إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah [2]: 218).
Sabab Nuzul
Dikeluarkan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, ath-Thabarani, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya dengan sanad yang sahih dari Jundub bin Abdullah, bahwa Nabi saw. pernah mengutus sekelompok orang, dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah atau Ubaidah bin al-Harits sebagai pemimpin mereka. Ketika berangkat, dia menangis karena besarnya rasa rindu dan cintanya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. mengutus Abdullah bin Jahsy untuk menggantikan kedudukannya. Beliau menulis surat untuknya dan memerintahkan agar tidak dibaca hingga tiba di suatu tempat. Beliau bersabda, “Janganlah kamu memaksa seorang pun dari temanmu untuk berjalan bersamamu.”
Ketika surat itu dibaca, Abdullah bin Jahsy mempersilakan mereka pulang dan berkata, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya.”
Lalu Ibn Jahsy menyampaikan informasi dan membacakan surat itu kepada mereka. Ada dua orang yang pulang, sementara yang lain tetap bersamanya. Setelah itu mereka bertemu dengan Ibnu al-Hadhrami dan berhasil membunuhnya. Mereka tidak mengetahui apakah itu bulan Rajab atau Jumadil akhir. Terhadap kejadian itu, kaum musyrik berkata kepada kaum Muslim, “Kalian telah membunuh di bulan haram.”
Lalu Allah Swt. menurunkan QS al-Baqarah [2]: 217. Sebagian mereka berkata, “Apabila mereka tidak mendapatkan dosa, berarti mereka tidak mendapatkan pahala.”
Lalu turunlah ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 218).1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna âmanû (Sesungguhnya orang-orang yang beriman). Ayat ini diawali dengan penyebutan orang-orang yang beriman. Secara bahasa, kata al-îmân berarti at-tashdîq (membenarkan).2 Secara syar’i, al-îmân adalah at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ ‘an dalîl (pembenaran yang pasti, sesuai dengan kenyataan, bersumber dari dalil).3 Karena itu, frasa al-ladzîna âmanû menunjuk kepada orang-orang yang memiliki sifat iman itu.
Sebenarnya, kata âmanû tergolong sebagai al-fi’l al-muta’addî (kata kerja yang membutuhkan mafûl bih atau obyek). Ketika obyeknya tidak disebutkan, maka dapat dipahami bahwa keimanan mereka bersifat mutlak. Perkara yang mereka imani meliputi semua perkara akidah yang wajib diimani. Jika ada sebagian perkara akidah yang diingkari, mereka tidak lagi disebut sebagai al-ladzîna âmanû (orang-orang yang beriman). Sebab, dalam QS an-Nisa’ [4]: 150-151 ditegaskan, orang-orang yang menyatakan beriman terhadap sebagian dan ingkar terhadap sebagian lainnya adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya (al-kâfirûna haqq[an]).
Di samping beriman, mereka juga berhijrah. Allah Swt. berfirman: wa al-ladzîna hâjarû (orang-orang yang berhijrah). Dijelaskan al-Baidhawi, pengulangan ism al-mawshûl di sini menunjukkan keagungan hijrah dan jihad sehingga seolah secara mandiri dapat merealisasikan ar-rajâ’ (harapan).4
Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, al-hijrah bermakna al-intiqâl min mawdhû’[in] ilâ mawdhû’[in], wa taraka al-awwal li îtsâr ats-tsânî (berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain dan meninggalkan yang pertama karena mengutamakan yang kedua).5 Ibnu Manzhur juga menyatakan bahwa hijrah berarti al-khurûj min ardh ilâ ardh (keluar dari suatu negeri ke negeri lainnya).6
Adapun secara syar’i, hijrah berarti al-khurûj min dâr al-kufr ilâ dâr al-Islâm (keluar dari negara kufur ke Negara Islam).7 Di antara dalil yang melandasinya adalah Hadis Nabi saw.:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ
Tidak ada hijrah setelah Penaklukan Makkah (HR al-Bukhari dari Mujalid bin Mas’ud).
Sebelum ditaklukkan, Makkah merupakan dâr al-kufr. Saat itu, perpindahan dari Makkah ke Madinah disebut sebagai hijrah. Namun ketika sudah ditaklukkan, Makkah berubah statusnya menjadi bagian dari dâr al-Islâm. Hadis ini menjelaskan, sesudah penaklukan, perpindahan dari Makkah ke Madinah tidak lagi dianggap sebagai hijrah. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Makkah, namun juga bagi semua negeri yang telah ditaklukkan oleh Daulah Islam. Dalam hadis al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar digunakan ungkapan yang bersifat umum: Lâ hijrah ba’da al-fath (tidak ada hijrah sesudah Penaklukan).
Bertolak dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa istilah hijrah menunjuk pada perpindahan dari dâr al-kufr ke dâr al-Islâm.
Selain itu, mereka juga berjihad di jalan Allah. Allah Swt. berfirman: wa jâhadû fî sabîlil-Lâh (dan berjihad di jalan Allah). Secara bahasa, kata al-jihâd berarti mengerahkan segala kemampuan. Dalam pengertian syar’i, al-jihâd menunjuk secara khusus pada makna perang. Dengan demikian, jihad fi sabilillah adalah mengerahkan segala kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung maupun memberikan bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak logistik, atau lainnya.8
Ibnu Jarir ath-Thabari pun memaknai kata jâhadû dalam ayat ini dengan qâtalû wa hârabû (mereka berperang). 9 Dipaparkan ath-Thabari, kata sabîlil-Lâh berarti tharîqatihi wa dînihi.10
Al-Khazin dan as-Samarqandi memaknai fî sabîlil-Lâh dengan fî thâ’atil-Lâh (dalam ketaatan kepada Allah).11
Siapa saja yang mengamalkan tiga perkara itu bisa mengharapkan rahmat-Nya. Allah Swt. berfirman: ulâika yarjûna rahmatal-Lâh (mereka itu mengharapkan rahmat Allah). Menurut az-Zuhaili, yang dimaksud dengan rahmatal-Lâh adalah tsawâbahu (pahala-Nya).12 Adapun kata yarjûna mengandung pujian terhadap mereka. Sebab, tidak seorang pun di dunia yang mengetahui bahwa dia akan kembali ke surga meskipun sudah melakukan ketaatan paling puncak.13 Menurut al-Qurthubi dan az-Zuhaili, hal itu disebabkan karena dua alasan. Pertama: dia tidak mengetahui bagaimana akhir kehidupannya. Kedua: agar dia tidak bersandar pada amalnya semata.14
Penjelasan senada juga disampaikan Abdurahman as-Sa’di. Menurutnya, frasa ini mengisyaratkan bahwa seorang hamba—sekalipun sudah melakukan berbagai amal—tidak seyogyanya bergantung dan percaya pada amalnya. Akan tetapi, dia harus berharap akan rahmat-Nya, diterima semua amalnya, diampuni semua dosanya, dan ditutup semua aibnya.15
Masih menurut as-Sa’di, ayat ini menjadi dalil bahwa ar-rajâ’ atau harapan itu tidak terjadi kecuali sesudah mengerjakan sebab-sebab kebahagiaan. Adapun harapan yang disertai dengan kemalasan dan tidak melakukan sebab-sebab kebahagiaan, maka itu adalah kelemahan, angan-angan, dan fatamorgana. Itu juga menunjukan lemahnya tekad dan kurangnya akal pelakunya, seperti halnya seseorang yang mengharapkan anak tanpa menikah atau mendapatkan panen tanpa menabur benih.16
Dijelaskan oleh al-Qurthubi, ar-rajâ’ (harapan) harus senantiasa diiringi dengan al-khawf (takut), sebagaimana al-khawf juga harus disertai dengan ar-rajâ’.17
Lebih dari itu, sebagaimana dinyatakan asy-Syaukani, kadangkala kata ar-rajâ’ juga bermakna al-khawf, seperti dalam QS Nuh [71]: 13. Kata lâ tarjûna dalam ayat tersebut bermakna lâ takhâfûna (mereka tidak takut) akan kebesaran Allah.18
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Wal-Lâh Ghafûr[un] Rahîm[un] (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Allah Ghafûr, mengampuni dosa-dosa dan kesalahan hamba-Nya apabila mereka mati dalam keadaan iman. Allah Rahîm, memberikan rahmat-Nya yang tak terbatas kepada hamba-Nya.
Ayat ini juga menjadi dalil, siapa pun yang melakukan ketiga amal tersebut akan mendapatkan ampunan dari-Nya, selain mendapatkan rahmat-Nya. Ketika mendapatkan maghfirah berarti dia tidak akan ditimpa hukuman di dunia maupun di akhirat. Tatkala mendapatkan rahmat, maka dia memperoleh segala kebaikan di dunia dan akhirat.19
Iman, Hijrah dan Jihad
Ayat ini menjelaskan tiga perkara penting yang dapat memberikan harapan kepada pelakunya untuk memperoleh rahmat-Nya. Jika kita telusur, ketiga perkara itu memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Pertama: iman (akidah). Iman/akidah merupakan perkara mendasar yang menjadi penentu status seseorang, apakah Mukmin atau kafir. Status tersebut akan menentukan nasibnya di dunia dan akhirat. Orang kafir disebut sebagai seburuk-buruknya makhluk (lihat QS al-Bayyinah [98]: 6), bahkan seburuk-buruknya binatang. Seluruh amalnya terhapus dan sia-sia (lihat QS al-Anfal [8]: 55). Neraka ditetapkan sebagai tempat kembalinya (lihat QS al-Bayyinah [98]: 6). Sebaliknya, orang yang beriman—disertai dengan beramal shalih—dinyatakan sebagai sebaik-baiknya makhluk (lihat QS al-Bayyinah [98]: 7). Mereka diberi balasan surga yang penuh dengan aneka kenikmatan (lihat QS al-Bayyinah [98]: 8).
Patut dicamkan, iman/akidah menuntut pembuktian dari pelakunya. Bukti itu adalah keterikatan pelakunya dengan syariah-Nya. Syahadat sebagai pintu masuk Islam amat jelas menunjukkan pengertian demikian. Kandungan syahadat pertama meniscayakan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilâh, yakni Zat Yang berhak ditaati segala perintah dan larangan-Nya. Dialah Pemilik otoritas yang berhak membuat hukum, menetapkan yang halal dan yang haram atas segala sesuatu. Konsekuensinya, satu-satunya hukum yang wajib ditaati dan diterapkan hanyalah syariah-Nya. Syahadat kedua membatasi, bahwa syariah yang wajib kita taati adalah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, setiap orang yang mengaku beriman wajib menerapkan syariah Islam itu secara total, baik dalam ruang privat maupun publik; baik dalam kehidupan invidu maupun bernegara.
Kedua: hijrah. Hijrah termasuk dalam amal yang disyariahkan. Namun, patut dicatat, amal hijrah ini sesungguhnya terkait erat dengan pelaksanaan syariah. Ini bisa disimpulkan dari fakta hukum hijrah. Hijrah wajib bagi orang yang mampu berhijrah, tidak bisa menampakkan agamanya, dan tidak bisa menjalankan hukum syariah yang dituntut untuk dilaksanakan. Apabila mereka masih bisa menampakkan agamanya dan menjalankan hukum syariah yang dituntut kepadanya, hijrah tidak lagi wajib bagi mereka, namun sunnah. Lebih dari itu, jika kaum Muslim memiliki kemampuan mengubah negerinya menjadi Dâr al-Islâm, justru diharamkan bagi mereka berhijrah. Mereka justru dituntut mengubah negaranya menjadi daulah Islam.20 Fakta hukum ini menunjukkan secara jelas bahwa kewajiban hijrah terkait erat dengan pelaksanaan syariah.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah saw. dan para Sahabatnya juga menunjukkan kesimpulan tersebut. Sebelum hijrah, Beliau telah mengajak berbagai kabilah di Makkah dan sekitarnya untuk masuk Islam, termasuk memita nushrah (pertolongan) kepada mereka agar menyerahkan kekuasaan mereka kepada Beliau. Namun, berbagai kabilah itu menolaknya, bahkan ada yang menolaknya dengan kasar. Pada akhirnya, Beliau bertemu dengan kabilah ‘Aus dan Khazraj dari Madinah yang mau menerima Islam. Setelah Baiat ‘Aqabah II, yang berisi penyerahan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw., Beliau dan para Sahabatnya berhijrah ke Madinah. Di kota itulah Rasulullah saw. membangun negara yang menerapkan syariah Islam secara total.
Hijrah bermakna keluar dari dâr al-kufr ke dâr al-Islâm. Ini berarti, kewajiban berhijrah meniscayakan tegaknya Daulah Islam terlebih dulu. Sebab, bagaimana mungkin bisa berhijrah, sementara Dâr al-Islâm yang menjadi tujuan hijrahnya belum ada? Karena itu, ketika Dâr al-Islâm belum ada, umat Islam harus berkonsentrasi untuk mewujudkannya. Jelaslah, akidah menuntut pelakunya untuk berjuang menegakkan Daulah Islam dalam kehidupan.
Ketiga: jihad. Kaum Mukmin tidak boleh puas dan berhenti ketika syariah telah diterapkan dalam negara yang mereka tinggali. Mereka diwajibkan untuk mengemban dakwah dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Inilah yang harus dijadikan sebagai landasan politik luar negeri bagi daulah Islam. Untuk menjalankannya, jihad ditetapkan sebagai tharîqah atau metodenya.
Patut dicatat, kewajiban jihad baru boleh dilancarkan manakala penduduk suatu negeri menolak salah satu dari dua tawaran: masuk Islam atau menjadi kafir dzimmi yang tunduk pada pemeritahan Islam. Ketika menolak salah satunya, berarti mereka telah menjadi rintangan fisik yang menghalangi dakwah Islam. Untuk menghilangkan rintangan fisik itu, harus dengan aktivitas fisik pula, yakni dengan jihad fi sabilillah. Apabila negeri itu berhasil ditaklukkan dengan jihad, maka statusnya berubah menjadi bagian dari Dar al-Islam. Syariah pun diterapkan secara total di negeri itu.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
- As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 448; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274.
- Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 50.
- Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar a;-Ummah, 2003), 29.
- Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 118. Penjelasan senada juga disampaikan al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 506.
- Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 34; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 273; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 438.
- Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 250.
- Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 266. Pandangan senada juga disampaikan as-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 273; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1, 438; Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufrdât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 534.
- Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2, 147.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 368.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 368.
- Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 147; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 202
- Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 258.
- Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 34; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274; Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
- Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 34; az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
- As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 195.
- As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 195.
- Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274.
- As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 195.
- Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2, 269.