Tahun 1429 H ini diperkirakan jumlah jamaah haji dari seluruh dunia sebanyak tiga juta. Sejak tanggal 8 Dzulhijjah, mereka sudah mulai berdatangan ke Mina untuk melakukan persiapan haji (tarwiyah). Di situlah, 14 abad yang lalu, Nabi saw. bersama 100 ribu Sahabat bermalam (mabit) dengan mengenakan pakaian ihram. Tepat di tengah masjid Khaif itu terdapat kubah putih. Di situlah Nabi saw. melakukan shalat zuhur, ashar, maghrib, isya hingga subuh ketika singgah di Mina.
Dari tempat itulah, Nabi saw. bersama para Sahabat ketika itu bertolak ke Arafah, tepat pada tanggal 9 pagi, setelah terbitnya matahari. Sesampainya di Namirah, Beliau singgah, tidur siang sejenak, mandi sebelum wukuf, lalu shalat zuhur dan ashar berjamaah dengan jamak qashar. Di tempat itulah, Nabi saw. menyampaikan Khutbah Wada’ yang sangat populer. Dalam khutbahnya, Baginda menitahkan, bahwa darah, harta dan kehormatan umat Islam itu haram dinodai; laksana haramnya menodai hari, bulan dan Tanah Haram. Baginda juga menitahkan dihapuskannya tradisi Jahiliah dan riba serta kewajiban kaum Muslim untuk memuliakan wanita, kembali pada al-Quran dan as-Sunnah. Itulah pesan penting Baginda saw.
Setelah itu, Baginda saw. wukuf di Arafah bersama para Sahabat, tepat di lereng Jabal Rahmah, di tengah padang, tanpa tenda. Itulah al-mashad al-a’zham, pemandangan agung yang luar biasa. Manusia dari berbagai penjuru dunia, dari berbagai suku, bangsa dan warna kulit, semuanya berkumpul di tengah padang, di tengah terik matahari, berpakaian ihram, putih-putih. Semuanya menyatu dalam satu tujuan, pikiran, perasaan dan terikat dengan satu aturan; hukum Allah SWT. Inilah pemandangan yang dibanggakan oleh Allah kepada para malaikat-Nya, seraya berfirman dalam hadis qudsi:
“Hamba-hamba-Ku telah datang kepada-Ku dalam keadaan kusut dan berdebu dari berbagai penjuru untuk mengharap rahmat dan ampunan-Ku. Kalaupun dosa-dosa mereka sebanyak bilangan pasir, atau sebanyak tetesan hujan, atau sebanyak buih di lautan, pasti akan Aku ampuni.” Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku itu, “Kalian telah diampuni, juga orang-orang yang kalian syafaati.”
Setelah matahari tenggelam, Nabi saw. meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Di tempat ini, Baginda bermalam (mabit); melakukan shalat maghrib dan isya dengan jamak qashar. Setelah itu, Baginda mencari batu-batu kecil untuk melakukan jumrah di Mina. Setelah matahari terbit dan memasuki waktu dhuha, Baginda berangkat ke Mina untuk melakukan jumrah ‘aqabah, dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut (tahallul) di Mina. Kemudian Baginda berangkat ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah dan sai di Baitullah. Begitu usai, Baginda kembali lagi ke Mina. Di Mina, Baginda bermalam mulai tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijjah. Baginda meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah, setelah melakukan jumrah di hari ketiga tasyrik. Itulah penggalan riwayat tentang prosesi haji Rasulullah saw.
Gambaran seperti itu serta hukum dan tempat-tempat bersejarah yang pernah digunakan oleh Nabi saw. selama prosesi ibadah ini begitu melekat dalam benak kaum Muslim. Mina, Arafah, Muzdalifah dan Makkah, termasuk di dalamnya Masjidil Haram, Masjid Khaif, Masjid Namirah dan Jamarat begitu melekat dalam ingatan mereka. Namun, ironisnya, saat mereka melakukan jumrah ‘aqabah di Mina, di tempat yang sama, yaitu ‘Aqabah, kira-kira ½ km dari situ, ada sebuah masjid kecil bernama Masjid Bai’ah—di situlah Nabi saw. dulu dibaiat oleh orang-orang Anshar—yang justru banyak dilupakan oleh kaum Muslim. Padahal di ‘Aqabah itulah, Nabi saw. dibaiat, baik dalam Baiat ‘Aqabah I maupun II. Dari situlah, Islam berkembang menjadi mercusuar dunia, dan sampai kepada mereka. Dengan Baiat ‘Aqabah itu pula, Nabi saw. menjadi kepala negara mereka yang pertama. Dari situ pulalah, wilayah Negara Islam terus berkembang hingga mencapai 2/3 dunia.
Anehnya, justru ‘Aqabah tempat Nabi saw. dibaiat itu nyaris dilupakan. Padahal setiap hari sejak tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah mereka berada di ‘Aqabah untuk melakukan jumrah.
Terus terang, ketika kita menyaksikan iring-iringan jutaan manusia dengan pakaian ihram dari Arafah ke Muzdalifah, dan dari Muzdalifah ke Mina, kita membayangkan andai saja mereka mempunyai pikiran dan perasaan yang sama, sebagaimana ketika kaum Anshar datang ke Mina, tepatnya di lembah ‘Aqabah itu, yang dulu mereka gunakan untuk membaiat Nabi agar menjadi kepala negara mereka, kemudian hal yang sama juga mereka lakukan pada saat itu di tempat yang sama kepada seorang Khalifah, tak jauh dari tempat mereka bermalam (mabit) dan melakukan jumrah. Sungguh, ini luar biasa. Namun, justru di situlah ironisnya, jangankan untuk membaiat khalifah di sana, tempat kepala negara mereka yang pertama dibaiat saja tidak pernah mereka tahu.
Ironi kedua juga kita temukan, ketika mereka tahu bahwa mereka dibanggakan oleh Allah, karena mereka melebur bersama seluruh hamba-Nya yang datang dari berbagai penjuru dunia dalam satu tujuan; tunduk dan taat kepada-Nya. Ketika seluruh darah, harta dan kehormatan mereka dinyatakan haram, sebagaimana haramnya hari, bulan dan tanah Haram; ketika seluruh tradisi Jahiliyah dan riba dihapus untuk selama-lamanya; ketika wanita harus dimuliakan; dan ketika al-Quran dan as-Sunnah harus dipegang teguh. Semuanya itu dengan nyata bisa diwujudkan ketika mereka hidup di bawah naungan Khilafah, yang melaksanakan syariah-Nya. Ironisnya, kesadaran seperti ini seolah tidak pernah ada, di tengah membuncahnya ambisi mereka di Arafah. Bahkan semua tradisi Jahiliah dan riba yang telah dihapus oleh Nabi saw. 14 abad yang lalu itu justru mereka hidupkan kembali.
Ironi ketiga, ketika dengan sadar mereka mau melakuan tawaf, sa’i bahkan dengan susah payah mereka berusaha untuk menyentuh dan mencium Hajar Aswad, sesuatu yang notabene tidak pernah mereka pahami manfaatnya, selain karena melakukan apa yang Nabi saw. pernah lakukan. Namun, ketika mereka diperintahkan oleh Nabi saw. dalam perkara yang mereka tahu manfaatnya, seperti sistem ekonomi dan pemerintahan Islam, saat mereka telah menyaksikan sendiri dampak buruk diterapkannya sistem ekonomi dan pemerintahan Kapitalis bagi kehidupan mereka, justru mereka menolaknya dengan mentah-mentah. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan, bahwa sistem warisan Nabi saw. tersebut tidak lagi relevan di zaman mereka.
Bahkan lebih ironis lagi, di saat mereka telah meleburkan diri dalam satu nusuk yang puncaknya di Arafah, ketika seluruh jamaah tumpah ruah berkumpul di sana, pada saat yang sama, ternyata mereka hanyalah buih. Lihatlah apa yang bisa mereka lakukan, ketika pada saat yang sama, saat mereka wukuf itu, saudara-saudara mereka di Gaza, Palestina, diblokade oleh Israel dan rumah-rumah mereka dibumihanguskan. Bahkan, mengingat mereka pun mungkin tidak, apalagi mendoakan mereka.
Seharusnya, ibadah haji, sebagai ibadah harta, jiwa dan raga bagi setiap Muslim tidak hanya mampu membangun kesadaran spiritual, tetapi juga kesadaran sosial dan politik. Tanpa itu, ibadah mereka hanya akan menyisakan ironi. Fal’iyâdzu billâh… []