HTI

Iqtishadiyah

Tun Kelana Jaya: Bursa Saham: Pangkal Krisis

Sungguh aneh memang. Krisis terjadi di AS, namun bukan hanya AS yang ‘terguncang’, seluruh dunia pun mengalami krisis finansial. Akibatnya sungguh mengerikan. Bukan hanya perusahaan-perusahaan besar yang tumbang, namun juga mengakibatkan sebuah negara ‘bangkrut’.

Apa yang menyebabkan krisis finansial global? Bagaimana saham dan bursa saham bisa menjadi ‘biang keladi’ krisis? Bagaimana sejarah munculnya? Benarkah krisis yang ada hanya ‘kesalahan subsistem’ Kapitalisme? Ataukah justru karena Kapitalisme sudah ‘cacat sejak lahir’nya? Apakah ini pertanda akhir dari Kapitalisme?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, redaksi al-waie (gus uwik) mewawancarai ust Tun Kelana (Lajnah Siyasiyah DPP HTI yang sekaligus juga praktisi ekonomi). Berikut petikannya.

 

Bisa dijelaskan bagaimana bisa terjadi krisis global seperti saat ini?

Begini ceritanya: krisis global kali ini diawali dari sejak 1995. Saat itu industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS booming, kemudian tiba-tiba terjungkal (kolaps) dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank. Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga sehingga suku bunga menjadi rendah.

Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Bahkan mereka yang semestinya tidak layak mendapatkan pinjaman rumah seperti pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor jadi bisa memiliki rumah melalui subprime mortgage. Nilai kredit rumah yang biasanya hanya mencapai USD 150 miliar setahun langsung meningkat menjadi dua kali lipatnya pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai USD 700 miliar pertahunnya.

Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, banyak perusahaan kredit perumahan ini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turut terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor. Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam surat hutang dengan jaminan aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan ke investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko disebut lindung nilai (hedge).

Namun, yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut berdampak pada investor secara global, baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif. Orang tetap membeli karena perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s memberi peringkat baik walaupun sudah jelas terjadi gagal bayar dari pemilik rumah. Perusahaan Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terkena dampaknya karena memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA berisiko tinggi yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan.

Bank sentral dan private equity fund yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa dijual setelah harganya tinggi.

Subprime Lenders (pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.

Kumpulan utang tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Ini menjadi beban seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.

Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s (S&P).

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itu pun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Pada saat yang sama, bank investasi dan Hedge Fund harus tetap memberikan pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.

 

Ada argumentasi yang mengatakan bahwa terjadinya krisis global ini akibat kesalahan salah satu subsistem dari kapitalis sehingga solusinya memperbaiki subsistem yang rusak tersebut. Benarkah demikian?

Menurut saya, itu tidak benar. Argumentasi tersebut semata-mata hanya untuk menjawab persoalan jangka pendek, seperti yang dilakukan oleh para pemimpin dunia, yaitu dengan menyuntikkan dana ke pasar modal dan perbankan. Dikatakan sebagai solusi jangka pendek karena hanya untuk tujuan memulihkan kembali kondisi pasar non-riil agar tidak semakin terpuruk.

Faktanya, dampak krisis tersebut tidak hanya merontokkan pasar non-riil, tetapi sudah sampai kemana-mana bahkan memasuki wilayah yang paling sensitif, yaitu pasar riil yang melibatkan begitu banyak manusia di seluruh penjuru dunia yang menggantungkan nasibnya pada sektor ini. Betapa tidak? Kredit perbankan yang mestinya disalurkan untuk membiayai ekspor, produksi dan distribusi terhenti karena uang kas semakin langka. Akibatnya, industri berjalan under capacity bahkan mandek. Kita sudah bisa menyimpulkan siapa sebenarnya yang paling menderita, yaitu ratusan ribu karyawan terancam PHK. Jadi, kita bisa lihat bagaimana keterkaitan antar subsistem kapitalis yang saling mempengaruhi.

 

Tegasnya krisis global ini akibat kebobrokan sistem dari kapitalis?

Betul, karena sumber krisis datangnya dari pilar-pilar yang menjadi penopang sistem ekonomi Kapitalisme, di antaranya adalah pasar non-riil (virtual market) tempat diperdagangkan-nya surat-surat berharga dan surat kontrak di pasar berjangka. Uang dijadikan sebagai komoditi yang diperjualbelikan di pasar uang. Begitu besarnya uang berputar di pasar uang hingga mencapai triliunan dolar dalam satu hari, tetapi inflasi tinggi dan uang kas langka sampai bank tidak bisa memberikan kredit ke sektor riil. Ironis sekali bukan?!

Pilar lainnya yang juga tak kalah berbahayanya adalah diterapkannya sistem perbankan ribawi yang nyata-nyata membebani bahkan mencekik para debitor dengan bunga kredit di sektor riil. Di situlah letak kebobrokannya.

 

Lalu bagaimana dengan kerusakan bursa saham dan komiditi?

Kerusakannya terletak pada sistem perdagangan yang diberlakukan di bursa. Transaksi-transaksi yang terjadi di sana tidak memenuhi syarat akad yang sah menurut syariah Islam. Jadi transaksi tersebut batil! Ditambah lagi bahwa transaksi di lantai bursa sangat sarat dengan spekulasi para pialang.

Jual-beli dalam pasar saham ini bukanlah jual-beli sesungguhnya. Sebab, tidak ada unsur serah-terima diantara kedua pihak yang bertransaksi. Padahal syarat jual-beli adalah adanya serah terima dalam barang yang disyaratkan ada serah-terima barang dagangan dan pembayarannya atau salah satu dari keduanya. Penjualan dalam pasar ini adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik itu berupa mata uang atau barang komoditi komersial, dengan harapan akan dibeli di pasar sesunguhnya dan diserahterimakan pada saatnya nanti.

Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli dan menjual kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima. Orang kedua itu juga menjualnya kembali sebelum dia terima. Demikianlah, jual-beli ini terjadi secara berulang-ulang terhadap satu obyek jualan sebelum diterima, hingga transaksi itu berakhir pada pembeli terakhir yang bisa jadi sebenarnya ingin membeli barang itu langsung dari penjual pertama yang menjual barang yang belum dia miliki, atau paling tidak menetapkan harga sesuai pada hari pelaksanaan transaksi, yakni hari penutupan harga. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir hanya mencari keuntungan lebih jika mendapatkan keuntungan saja, dan melepasnya jika sudah tidak menguntungkan pada waktu tersebut, persis seperti yang dilakukan para pejudi.

Yang dilakukan oleh para pemodal besar adalah memonopoli saham dan sejenisnya serta barang-barang komoditi komersial lain di pasaran agar bisa menekan pihak penjual yang menjual barang-barang, yang tidak mereka miliki, dengan harapan akan membelinya pada saat transaksi dengan harga lebih murah, atau langsung melakukan serah-terima sehingga menyebabkan para penjual lain merasa kesulitan.

Sesungguhnya bahaya pasar modal semacam ini berpangkal pada dijadikannya pasar ini sebagai pemberi pengaruh pasar dalam skala besar. Sebab, harga-harga dalam pasar ini tidak sepenuhnya bersandar pada mekanisme pasar semata secara praktis dari pihak orang-orang yang butuh jual-beli, namun justru terpengaruh oleh banyak hal; sebagian di antaranya dilakukan oleh para pemerhati pasar, sebagian lagi berasal dari adanya monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya. Di sinilah tersembunyi bahaya besar menurut tinjauan syariah. Sebab, cara demikian menyebabkan ketidakstabilan harga secara tidak alami sehingga berpengaruh buruk sekali pada perekonomian yang ada.

Sekadar contoh: sebagian besar investor sengaja melempar sejumlah kertas saham sehingga harganya menjadi jatuh karena terlalu banyak penawaran. Pada akhirnya para pemilik saham kecil-kecilan bergegas menjualnya kembali dengan harga murah sekali, karena khawatir harga saham-saham itu semakin jatuh sehingga mereka semakin rugi. Dengan adanya penawaran mereka itu, mulailah harga saham itu terus menurun sehingga para investor besar itu berkesempatan membelinya kembali dengan harga lebih murah dengan harapan akan bisa meninggikan harganya dengan banyaknya permintaan. Pada akhirnya para investor besarlah yang beruntung, sementara kerugian besar-besaran harus ditanggung investor kecil-kecilan, sebagai akibat dari perbuatan investor besar yang berpura-pura melempar kertas-kertas saham itu sebagai ikutan. Hal itu pun terjadi di pasar komoditi.

 

Sejauh mana pengaruh krisis ini terhadap perekonomian AS? Apakah bisa ’menjungkalkan’ ekonomi AS?

Sebenarnya krisis keuangan yang menimpa AS merupakan akumulasi krisis-krisis sebelumnya. Satu hal yang bisa kita lihat, dampak dari krisis ini adalah dari besarnya hutang AS yang mencapai 8.9 triliun dolar (akhir tahun 2009 diperkirakan mencapai 10 triliun dolar), sementara Produk Domestik Bruto (PDB) tahunannya hanya mencapai 13 triliun dolar. Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto, berarti hutangnya mencapai 68%. Padahal menurut teorinya persentase maksimal total hutang terhadap PDB harusnya hanya 40%. Dengan demikian, AS banyak membiayai pembangunannya dari hutang dan APBN-nya pun digunakan untuk membayar hutang pokok plus bunganya. Senator George Voinovich dari Ohio mengatakan, “Meminjam ratusan miliar dolar dari negara lain tidak hanya membahayakan ekonomi AS, tapi juga keamanan nasional. Seharusnya pemerintah AS meyakinkan kami bahwa negara pemberi hutang tidak akan mengintervensi pemerintah pada masa depan.”

 

Apakah ini tanda-tanda berakhirnya ’hegemoni’ diktator AS di kancah dunia?

Bisa saja dikatakan demikian. Kita lihat saja dari salah satu pilarnya sistem ekonomi AS (Kapitalisme), misalnya mata uang dolar. Jika krisis ini meningkat menjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia, karena terlalu berisiko jika mereka memegang dolar AS. Kemudian, misalnya, negara-negara pengekspor minyak mengalihkan dolar ke mata uang lain sebagai alat pembayaran transaksi internasional mereka. Fakta lain bahwa 80% uang dolar AS berada luar Amerika. Kalau semua negara pengekspor minyak menghendaki pembayaran hasil ekpornya diganti ke mata uang lain selain dolar (dan ini mungkin sekali terjadi karena semua negara perlu beli minyak), sehingga tekanan dari negara penghasil minyak itu bakal membuat negara-negara seperti Cina atau Jepang menjual dolarnya dan beli mata uang lain. Pada kondisi seperti ini. dalam sekejap di Amerika akan terjadi inflasi ribuan persen karena semua orang akan menjual dolar dan membeli mata uang lain, Amerika akan kebanjiran dolarnya dan pemerintah AS harus menebus semua dolar yang masuk ke AS. Perusahaan-perusahaan di AS menjadi tidak ada harganya lagi (persis seperti krismon di Indonesia tahun 1998 dulu), ekonomi Amerika bangkrut, semua hegemoni Amerika akan lenyap dengan sendirinya dan rakyat AS akan berbodong-bondong meninggalkan ideologi Kapitalisme yang berbahaya itu, seperti Rusia yang terpecah akibat ditinggalkannya ideologi Komunisme.

Dalam konteks ini, hegemoni AS akan masih tetap eksis sepanjang orang masih “percaya” dengan dolar dan menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk dolar! Namun, dengan kekuatan pengaruhnya di dunia, AS mampu memaksa negara-negara lain untuk membantu AS menutupi biaya kekurangannya.

 

Bagaimana solusi Islam dalam menyelesaikan krisis global ini?

Karena akar krisis ekonomi saat ini terletak pada penerapan sistem ekonomi Kapitalisme, maka satu-satunya cara yang paling mendasar untuk memperbaikinya adalah dengan mencabut sistem ekonomi Kapitalisme dan menggantinya dengan sistem lain, yaitu sistem ekonomi Islam yang datang dari Allah Yang Maha Pencipta.

Sebagaimana sistem ekonomi Kapitalisme yang tegak di atas fondasi sistem pemerintahannya, maka sistem ekonomi Islam pun hanya bisa tegak di atas fondasi yang sangat kuat, yaitu sistem pemerintahan Khilafah. []

 

Tun Kelana Jaya, pernah mengikuti pendidikan lanjutan kader perbankan, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dengan karya tulisnya, “Loanable Fund“. Ia memulai karirnya di salah satu bank pemerintah dengan terlibat dalam proyek-proyek pengembangan human resources selama lima tahun. Selanjutnya ia pindah ke salah satu bank asing bidang perdagangan saham selama 12 tahun. Saat ini, ia fokus pada pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam, dan akhir-akhir ini banyak diminta untuk berbicara di berbagai forum, seminar dan diskusi tentang krisis keuangan global sekaligus tentang pandangan dan solusinya menurut Islam.

2 comments

  1. sip, khilafah selangkah lagi

  2. Yap, janji Allah itu benar!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*