Dunia sebenarnya sedang menanti suatu solusi alternatif bagi permasalahan yang dihadapinya, setelah Kapitalisme yang mengangkangi perekonomian dunia mengalami goncangan yang sangat besar; dimulai dari rontoknya pasar modal kemudian menjalar ke sektor lain. Belum lagi fakta di lapangan menunjukkan Kapitalisme tidak mampu mensejahterakan rakyat. Sebagai contoh Indonesia, mendapat penghargaan sebagai negara demokratis tetapi setengah (100-jutaan) dari rakyatnya mendapat kategori miskin dari World Bank.
Ini semua seharusnya menggugah kaum Muslim untuk menyodorkan Islam sebagai alternatif bagi dunia, bahkan solusi satu-satunya yang sahih, yang akan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien. Caranya adalah dengan merekonstruksi Daulah Khilafah sebagai metode implementasi Islam yang dapat mempersatukan potensi seluruh bumi Islam dan kaum Muslim.
Khilafah yang ingin direkonstruksi mestinya adalah negara dengan sistem seperti pada masa Rasulullah atau Khulafaur Rasyidin, walaupun dengan teknologi dan sistem administrasinya ala Abad 21. Negara ini bukanlah negara teokrasi, bukan pula negara bangsa, mazhab atau jamaah (sekte) tertentu; bahkan tak cuma untuk kaum Muslim saja. Khilafah semacam itu tentu harus dipersiapkan dengan matang. Tentu harus cukup orang yang siap membelanya begitu ia diserukan dan menghadapi ancaman dari musuh-musuhnya, sebagaimana Rasul diancam dengan Perang Badar, Uhud, Ahzab dsb.
Begitu negara Khilafah diserukan oleh para pemegang kekuatan yang setuju dengan ide ini, maka mulailah suatu era baru di wilayah yang dikuasainya. Seluruh aturan akan diganti dengan aturan Islam, terutama aturan-aturan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, peradilan, pertahanan dan hubungan luar negeri. Seluruh perjanjian dengan negara lain akan ditinjau ulang untuk dilihat kesesuaiannya dengan hukum syariah. Rakyat yang telah teropini dengan Islam akan bersemangat mendukungnya, baik dengan hartanya maupun jiwanya. Kaum Muslim yang berada di negara maju dan juga telah menerima ide Khilafah akan berdatangan dan menyumbangkan keahlian yang mereka amalkan selama ini di negara maju. Kaum aghniyâ’ tidak akan ragu-ragu berkorban untuk negara, karena pada saat itu aktivitas ini bernilai spiritual. Jadilah negara ini kuat, sekalipun masih muda.
Jika demikian adanya, masihkah dakwah untuk menegakkan Khilafah hanya sekadar wacana yang tidak mungkin terealisasi? Ataukah Khilafah adalah keniscayaan sejarah yang telah di-nubuwah-kan Rasulullah dan tugas kita hanya mempersiapkan diri menyambutnya dengan dakwah?
Khilafah pasti kembali sesuai dengan janji Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya berpulang kepada kita: Akankah kita berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses penegakkannya sehingga kita meraih kemuliaan atau setidaknya memiliki jawaban di Hari Akhir nanti, bahwa kita telah berbuat sesuatu untuk umat ini? Ataukah kita cukup berdiam diri atau malah justru menjadi orang yang merintangi proses ini akibat kebodohan kita? Na’ûzubillahi min dzâlik! [Diana Wijayanti, SP; Ibu Rumah Tangga, tinggal Di Palembang]