Demokrasi Tak Mensejahterakan
Pada 20–22 Oktober lalu, PPIM (Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat) UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, bekerjasama dengan La Trobe University Australia, menyelenggarakan Workshop Internasional dengan tema, “Developing Constructive Responses to Tensions in The Domestic and Regional Environtment: Dialogue Across The Cultural and Religious Divide”. Acara ini diikuti oleh sekitar 30 peserta dari Indonesia, Australia, Malaysia, Filipina dan Thailand. Dari Indonesia selain para peneliti dan dosen dari berbagai perguruan tinggi, diundang juga Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia dan wakil JIL.
Ada hal menarik, dalam pidato pembukaan yang dihadiri oleh Bill Farmer, Dutabesar Australia untuk Indonesia, Prof. Dr. Azyumardi Azra (Direktur Sekolah Pasca Sarjana, UIN Jakarta) menyatakan bahwa meski proses demokratisasi pada era reformasi di Indonesia dinilainya semakin mantap, ternyata semua itu tidak secara otomatis membuat rakyat Indonesia menjadi semakin sejahtera. Karenanya, kata dia, diperlukan usaha untuk membuat demokrasi di Indonesia beriringan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Diskusi tentang demokrasi (dan hubungannya dengan Islam) makin hangat dalam sesi pertama yang membahas tema, “Islam, Democratisation Process and Political Stability in ASEAN Countries,” dengan pembicara Dr. Bahtiar Effendy (Dosen Sekolah Pasca Sarjana, UIN Jakarta) dan pembahas Zainudin S. Malang (Direktur Bangsamoro Centre for Law and Policy, Philipina), Chandra Muzaffar (Universiti Sains Malaysia), Waleed Aly (Monash University Australia), Noorhaidi Hasan (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta).
Bahtiar Effendy menegaskan bahwa secara umum umat Islam tidak masalah terhadap demokrasi. Memang ada yang menolak, tapi katanya itu sedikit. Dia menyebut ada sejumlah ajaran Islam yang selaras dengan gagasan demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, musyawarah dan sebagainya.
Chandra Muzaffar menanggapi presentasi Bahtiar Effendy dengan sangat baik. Dia mengatakan bahwa harus diakui ada dua pendapat besar di kalangan umat Islam mengenai demokrasi. Satu menerima dengan mengatakan bahwa Islam selaras dengan demokrasi, seperti yang dijelaskan oleh Bahtiar. Satunya lagi menolak. Intinya gagasan demokrasi tentang kedaulatan di tangan rakyat bertentangan dengan prinsip Islam mengenai kedaulatan atau sovereignty Allah (hakimiyatullah).
Dalam sesi tanggapan, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Pak Azra itu betul. Demokrasi memang telah memberikan jalan kepada rakyat Indonesia untuk memilih pemimpinnya secara bebas, tapi faktanya kebanyakan dari mereka tetap saja hidup miskin. Lihatlah, Indonesia yang kini memang dikenal sebagai negara demokratis sebagai buah dari gerakan reformasi pada tahun 1998; meski 10 tahun reformasi telah berjalan, kebanyakan rakyat masih saja hidup dalam penderitaan. Mengapa bisa begitu? Jubir HTI memberikan penjelasan lebih lanjut, meski bebas memilih pemimpin, demokrasi tidak memberikan kepada rakyat hak untuk menentukan sistem apa yang harus dipakai pemimpin terpilih untuk mengatur negara, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Asumsinya, perwakilan rakyat dalam parlemen akan menetapkan itu dengan sebaik-baiknya, seperti adagium “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara tuhan). Faktanya, tidaklah demikian. Anggota parlemen ternyata tidak selalu bekerja demi rakyat. Sangat banyak bukti, anggota parlemen menyusun undang-undang bukan demi kepentingan rakyat, tapi demi partai atau kelompoknya, bahkan demi kepentingan pemilik modal dari dalam maupun luar negeri. UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal adalah sebagian contoh dari UU yang sarat kepentingan pemodal. Bahkan UU Kelistrikan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai terbukti bertentangan dengan prinsip penjagaan kepentingan rakyat.
Dalam konteks demokrasi, krisis finansial yang saat ini tengah melanda AS dan dampak buruknya telah menyentuh Indonesia juga merupakan bukti nyata kelemahan demokrasi. Krisis ini telah menimbulkan kekacauan ekonomi di negara yang selama ini disebut kampiun demokrasi. Sejumlah lembaga keuangan besar, yang di antaranya telah berumur ratusan tahun, bangkrut meninggalkan tumpukan masalah. Bila dinilai dari ukuran demokrasi, kurang demokratis apa Amerika Serikat, tapi meski begitu, tetap saja ia tak terhindar dari terpaan krisis.
Dengan melihat fenomena krisis finansial di AS dan kenyataan kondisi ekonomi Indonesia, terbukti bahwa demokrasi memang tidak secara otomatis menghasilkan kesejahteraan rakyat. Bahkan sebaliknya, dengan demokrasi liberal seperti yang sekarang tengah dipraktikkan di Indonesia dan Amerika Serikat—karena untuk menggerakkan mesin politik memerlukan dana yang sangat besar sehingga peran pemilik modal menjadi sangat sentral—tak pelak lagi undang-undang atau peraturan-peraturan yang disusun oleh wakil rakyat atau kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih akan cenderung berpihak kepada pemilik modal sebagai imbal jasa atas dukungan dana yang diberikan. “Di sinilah relevansinya prinsip sovereignty belong to gods atau kedaulatan Allah. Dengan prinsip ini, sistem perundang-undangan dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin harus berdasar syariah,” jelas Jubir HTI lebih lanjut merespon pernyataan Azyumardi Azra tadi.
Dengan syariah, pemimpin tidak bisa bekerja seenaknya. Dia harus mengacu pada syariah dalam setiap kebijakannya, termasuk di bidang ekonomi, tidak didasarkan kepada kepentingan imbal budi kepada para kapitalis pemilik modal yang telah mendukung karir politiknya. Dengan syariah, alokasi atau distribusi kekayaan akan dilakukan dengan adil. Negara melalui kebijakan dan peraturan yang didasarkan pada syariah benar-benar akan berperan sentral dalam distribusi kekayaan kepada seluruh rakyatnya. Sumberdaya alam yang notabena menurut syariah adalah milik rakyat, misalnya, akan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Tidak seperti sekarang, para kapitalis berebut, melalui tangan penguasa yang telah berutang budi padanya, untuk mengeksploitasi sumberdaya alam itu. Akibatnya, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh perusahaan swasta itu. Bukan oleh rakyat. Rakyat Indonesia yang memiliki sumberdaya alam melimpah itu tetap saja hidup miskin.
Dengan prinsip syariah, kegiatan ekonomi ribawi dan spekulasi atau judi seperti yang terjadi di lantai bursa dan perbankan konvensional tidak akan diteruskan karena praktik ekonomi semacam ini membuat ekonomi tidak pernah stabil, juga menghasilkan ketidakadilan ekonomi. Sebagai gantinya diterapkan sistem keuangan yang benar; kegiatan keuangan akan selalu berhubungan dengan sektor riil (melalui kegiatan musyârakah atau mudhârabah). Mata uang kertas yang tidak mampu menyimpan kekayaan secara riil dan sangat rentan terhadap tekanan inflasi akan diganti dengan dinar dan dirham atau mata uang yang ditopang seratus persen oleh emas berdasar nisbah syar’i (1 dinar sama dengan 4,25 gram emas). Dengan mata uang seperti ini, kemampuan beli masyarakat akan terjaga. Sebagai contoh, harga kambing pada masa Nabi saw. adalah 1 dinar. Bila 1 dinar kira-kira sama dengan Rp 1,2 juta, itu berarti harga kambing selama lebih dari 1400 tahun tidaklah berubah.
Penjelasan seperti ini juga ditegaskan Jubir HTI ketika menyampaikan materi “Aspirasi Politik Hizbut Tahrir Indonesia” dalam workshop “Muncul dan Berkembangnya Varian Keagamaan Islam Kontemporer di Indonesia: Islam, Negara Bangsa dan Globalisasi” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, Jakarta, bersama Luthfie Assyaukani (JIL) pada 30 Oktober lalu. Intinya, asprirasi HTI adalah penerapan syariah untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, termasuk dalam menghadapi krisis ekonomi.
Ketika salah seorang peserta workshop menanyakan, bila HTI menawarkan syariah untuk solusi krisis ekonomi, apa solusi yang ditawarkan oleh JIL? Luthfie, setelah berputar-putar, akhirnya menjawab tidak ada. Ia bahkan menegaskan penilaiannya bahwa Kapitalisme tetaplah sistem yang terbaik, bukan syariah. Olala… [Kantor Jubir HTI-Jakarta]