Masyarakat merupakan kumpulan manusia dengan pemikiran dan emosi dalam sebuah sistem yang khas. Realitas sebuah masyarakat bisa menjadi representasi sebuah peradaban. Warna dan corak masyarakat sangat ditentukan oleh sistem yang ada di dalamnya. Karenanya, penting bagi kaum Muslim untuk memahami kondisi masyarakat setelah Rasulullah saw. hijrah. Sebab, kondisi masyarakat sesudah Rasul hijrah merupakan gambaran utuh peradaban Islam yang dibangun oleh Beliau.
Masyarakat Arab Sebelum Hijrah
1. Aspek akidah/ideologi.
Masyarakat Arab sebelum Rasulullah hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Peraturan hidup yang mendominasi masyarakat adalah aturan-aturan Jahiliah. Kecenderungan perasaan dan pemikirannya pun dikooptasi oleh pemikiran dan perasaan Jahiliah. Akidah/ideologi, kehidupan sosial, keadaan ekonomi dan politik berada dalam kegelapan.
Akidah/ideologi masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Meskipun mereka mengenal keesaan Tuhan,2 dalam realitas ibadah mereka banyak sekali menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Al-Quran mengungkapkan kondisi mereka:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala pujian milik Allah.” Namun, kebanyakan mereka tidak tahu (QS Luqman [31]: 25).
Dalam praktik menyembah Allah, mereka membuat atau mengadakan berbagai perantara, dengan tujuan untuk menghampirkan diri mereka kepada tuhan. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat dan menganggap bahwa para malaikat itu adalah anak perempuan Allah. Ada juga yang menyembah jin dan arwah terdahulu. Mereka sering ‘mempersembahkan’ kurban di tempat jin yang terkenal dengan nama “Darahim”. Ada yang menyembah binatang, menyembah berhala. Amr bin Lubayyi, penguasa Ka’bah dan Makkah saat itu, menaruh sebuah berhala dari batu akik yang sangat terkenal dengan nama “Hubal”.
Kondisi demikian menjadikan tauhid yang mereka miliki rancu. Keesaan Tuhan yang mereka peroleh akhirnya bercampur-baur dengan berbagai khurafat. Ketika mereka meyakini Allah sebagai Pencipta sesuatu, mereka juga meyakini bahwa jin-jin dapat memberikan manfaat dan madarat. Kepercayaan mereka kepada tukang sihir dan para kahin (dukun) sangat menonjol. Para kahin dipandang oleh mereka sebagai tukang-tukang tilik, yang dapat membuat tangkal-tangkal atau jimat-jimat penolak malapetaka, dapat menceritakan kejadian-kejadian akan datang, tempat menanyakan satu sebab kesusahan yang telah datang dan akan datang, memberikan petunjuk-petunjuk, dan dapat memutuskan perkara-perkara pertikaian. Mereka juga berkeyakinan dalam perut manusia ada ular. Karenanya, jika lapar maka ular tersebut lah yang menggigitnya. Kalau orang sesat di jalan, maka kain yang dipakainya harus dibalik agar tidak sesat. Mereka juga memakai cincin dari besi atau tembaga dengan harapan menambah kekuatan.
2. Aspek sosial.
Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak atau tuak. Mereka biasanya melakukannya dalam sebuah pertemuan yang disertai dengan perjudian, disertai dan dihibur oleh para perempuan penyanyi. Pelacuran atau perzinaan antara laki-laki dan perempuan di Jazirah Arab saat itu adalah hal yang biasa. Rumah-rumah pelacur memiliki tanda-tanda khusus sehingga mudah dikenali oleh para hidung belang saat itu.
Pencurian, pembegalan dan perampokan juga menyeruak di mana-mana. Bahkan Ka’bah, rumah suci yang amat dimuliakan oleh bangsa Arab, pernah kecurian barang-barang berharga. Demikian pula dengan kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab saat itu yang melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan di benam hidup-hidup dalam tanah; adakalanya ditaruh disuatu tempat seperti tong, lalu diluncurkan dari tempat yang tinggi.
3. Aspek ekonomi.
Porfesi bangsa Arab sebelum Rasulullah saw. kebanyakan adalah pedagang. Bisnis yang mereka lakukan saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pemberian pinjaman dengan cara riba yang berlipat ganda telah menjadi tradisi mereka. Uang yang mereka peroleh juga sering dihabiskan di meja judi dan berbagai pertaruhan lainnya.
4. Aspek politik.
Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa/negara-negara lain saat itu. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, saling berebut kekuasaan, dan sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Baik Persia maupun Byzantium belum pernah mempertimbangkan untuk menguasai wilayah ini. Tak seorang pun bermimpi bahwa wilayah itu kelak akan melahirkan sebuah agama baru, segera menjadi kekuatan dunia yang besar dan bertahan lebih dari seribu tahun. (Politik dan Pemerintahan Arab sebelum Islam (http://nurlatif.blogspot.com).
Jazirah Arab sendiri saat itu diperintah oleh beberapa kerajaan. Ada yang besar dan ada yang kecil. Kerajaan yang besar saat itu adalah Mu’niyah, Sabaiyah, dan Himyariyah. Kerajaan-kerajaan ini lebih banyak mengatur masalah perniagaan, sedangkan pemerintahannya langsung diatur dari negeri Yaman.
Gambaran Dakwah Rasulullah saw. Di Makkah
Di Makkah, Rasulullah selama 13 tahun mempersiapkan akidah orang-orang yang nantinya akan menopang bangunan masyarakat. Lahirlah generasi terbaik dari kalangan para Sahabat. Secara politis, desain masyarakat yang Beliau lakukan diawali dengan pembentukan kelompok (kutlah) dakwah. Kelompok ini terdiri dari kaum pria dan wanita dari berbagai daerah dengan usia yang berbeda. Di antara mereka ada yang lemah, kuat, kaya dan miskin. Rasulullah saw. benar-benar mempersiapkan aqliyah, mental dan tsaqâfah secara intensif kurang lebih 3 tahun, untuk kemudian mendeklarasikan agen perubahan masyarakat ini.
Fase berikutnya, setelah Rasul mendeklarasikan kelompoknya di tengah-tengah masyarakat Mekkah, secara alami terjadilah gesekan pemikiran baru yang dibawa Rasulullah saw. dengan berbagai kebiasaan lama Arab Jahiliah. Berbagai ujian dan cobaan fisik dan non-fisik dialami Rasul saw. beserta orang-orang yang ada di kelompoknya. Rasulullah dan para Sahabat mengalami penyiksaan, pemboikotan maupun propaganda yang menentang dakwah. Beliau dengan para Sahabat menanggung beban yang amat berat, layaknya beban yang ditanggung gunung yang menjulang tinggi.
Namun, semua kondisi tersebut tidak melemahkan mereka. Keimanan para Sahabat justru semakin menebal dan teruji. Titik-titik perubahan masyarakat pada akhirnya semakin bersinar. Ketika musim haji datang, 12 orang laki-laki dari penduduk Madinah datang. Mereka bertemu dengan Nabi saw. di Aqabah. Lalu mereka membaiat Beliau dalam peristiwa Baiat Aqabah I. Dalam baiat itu, mereka berjanji tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak akan mendatangkan bukti-bukti yang direkayasa di antara dua tangan dan kakinya dan tidak akan melakukan maksiat dalam hal yang makruf.
Tidak lama berselang, Mush’ab bin Umair terus memberikan perkembangan tentang dakwah di Madinah sampai pada saat yang sangat bersejarah, terjadilah Baiat Aqabah II, yang terjadi pada tahun ke-12 masa kenabian. Rasulullah saw. kedatangan 75 orang kaum Muslim dari Madinah. Detik-detik transformsi masyarakat akhirnya berlangsung dengan sukses dengan adanya Baiat Aqabah II. Aisyah ra. bertutur, “Ketika muncul 70 orang dari sisi Nabi saw., maka jiwanya menjadi lapang. Allah telah menjadikan baginya dukungan dan keberanian dari penduduk ahli perang.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, edisi Muktamadah 2002).
Peristiwa Baiat Aqabah II ini merupakan tonggak bersejarah transformasi masyarakat dari pemuka Madinah kepada Rasulullah saw. yang membawa Islam.
Setelah terjadi perpindahan kekuasaan di Madinah, Rasul dan para Sahabat kemudian merencanakan untuk hijrah ke sana, kendati tekanan dari pihak Quraisy untuk menghalangi hijrah semakin keras. Rasul saw. menemui para Sahabat seraya bersabda, “Telah dikabarkan kepadaku tentang tempat hijrah kalian, yaitu Yatsrib. Karena itu, siapa saja di antara kalian yang ingin pergi ke sana, maka pergilah ke sana.”
Berdasarkan hal ini, keberadaan kekuatan Islam di Madinah, dan kesiapan Madinah sebagai masyarakat Islam, merupakan perkara pendorong Rasul saw. untuk hijrah ke sana. Inilah penyebab langsung hijrahnya Rasul. Hijrah merupakan pembatas dalam Islam yang memisahkan tahapan-tahapan dakwah dengan upaya mewujudkan masyarakat dan negara yang memerintah dengan Islam.
Masyarakat Arab Pasca Hijrah
Peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah, bukan sekadar peristiwa perpindahan tempat tinggal Beliau beserta para Sahabat. Esensi terpenting hijrah kaum Muslim saat itu adalah transformasi masyarakat; perubahan masyarakat Jahiliah ke masyarakat Islam.
Kondisi masyarakat Arab setelah hijrah sangat bertolak belakang dengan keadaannya sebelum hijrah Sebelum hijrah, kondisi ideologi/akidah, sosial, ekonomi dan politik bangsa Arab sebelum Rasul berhijrah kental dengan aroma kebodohan. Sebaliknya, setelah hijrah, sejak mereka diatur dan ditata dengan syariah Islam oleh Rasulullah saw., kondisi masyarakat Arab saat itu diliputi oleh cahaya.
Masyarakat Arab pasca hijrah yang dibangun Rasulullah adalah sebuah entitas masyarakat yang khas. Peraturan, pemikiran dan perasaan masyarakat Arab pasca hijrah benar-benar berada dalam bimbingan Islam. Dengan sangat indah Rasulullah saw. menggambarkan Madinah—sebagai negara baru saat itu—dengan sabdanya, “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. mengibaratkan Madinah seperti tungku (tukang besi). Tungku tukang besi pada prinsipnya membentuk besi menjadi sesuatu benda yang berguna semisal pedang atau parang. Pada proses pembentukannya dilakukan pemanasan dan pemukulan sehingga melepaskan besi-besi kotor yang tidak berguna. Demikian pula yang dilakukan Rasulullah saw. dalam membangun Madinah sebagai sebuah masyarakat Islam. Beliau benar-benar merancang, mempersiapkan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang benar-benar merepresentasikan ideologi Islam. Rasul saw. menstabilkan kondisi masyarakat dengan melakukan berbagai perjanjian dengan masyarakat non-Islam maupun masyarakat tetangga. Bahkan Rasul tidak segan-segan mengusir kaum Yahudi dari Madinah karena merusak perjanjian demi mempertahankan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang khas.
Pentingnya Khilafah Islamiyah
Realitas masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan kondisi masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah. Bahkan sebagian orang menyebut zaman sekarang sebagai zaman Jahiliah modern. Kondisi ideologi/akidah, sosial, ekonomi dan politik saat ini sesungguhnya identik dengan kondisi sebelum Rasulullah hijrah. Bahkan saat ini, berbagai kemaksiatan, kemusyrikan, kebejatan moral semakin menyeruak ketika berbagai sisi kehidupan tersebut dikapitalisasi dengan tujuan materi.
Karenanya, dunia saat ini memerlukan perubahan. Keruntuhan sistem ekonomi dunia saat ini, di samping merupakan indikasi lemah dan bobroknya sistem kapitalis, juga mengindikasikan bahwa dunia saat ini memerlukan tatanan kehidupan baru. Di sinilah pentingnya kaum Muslim saat ini mewujudkan kembali institusi negara baru, yakni Daulah Khilafah Islamiyah, demi terwujudnya tansformasi masyarakat Islam.
Sistem kapitalis yang beberapa kali mengalami siklus kebangkrutan merupakan bukti bahwa sistem ini sangat tidak mampu menopang sebuah peradaban dunia. Setelah Sosialisme-komunis runtuh, dan Kapitalisme-sekular saat ini sedang menuju kebangkrutan-nya, dunia tidak memiliki alternatif lain lagi kecuali segera menerapkan sistem Islam sekaligus mewujudkan wadahnya, yakni Khilafah Islamiyyah. Allah Swt. sebagai Pencipta makhluk dan Pembuat sistem tersebut telah menjamin ketangguhan sistem Islam. Sejarah pun telah mencatat kesuksesan sistem Islam dalam menciptakan berbagai kemaslahatan umat manusia dan menciptakan peradaban yang cemerlang dan tangguh dalam kurun ribuan tahun. [Luthfi Hidayat; Staf Pengajar Univesitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI)]
Catatan Kaki:
2 Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad saw. KH. Moenawar Chalil jilid IA hal 45.