HTI

Afkar (Al Waie)

Teori Proyeksi Kebelakang: Ingkarus Sunnah Gaya Baru

Teori Proyeksi: Ingkarus Sunnah

Setelah sekian lama hilang, propaganda untuk meruntuhkan otoritas as-Sunnah mulai dicuatkan kembali oleh sarjana-sarjana Barat seperti Ignaz Goldziher, Snouck Hurgronje, dan sebagainya.  Goldziher, misalnya, meragukan otentitas hadis Nabi saw. sebagai sumber hukum Islam, dan menuduh Islam sebagai Mohammadenisme (ajaran Muhammad), bukan agama yang berasal dari Allah Swt.

Hanya saja, propaganda mereka belum dianggap mampu meruntuhkan otoritas sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran secara ilmiah.  Baru setelah terbit dua buah buku karya Prof Joseph Schacht, yakni The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pada tahun 1950, dan buku An Introduction to Islamic Law, pada tahun 1960, kaum orientalis mengklaim telah berhasil meruntuhkan otoritas sunnah Nabi saw. sebagai sumber hukum secara obyektif-ilmiah. Bahkan mereka menyakini telah berhasil menemukan sebuah teori yang bisa membuktikan bahwa hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar adalah buatan para ulama fikih Abad Kedua dan Ketiga Hijrah. Teori itu mereka sebut dengan projecting back theory (teori proyeksi ke belakang).

Teori ini dibangun di atas sebuah asumsi bahwa selama Abad Kedua dan Ketiga Hijrah, para ulama fikih terbiasa memproyeksikan pendapat-pendapat mereka sendiri pada ucapan Nabi saw. melalui sanad-sanad yang mereka buat sendiri. Berdasarkan asumsi ini, kaum orientalis berkesimpulan, hampir tidak ada hadis hukum dari Nabi saw. yang dianggap otentik.  Keseluruhannya adalah kreasi ulama-ulama fikih Abad Kedua dan Ketiga Hijrah, bukan benar-benar berasal dari Nabi saw.

Di dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Schacht menyatakan bahwa sistem isnâd (rantai periwayatan) yang digunakan untuk membuktikan keotentikan hadis sama sekali tidak didukung oleh sumber-sumber sejarah.  Masih menurut Schacht, sistem ini dibuat oleh para ulama fikih Abad Kedua dan Ketiga Hijrah secara bohong untuk menisbatkan pendapat-pendapat mereka sendiri ke belakang, ke sumber-sumber sebelumnya (perbuatan, ucapan dan persetujuan Nabi saw.). Ia menyatakan bahwa praktik hukum Abad Kedua dan Ketiga Hijrah ada terlebih dulu sebelum adanya hadis Nabi saw. dan isnâd (system periwayatan). Hadis Nabi beserta isnâd hanyalah alat yang sengaja dibuat ahli fikih Abad Kedua dan Ketiga Hijrah untuk mengesankan bahwa pendapat pribadi mereka berasal dan bersumber dari praktik Nabi saw. dan Sahabat.  

 

Kelemahan Projecting Back Theory

Kekeliruan dan kelemahan teori ini tampak pada hal-hal berikut ini:

 

1.    Meyakini teori proyeksi sama dengan meyakini adanya kekosongan hukum hampir 100 tahun lamanya. 

Seandainya kita menerima teori proyeksi, berarti kita harus meyakini pula bahwa praktik hukum Islam pada masa Nabi saw. dan para Sahabat belum ada atau belum berkembang. Artinya, selama hampir 100 tahun lamanya, kaum Muslim Abad Pertama Hijrah mengalami kekosongan hukum.  Lalu praktik hukum seperti apa yang terjadi pada Abad Pertama Hijrah?

Anggapan semacam itu tentu bertentangan dengan:

  1. Praktik hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. Pada dasarnya, al-Quran yang diturunkan kepada Nabi saw. memuat aturan-aturan baru yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia. Perintah-perintah al-Quran, semacam shalat, puasa, zakat, haji, jihad, pemerintahan, muamalah, hukum pidana, dan lain sebagainya membutuhkan penjelasan yang teliti, hati-hati, dan rinci dari Nabi saw. sebagai pemegang otoritas penjelas al-Quran. Penjelasan Nabi saw. atas al-Quran ini tentu memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan termasuk dalam Sunnah Nabi saw. Dengan demikian, Sunnah Nabi saw. sudah tumbuh dan berkembang sedemikian kompleks bersamaan dengan al-Quran, sekaligus sebagai bagian dari pembentuk yurisprudensi Islam pada awal Abad Pertama Hijrah.  Selanjutnya, praktik yudisial pada awal-awal Islam ini dilestarikan dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya melalui sistem transimisi (isnâd). Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa teori proyeksi telah gagal mengungkap asal usul praktik hukum yang dilakukan oleh kaum Muslim pada Abad Kedua dan Ketiga Hijrah. Tidak hanya itu, teori ini juga telah menuduh ahli fikih Abad Kedua dan Ketiga Hijrah melakukan persekongkolan jahat memalsukan hadis-hadis hukum.1 
  2. Catatan dan keputusan hukum yang didasarkan pada praktik dan contoh dari Nabi saw. Di dalam sumber-sumber terpecaya, disebutkan bahwa qâdhi maupun wali yang ditunjuk pada masa awal-awal Islam senantiasa mendasarkan keputusan mereka pada hukum Allah dan Rasul-Nya (Sunnah Nabi).  Contoh: dalam korespondensi yang dilakukan Umar ra. dengan Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah, Qadhi Syuraih di Kufah, para qâdhi dan wali-wali yang diangkatnya terungkap bahwa Umar ra. meminta mereka untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi saw.2 Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan kepada kita bahwa praktik hukum Islam yang sangat kompleks dan lengkap sudah berkembang dan menjadi ’urf  (praktik umum) pada Abad Pertama Hijrah.   Praktik inilah yang kemudian ditransfer ke generasi-generasi berikutnya melalui jalur transmisi yang bisa dipercaya.  Berdasarkan fakta ini, teori proyeksi telah terbukti kekeliruannya.
  3. Literatur Abad Pertama Hijrah. Dokumen hukum Abad Pertama Hijrah yang sampai kepada kita di antaranya adalah: Keputusan-keputusan Muadz bin Jabal (18 H) yang didokumentasikan dan diriwayatkan oleh Tha’us (23-101 H) di Yaman.  Beberapa keputusan hukum Muadz bin Jabal tertanggal hingga tahun Haji Wada’. Lalu surat-surat resmi Umar ra. mengenai masalah hukum yang dirujuk oleh Abu Musa al-Asy’ari. Kemudian karya-karya Ali bin Abi Thalib (w.40 H) dilaporkan menjadi milik beberapa ulama, seperti Ibnu ’Abbas, Hasan bin Ali, Hujr bin ’Adi dan Muhammad.  ’Abdillah bin ’Amr bin ’Ash ra (7-65 H) memiliki tulisan dari Nabi saw. yang terkumpul dalam Ash-Shâhifah ash-Shâdiqah. Buku ini berisi 1000 hadis, dihapal dan dipelihara oleh keluarganya.  Jabir bin ’Abdullah (16-17 H) juga memiliki kumpulan tulisan hadis Nabi saw. yang dinamai Shâhifah Jâbir. Selain itu, ditemukan pula karya ulama Abad Pertama yang dirujuk oleh ulama-ulama berikutnya. Di antaranya buku tentang hukum waris karya Ibn  Tsabit (w. 45 H); tulisan Sya’bi (w. 103 H) mengenai pernikahan, perceraian, warisan, mengenai luka-luka dan diyatnya; dan sebagainya.   Dokumen-dokumen ini tidak hanya membuktikan bahwa praktik hukum Abad Kedua dan Ketiga Hijrah jelas-jelas merujuk dan bersumber pada abad-abad sebelumnya, tetapi juga membuktikkan kesalahan fatal teori proyeksi.

 

2.    Adanya generalisasi yang berlebihan terhadap Sunnah Nabi saw. 

Memang benar, tidak semua hadis Nabi yang sampai di tangan kita adalah sahih. Ada hadis yang sengaja dibuat-buat (dipalsukan) untuk memperkuat posisi kelompok atau madzhab tertentu, atau untuk membela rejim tertentu; ada hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki reputasi ilmiah dan personalitas yang buruk, dan lain sebagainya.   Namun, kita juga tidak boleh menyatakan bahwa seluruh hadis Nabi saw. itu palsu dan dibuat-buat.  Pasalnya, ada hadis-hadis Nabi saw. yang sampai ke tangan kita melalui periwayatan yang akurat dan dituturkan oleh perawi-perawi yang memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Selain itu, gejala dan praktik pemalsuan hadis sudah disadari sepenuhnya oleh ulama-ulama kaum Muslim, terutama ulama hadis. Oleh karena itu, sejak dini mereka telah mencurahkan tenaga untuk meneliti dan mengklasifikasi hadis; mana yang sahih, mana yang dha’îf, mana yang dibuat-buat (palsu), dan sebagainya.  Mereka juga menggariskan metodologi penelitian hadis—baik sanad maupun matan—yang lebih kokoh dan komprehensif.  Upaya tersebut mereka lakukan demi menjaga Sunnah Nabi saw. dari pemalsuan sekaligus menjamin bahwa prinsip keyakinan dan praktik hukum yang mereka jalankan benar-benar bersumber dari Nabi saw.

Pada dasarnya, al-Quran sendiri telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar ilmu hadis.  Al-Quran menyatakan:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian (QS al-Hujurat [49]: 6).

Ayat ini berisi perintah agar kaum Muslim melakukan verifikasi (tabayyun) terhadap berita-berita yang disampaikan oleh orang fasik. Di kemudian hari, prinsip “tabayyun” inilah yang mendasari lahirnya metodologi penelitian terhadap hadis dan berbagai macam disiplin ilmu yang berhubungan dengan hadis. Karena itulah, kaidah umum ilmu hadis (semacam jarh wa ta’dîl) sudah dipraktikkan oleh generasi Islam Abad Pertama, walaupun dalam bentuk yang masih sederhana.

Pada masa berikutnya, di samping menggariskan metodologi penelitian terhadap hadis, para ulama juga menyusun berbagai macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi saw. seperti:

  1. Rijâl al-hadîts: ilmu yang mengkaji hal ihwal dan sejarah kehidupan para perawi hadis, baik Sahabat, tâbi’în, tâbi’ at-tâbi’în.  Kitab yang membahas masalah ini sangatlah banyak, di antaranya: Ma’rifah ar-Rijâl karya Yahya ibn Mu’in; Ad-Dhu’afâ’ karya Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari; Ats-Tsiqât karya Abu Hatim bin Hibban al-Busty; Al-Jarh wa al-Ta’dîl  karya Abd al-Rahman bin Abi Hatim ar-Razi (merupakan kitab terbesar yang sampai kepada kita dan sangat besar faedahnya; terdiri dari 4 jilid besar yang memuat 18050 perawi); Mîzân al-I’tidâl karya Imam Syamsuddin Mohammad al-Dzahabi (membahas 10.907 perawi hadis); Lisân al-Mîzân, karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani; dan lain-lain.
  2. Al-jarh wa at-ta’dîl: ilmu yang mengkaji personalitas perawi sehingga dapat diputuskan apakah seorang perawi itu bisa diterima beritanya atau tidak. 
  3. Tawârikh ar-ruwah: ilmu yang membahas kapan dan di mana seorang perawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang menerima hadis darinya, serta kapan dan di mana ia wafat.  Kitab yang mengkaji masalah ini misalnya, At-Târîkh al-Kabîir, karya Imam Bukhari (194-225 H); Târîkh Nisabur, karya Imam Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakim al-Nisaburiy (321-404 H); Târîkh Baghdâd, karya Imam al-Khatib al-Baghdadi (392-463); Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ ar-Rijâl, karya al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzay al-Dimasyqi (654 – 742 H), dan lain sebagainya.
  4. Thabaqât ar-ruwah; termasuk bagian dari ilmu rijâl al-hadîts.  Adapun yang dimaksud dengan ilmu thabaqat al-ruwah adalah ilmu yang mengkaji penggolongan para rawi dalam satu atau beberapa golongan (thabaqât) sesuai dengan alat pengikatnya.  Kitab yang membahas masalah ini di antaranya adalah; Ath-Thabaqât al-Kubra,karya Imam al-Hafidz Katib al-Waqidi (168-230 H); Thabaqât ar-Ruwah, karya al-Hafidz Abu ‘Amr Khalifah bin Khayyath al-Syaibani (240 H) [salah seorang guru Imam Bukhari]; Thabaqât at-Tâbi’în, karya Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyiri (204-261 H); Thabaqât al-Hufâzh, karya al-Hafidz Syamsuddin al-Dzahabiy (673-748 H), dan sebagainya.
  5. Para peneliti hadis juga menyusun ilmu-ilmu lain semacam ilmu gharîb al-hadîts, asbâb wurûd al-hadîts,  tawârih al-mutun, ilal al-hadîts, nâsikh mansûkh dan sebagainya.

Kesungguhan dan ketelitian para ulama hadis dalam meneliti dan mengklasifikasi hadis tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan penelitian Schacht yang rapuh secara metodologis, sembarangan, dan sarat dengan kepentingan. Jika kaum Muslim sekarang lebih mempercayai hasil penelitian para ulama hadis, sesungguhnya itu adalah perkara yang wajar dan bisa diterima secara ilmiah.

 

3.    Tuduhan Schacht adalah tuduhan yang tidak masuk akal.  

Sejak semula kaum Muslim sudah mengetahui bahwa banyak hadis yang diriwayatkan oleh puluhan perawi dalam setiap tingkatan periwayatan; perawi tersebut tersebar dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan.  Keadaan semacam ini tentu memustahilkan mereka bersepakat untuk memalsu hadis Nabi saw.  Oleh karena itu, kenyataan ini tidak hanya mengungkap bagaimana proses transmisi hadis Nabi saw. pada Abad Pertama Hijrah, namun juga telah menggugurkan teori “projecting back”  secara meyakinkan.

 

4.   Teori proyeksi juga bertentangan dengan fakta.

Banyak materi hadis hukum (matn al-hadîts) yang mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Khawarij, Muktazilah, Zaidiyah, dan Imamiyah. Padahal kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus Sunnah kurang lebih 25 tahun sejak wafatnya Nabi saw.  Tidak hanya itu, kelompok-kelompok tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam. Seandainya pemalsuan hadis hukum terjadi pada Abad Kedua dan Ketiga Hijrah, tentu tidak ada satu pun hadis hukum yang secara bersamaan terdapat dalam kitab kelompok-kelompok Islam tersebut.  Wallâhu al-Hâdi al-Muwaffiq ilâ Aqwaam ath-Tharîq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

 

Catatan kaki:

  1. Dokumen-dokumen penting yang menunjukkan adanya keputusan-keputusan Nabi bisa ditelusur dalam Kitab Aqdhiyât Rasûl Allâh (Keputusan-keputusan Nabi saw. karya Ibn Thalla’ (404-497 H).   Prof. Hamidullah, di dalam Kitab Majmû’ al-Watsâ’iq as-Siyâsah li ‘Ahd al-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Râsyidah (Kumpulan Dokumen-dokumen Politik di Masa Kenabian dan Khilafah Rasyidah), juga mendokumentasikan aktivitas yudisial dan politik yang dilakukan oleh Nabi saw dan para khulafaur Rasyidin. Praktik hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat pada masa-masa awal Islam inilah yang di kemudian hari diteruskan oleh generasi berikutnya.  
  2. Abd ar-Razzaq al-Shan’ani, Al-Mushannaf,  XI/324-325.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*