HTI

Jejak Syariah

Islam Dan Kraton Kasunanan Surakarta (Masa Sunan Pakubuwana IV) – Bagian 1

 

Sikap Keagamaan Masyarakat Keraton

Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya pemimpin dan sekaligus sebagai pengatur urusan agama) oleh sunan, dan berdirinya mesjid agung di lingkungan keraton. Di samping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar.1

Kasunanan Surakarta mengenal tiga macam upacara garebeg1, yaitu Garebeg Pasa, pelaksanaannya bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri; Garebeg Besar, diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Qurban; dan Garebeg Mulud, untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Mulud, juga dikenal dengan sebutan sekaten, merupakan garebeg terbesar di antara dua garebeg lainya sehingga pelaksanaanya sangat agung dan meriah. Ciri-ciri seperti ini merupakan tanda penguat bahwa Kasunanan Surakarta memang sebuah kerajaan Islam.

Meskipun nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton Kasunanan Surakarta, pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik. Berbagai kepercayaan pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya, semua itu menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi2.

Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan sufisme atau mistik Islam.3

Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Pandanaran.4 Kedua tokoh penyebaran agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses islamisasi di pedalaman Jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam.

Ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam memang mengenal dua aliran, yaitu tasawuf ortodok dan tasawuf heterodok. Tasawuf ortodok, dengan tokohnya Imam al-Ghazali, tetap mempertahankan transedensi Tuhan yang mengatasi semua makhluk sehingga antara Tuhan dan makhluk terdapat perbedaan. Sebaliknya, tasawuf heterodok, dengan tokohnya yang terkenal Al-Hallaj dan Ibnu Arabi, cenderung pada paham panteistik (wahdat al-wujud) dan percaya bahwa makhluk merupakan bagian dari Tuhan sehingga ‘manusia dapat menyatu dengan Tuhan’ (manunggaling kawulo gusti).

Pandangan dunia tradisional Jawa yang tidak membedakan antara makrokosmos (jagad gede atau alam keIlahian) dan mikrokosmos (jagad cilik atau alam manusia), sehingga keduanya dapat saling bertemu, mendapatkan kecocokannya dari ajaran Islam mistik; wahdat al-wujud bersikap panteistik, dalam arti manusia dapat menyatu dengan Tuhan.5Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka islam dapat diterima dan diintegritaskan dalam pola sosial, budaya dan politik masyarakat.

Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa ini dapat dilihat dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga dianggap sebagai ‘penjaga’ budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa merupakan karya para wali.6 Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama Islam.

Gambaran sifat sinkretik yang lebih mementingkan sufisme atau tasawuf dalam masyarakat Keraton Surakara dapat dilihat dari sikap hidup mereka dalam menghayati agama. Bagi masyarakat Keraton, ajaran syariah dalam Islam barulah dianggap sebagai titik awal untuk menuju taraf pemahaman tentang keilahian yang lebih tinggi. Syariah agama memang dijalankan masyarakat Keraton. Namun, hal ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir karena ada tujuan lain yang ingin direngkuhnya. Munculnya ajaran tentang manunggaling kawulo gusti dan kecenderungan masyarakat Keraton untuk menghayati keagamaan yang hanya ada dalam dunia batin, sehingga sering meninggalkan aspek syariah agama yang dianutnya, merupakan bukti sikap keagamaan yang sinkretik tersebut.

Namun demikian, adakalanya sikap keagamaan masyarakat Keraton yang cenderung sinkretik berubah ke sikap lebih ortodok (murni) yang menekankan pada hukum syariah. Ketika Sunan Paku Buwana IV (1788–1820) memerintah Kasunanan Surakarta, perubahan sikap keagamaan ini juga terjadi. Sunan Paku Buwana IV memang dikenal sebagai raja yang alim dan taat menjalankan perintah agama sehingga mendapat julukan ratu ambleg wali mukmin. Sikap keagamaan yang dihayati oleh seorang raja kemudian berpengruh pada sikap keagamaan masyarakat Keraton lainnya. Suasana perubahan sikap keagamaan di keraton Surakarta tampak dengan jelas pada karya sastra yang lahir saat itu, seperti Serat Centini, Serat Cabolek, dan Serat Wulang reh. Ketiga serat tersebut memang dapat memberikan gambaran mengenai realitas sejarah awal Abad XIX, khususnya tentang sikap masyarakat Keraton (bangsawan dan priyayi) dalam menghayati ajaran agamanya [Bersambung]

 

Catatan kaki:

  1. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Penerbit Taman Siswa, Yogyakarta,1989), hlm.139.
  2. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 310; W.F. Wertheim, Indonesian Society in transition,A Study of Social Change, (Bandung: W. van Hoeve, 1956), hlm. 9.
  3. H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Majapahit ke Mataram, (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 256-275.
  4. Mengenai tokoh Sunan Kalijaga (lihat: Ibid. hlm. 283); Babad Tanah Jawi, edisi J.J. Raas, (Dordrecht Holand/ Providence USA: Foris Publications, 1987), hlm. 56-60.
  5. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 52-53; Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 27-30.
  6. Mengenai sumbangan para wali bagi perkembangan kesenian wayang dan gamelan, lihat Solochin Salam, Sejarah Wali Sanga, (Kudus: Menara Kudus, 1975).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*