah-Nya. Kita berharap, dalam pelaksanaan ibadah haji tahun depan, kaum Muslim sudah berada dalam naungan sistem Islam, tidak lagi berada dalam kungkungan sistem Jahiliah saat ini, yang berpangkal pada ideologi Kapitalisme-sekular yang sudah terbukti bobrok.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Arief B. Iskandar]