Pasca eksekusi Amrozi, dkk banyak pihak yang mencoba mengeruk keuntungan dengan gencarnya pemberitaan media terhadap peristiwa ini. Pihak yang sejak awal mengklaim dirinya moderat dan inklusif menjadikan peristiwa ini sebagai senjata untuk menyudutkan kelompok lain yang dicap radikal, ekstrem dan eksklusif.
Ada yang mengatakan, radikalisme dan terorisme tidak pernah mati dengan dieksekusinya Amrozi dkk. Bahkan ada yang mengatakan, Amrozi dkk justru akan menjadi martir yang akan memicu aksi-aksi terorisme baru.
Di sisi lain, upaya untuk mereduksi makna jihad terus dilakukan. Ada yang menyatakan, jihad itu bukan perang, tetapi mengentas kemiskinan, kebodohan dan sejenisnya. Itulah jihad yang sesungguhnya. Selain itu, stigmatisasi juga terus-menerus dilakukan; seolah-olah jihad, dengan konotasi perang, identik dengan radikalisme dan terorisme.
Jika semua ini tidak dijelaskan, dijernihkan dan didudukkan secara proporsional maka sekali lagi umat Islam akan menjadi korban; korban penyesatan intelektual (tadhlîl fikri) dan penyesatan politik (tadhlîl siyâsi). Targetnya adalah melemahkan kekuatan umat Islam. Jika demikian, siapa yang diuntungkan? Tentu bukan Islam dan umatnya, melainkan kaum kafir penjajah. Sebab, dengan cara seperti itulah, ajaran Islam akan ditinggalkan oleh umatnya. Setelah itu, mereka menjadi lemah dan mudah dijajah.
Karena itu, kita harus jujur dan amanah dalam menyampaikan Islam. Jika tidak, berarti kita telah mengkhianati Allah, Rasul dan seluruh umat Islam. Memang benar, jihad menurut bahasa adalah bekerja keras atau bersungguh-sungguh. Namun, dalam istilah syariah, jihad didefinisikan oleh para ulama fikih dengan ‘mengerahkan seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik dengan harta, jiwa, raga maupun pikiran; baik secara langsung maupun tidak’. Itulah pengertian jihad yang disepakati oleh para ulama, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii maupun Hanbali.
Oleh karena itu, memaknai jihad dengan ‘bekerja keras’, ‘bersungguh-sungguh’, atau mengalihkan maknanya dari makna asalnya dengan mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan sebagainya jelas merupakan bentuk penyesatan intelektual (tadhlîl fikri). Tindakan seperti ini, dalam pandangan Islam, merupakan tindakan kriminal (jarîmah). Dampaknya, umat Islam bisa meninggalkan ajaran Islam ini, yang oleh Baginda Nabi saw. disebut sebagai: dzarwah sanam al-Islam (ujung tombak Islam). Itulah jihad dalam pengertian perang.
Kewajiban jihad (perang di jalan Allah) didasarkan pada nash-nash yang adalah qath’i (tegas), dan tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama dalam masalah ini. Siapapun yang menolak kewajiban jihad bisa dinyatakan kafir dan keluar dari Islam.
Setiap upaya untuk mengaitkan jihad dengan terorisme juga harus ditolak. Pengaitan jihad dengan terorisme jelas berbahaya, dan ini merupakan penyesatan politik (tadhlîl siyâsi). Tentu, ini juga merupakan tindakan kriminal yang luar biasa (jarîmah kubrâ).
Namun, kita juga harus jujur dan proporsional. Jihad memang bermakna perang, namun tidak semua perang identik dengan jihad. Perang melawan bughât, perang melawan teroris, perang membela kehormatan, perang membela kehormatan umum masyarakat seperti amar makruf nahi mungkar, perang fitnah, perang melawan perampas kekuasaan, termasuk perang untuk mendirikan Negara Islam tidak termasuk dalam kategori jihad. Karena itu, istilah jihad hanya digunakan dalam konteks berperang melawan orang kafir, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah, menebarkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Jihad juga bukan perang demi menumpahkan darah, menjajah, merampok kekayaan alam, menodai jiwa dan kehormatan bangsa atau umat yang diperangi. Jihad adalah perang untuk menggempur dinding kekufuran agar cahaya Islam bisa sampai kepada bangsa atau umat yang ada di dalamnya. Itu pun merupakan alternatif terakhir, setelah para penguasa mereka tetap bebal, dan tidak mau menerima tawaran untuk memeluk Islam, atau tunduk pada sistem dan pemerintahan Islam. Andai saja mereka mau masuk Islam, atau tunduk pada sistem dan pemerintahan Islam meski tetap memeluk agama mereka, maka terhadap mereka hukum jihad tidak akan diterapkan.
Para ulama juga memilah jihad menjadi dua: difâ’i (defensif) dan ibtidâ’i (ofensif). Hukumnya juga berbeda. Ketika negeri kaum Muslim diserang, misalnya, seperti Irak, Afganistan dan Palestina, maka hukum berjihad melawan agresor adalah fardhu ‘ain. Itulah jihâd difâ’i (jihad defensif). Berbeda jika umat Islam yang memulai serangan, maka hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Inilah yang disebut jihâd ibtidâ’i (jihad ofensif). Hanya saja, siapa yang berhak mengumumkan perang dalam kondisi seperti ini? Dalam pandangan Islam, yang berhak hanya kepala negara, atau khalifah kaum Muslim; bukan setiap orang atau kelompok. Jika kepala negara sudah memaklumkan jihad maka seruan itu akan disambut oleh orang Mukmin dengan suka-cita. Sebab, dengan jihad itulah mereka akan mendapatkan dua kebaikan. Jika menang maka itu merupakan kebaikan. Jika kalah, mereka akan menjadi syuhada, dan itu pun merupakan kebaikan.
Simaklah ucapan Rabi’ bin ‘Amr kepada Rustum, ketika ditanya ihwal motivasi pasukannya, “…Allah mengirim kami dengan membawa agama-Nya untuk hamba-hamba-Nya, lalu kami akan menyeru mereka kepada-Nya. Siapa saja yang mau menerima seruan ini dari kami, maka kami pun akan menerimanya, kembali ke negeri kami, dan meninggalkan mereka dan negeri mereka. Namun, siapapun yang menolak seruan kami, maka kami akan memerangi mereka sampai kami mendapatkan janji Allah.”
Rustum bertanya, “Apa janji Allah yang kamu maksud?” Rabi’ menjawab, “Surga bagi yang mati dalam perang melawan orang-orang yang menentang, dan kemenangan bagi yang hidup.”
Itulah keagungan jihad, dan kemuliaan mujahid.
Kini, Allah Swt. memanggil kita untuk menjadi penjaga Islam yang amanah (hâris[an] âmin[an] li al-Islâm). Tugas kita adalah menjaga kemurnian dan kejernihan Islam, membersihkan berbagai atribut yang bisa mengotori dan merusak Islam, kemudian menyampaikannya kepada umat, agar mereka tidak menjadi korban. Inilah PR kita. Wallâhu al-Muwaffiq ilâ aqwam ath-tharîq. []