Sepanjang tahun 2008 jagat perpolitikan di negeri ini masih dipenuhi dengan Pilkada sebagai wujud dari euforia demokrasi. Meski di sana-sini kejenuhan sudah mulai menghiasi, partai dan politisi sibuk mengiklankan diri seperti iklan pasta gigi dan sabun mandi, tentu seraya mengobral janji. Penguasa pun selalu berupaya mensugesti diri bahwa semua masih terkendali. Padahal kenyataannya sebaliknya.
Dalam aspek sosial, pornografi dan pornoaksi masih terus bertebaran. Kasus HIV/AIDS pun akan makin banyak dan ke depan secara serius akan menjadi ancaman. Celakanya, pornografi dan pornoaksi yang menjadi salah satu pemicu mungkin makin berkembang dengan berlindung di balik UU Pornografi yang sudah disahkan.
Sementara itu, kejahatan makin berkeliaran dan mengkhawatirkan. Mutilasi pun makin menjadi pilihan. Katanya, itu dipengaruhi media karena media menjadi ‘sumber pembelajaran’.
Kejenuhan Demokrasi
Indonesia telah diangap sebagai bagian dari negara demokratis di dunia. Presiden dan wakil presiden sudah dipilih langsung. Gubernur dan bupati/walikota juga dipilih langsung. Serangkaian pilkada itu harus dibiayai dengan sangat mahal oleh rakyat. Pilkada tahun 2007 di 226 daerah, terdiri 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Jumlah ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh KPUD. Jika ditambah dengan biaya yang dikeluarkan calon dan partai pengusungnya, jumlah itu akan jauh lebih besar lagi. Ironisnya, Pilkada telah melahirkan efek negatif, seperti polarisasi kelompok masyarakat dan merenggangnya interaksi sosial di antara masyarakat itu sendiri. Tidak jarang proses Pilkada justru melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan anarkis. Sejak rusuh paling awal di Manggarai, berikutnya rusuh pun terjadi di sejumlah Pilkada. Sebut saja rusuh di Tuban hingga terjadi pembakaran beberapa bangunan. Rusuh di Maluku Utara pasca Pilkada gubernur malah terjadi berkepanjangan.
Lebih ironis lagi, setelah semua itu, perbaikan kehidupan sehari-hari rakyat tak kunjung terjadi. Rakyat Indonesia pun mulai merasa jenuh dengan proses demokrasi yang berjalan. Masyarakat makin hari makin apatis dengan proses demokrasi dan proses politik yang ada. Hal itu bisa dilihat dari makin tingginya angka golput. Dari 26 Pilkada Gubernur sejak 2005 hingga 2008, menurut catatan JPPR, 13 “dimenangi” oleh golput. Dari 130 lebih Pilkada kabupaten/kota, dalam lebih dari 41 Pilkada golput menempati urutan pertama. Golput pada Pilkada Kalsel sebesar 40%, Sumbar 37%, Jambi 34%, Kepulauan Riau 46%, Banten 40%, DKI 35%, Jawa Barat 33%, Jawa Tengah 44%, Sumatera Utara 43% dan Pilkada Jatim putaran I sebesar 39,2 % dan putaran II sekitar 46%. Angka golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang berkisar antara 30–40%, bahkan lebih. Fenomena itu diperkirakan terus berlangsung pada Pemilu 2009 nanti.
Iklan Politik: “Tak Seindah Warna Aslinya”
Di dalam demokrasi, citra politisi atau partai dianggap menentukan perolehan suara. Karena itu, masa kampanye yang panjang, sekitar 9 bulan, pun betul-betul dimanfaatkan oleh para politisi dan parpol. Bermunculanlah iklan politik politisi dan partai. Partai Demokrat mencitrakan kesuksesan pemerintahan SBY dengan menampilkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia dan pertumbuhan sebesar 6% di sektor ekonomi. Faktanya, harga BBM dinaikkan, harga-harga kebutuhan melambung, pengangguran meningkat dan angka pengangguran masih tinggi, banyak industri UKM gulung tikar dan sejumlah industri besar terancam ambruk dan mem-PHK karyawannya. Kehidupan rakyat pun bahkan makin sulit hingga banyak dari rakyat rela mempertaruhkan nyawa hanya demi uang dua-tiga puluh ribu rupiah, seperti dalam pembagian zakat seputar Idul Fitri lalu.
Iklan lainnya mencitrakan sang Tokoh dengan visi dan misinya mensejahterakan rakyat Indonesia, kehidupan yang dekat dengan para petani dan memperjuangkan produk-produk dalam negeri. Padahal kiprahnya memperjuangkan nasib para petani dan kesejahteraan rakyat kecil selama ini nyaris tak terdengar.
Ada juga iklan dari “partainya wong cilik” yang mencitrakan kegagalan Pemerintah mengatasi tingginya harga-harga dan kesiapannya mengatasi semua itu jika memerintah. Padahal ketika memerintah dulu justru harga BBM rata-rata dinaikkan 126 % dan BUMN banyak yang diobral.
Iklan politik sudah dianggap begitu sakti sehingga ada yang nekat mengiklankan tokoh-tokoh pahlawan nasional yang akhirnya menuai banyak kritik.
Dalam sisa waktu kampanye ini, iklan politik akan terus bertebaran dan boleh jadi akan berhasil mengelabuhi rakyat. Namun, rakyat harus ingat bahwa layaknya sebuah iklan, iklan politik itu ternyata juga “tak seindah warna aslinya”.
Penguasa: Sibuk dengan Citra dan Bermain Kata
Sejak awal Pemerintah berjanji tidak menaikkan harga BBM. Faktanya, harga BBM dinaikkan rata-rata 27%. Keberpihakan kepada rakyat selalu dijadikan slogan. Nyatanya, korban lumpur Lapindo hingga kini dibiarkan. Anehnya, ketika grup Bakrie, induk Lapindo Brantas, kelimpungan terimbas krisis finansial, penguasa sigap menyelamatkan. Pemerintah sering mengatakan tidak punya uang untuk subsidi. Anehnya, tiba-tiba saja tersedia uang hampir 4 triliun rupiah agar BUMN mem-buy back saham hingga 50%. Oleh banyak pihak, itu dinilai lebih menguntungkan pengusaha, terutama asing. Pemerintah selalu berkata, perekonomian kuat dan imbas krisis finansial tidak akan besar. Nyatanya, industri, dari yang kecil sampai yang, besar banyak yang kolaps dan hampir mati. Puluhan bahkan ratusan ribu PHK pun akan terjadi.
Pornografi
Indonesia sebelumnya dianggap sebagai surga pornografi nomor dua setelah Rusia. Terbitan-terbitan yang berbau pornografi dan berbagai pornoaksi terus saja beredar luas tak tersentuh oleh hukum. Hukum tak bisa melindungi generasi negeri ini dari serbuan pornografi dan pornoaksi. Majalah Playboy Indonesia yang jelas mengusung pornografi diputus tak bersalah oleh PN Jakarta Selatan. Di dunia cyber, menurut Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, Indonesia menduduki peringkat ketiga pengakses internet dengan kata seks (Republika, 22/9/’08).
UU Pornografi akhirnya memang disahkan. Hanya saja, ia telah berubah jauh dari draft dan semangat awal untuk memberantas pornografi dan pornoaksi. Kata anti hilang. Masalah pornoaksi tidak disinggung. Pornografi pun ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang. Yang dilarang hanya lima materi: persenggamaan, termasuk yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin. Karena itu, alih-alih memberantas pornografi, yang terjadi nanti pornografi dan pornoaksi justru berkembang dan legal dengan berlindung pada diktum pornografi yang diperbolehkan.
Naiknya Pengidap HIV/AIDS
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981. Dengan demikian, AIDS menjadi salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Di Indonesia, menurut data Dep. Kesehatan, sampai dengan 31 Maret 2008 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 11.868 kasus di 32 povinsi yang tersebar di 194 kab/kota. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 20,95%. Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 adalah 193.000.
Proporsi kumulatif tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79%) dan kelompok umur 40-49 tahun (7,89%). Kasus terbanyak di DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per 100.000 penduduk. Rate kumulatif tertinggi adalah di provinsi Papua (75,312), DKI Jakarta (33,995), Bali (23,012), Kep. Riau (20,397), Kalimantan Barat (18,828), Maluku (11,506), Papua Barat (9,937), Bangka Belitung (6,799), dan Sulawesi Utara (5,753).
Menurut Juru Bicara Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Tini Suryanti, jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 4.288 orang, meningkat dari 2.849 penderita tahun lalu. Jumlah ini, lanjut Tini, masih merupakan fenomena gunung es. “Yang tidak terdeteksi bisa 100 kali lebih banyak,” katanya. (TEMPO Interaktif, 30/11/08).
Kriminal: Meningkatnya Kasus Mutilasi
Tekanan dan beban hidup yang semakin berat dipercaya meningkatkan angka kriminalitas. Kasus kriminal diperkirakan meningkat. Lihat saja, lembaran koran setiap hari hampir tidak pernah kosong dari berita kriminal. Fenomena kriminal yang mencolok adalah meningkatnya kasus mutilasi. Mutilasi menjadi modus favorit bagi pelaku pembunuhan. Sejak Januari hingga September 2008 tercatat ada 6 kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Namun, baru 2 dari 6 kasus yang pelakunya diciduk (http://www.detiksport.com). Selama 2008, kasus mutilasi juga terjadi di daerah-daerah lain seperti di Gunung Batu, Cicendo Bandung pada 30/8/’08 (Pikiran Rakyat, 27/10/’08), di Bima yang melibatkan tiga pelaku (nusatenggaranews.com), di Semarang (Solopos,com), di desa Pering Gianyar Bali (elShinta.com) dan masih ada kasus lainnya di tempat lain. Menurut Kriminolog Erlangga Masdiana, semakin maraknya mutilasi ini juga tidak terlepas dari peran media massa. “Media sebagai sumber pembelajaran atau socio learning, sehingga timbul imitatif effect (efek peniruan),” katanya (Kilasberita.com).
Yang jelas makin meningkatnya jumlah dan ragam kriminalitas menunjukkan bahwa hukum tidak memberikan efek jera sehingga bisa mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan. Itu artinya, hukum yang ada tidak memadai untuk mencegah dan memberantas kriminalitas. Karenanya, sudah saatnya ia dipensiunkan dan diganti dengan sistem hukum yang memadai, yang tidak lain adalah syariah Islam.
Dukungan kepada Syariah Makin Menguat
Ya, syariah Islam memang mutlak diterapkan. Apalagi sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan kepada penerapan syariah dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.
Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08). Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Sejumlah hasil survey itu menunjukkan bahwa harapan masih terbentang bagi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Syariah Islam diyakini akan membawa perbaikan dan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tapi juga dunia. Tantangan ke depan adalah bagaimana memperbesar opini tentang penerapan syariah ini; juga mengubah opini itu menjadi kesadaran yang menggerakkan bagi terwujudnya penerapan syariah. []