Seusai mendaras al-Quran, seperti biasa pagi itu, 2 Desember 2008, saya membuka email. Belasan email berderet di kotak masuk (inbox). Ada satu yang langsung menarik perhatian saya, yaitu email yang dikirim oleh Theophilus Bela, Sekjen Indonesian Committee of Religions for Peace (IComRP), Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), Duta Besar Perdamaian (Ambassador for Peace). Isi email itu selengkapnya seperti ini,
Dear all,
Saya kaget sekali membaca artikel dalam website koran berbahasa Inggris The Jakarta Post hari ini www.thejakartapost.com tanggal 1 Desember 2008 pkl.14.39 WIB yang berjudul “Kebanyakan Guru Agama Islam Menentang Pluralisme, Survey Membuktikan” teks asli berbahasa Inggris dapat Anda lihat dalam lampiran surat ini.
Survey yang dibuat bulan lalu oleh Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta mengatakan bahwa 62,4% para guru agama Islam pada sekolah negeri dan swasta di Pulau Jawa menolak pemimpin bangsa dari kalangan non-Muslim; 68,6% responden menolak kepala sekolah yang beragama non-Muslim; dan 33,8% menolak kehadiran guru-guru non-Muslim di sekolah-sekolah mereka.
Survey tersebut mengambil sampel 500 guru agama Islam di Pulau Jawa dan banyak dari mereka berasal dari organisasi Muslim besar, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang umumnya dikenal sebagai moderat dan toleran.
73,1% para guru agama Islam yang diinterpiu menolak kehadiran rumah ibadah dari kelompok agama lain dilingkungan mereka.
85,6% responden melarang para siswa mereka untuk merayakan pesta-pesta yang berbau ke Barat-baratan dan 87% guru tadi melarang para siswa mereka mempelajari agama-agama lain di luar agama Islam.
48% para guru merasa perlu untuk menempatkan para siswa laki-laki di ruang kelas yang terpisah dari para siswi perempuan.
Jajat Burhanudin, Direktur Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta mengatakan bahwa sikap anti-pluralisme para guru tersebut terlihat dalam isi pengajaran agama mereka yang telah mendorong bangkitnya konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim di negeri ini. “Saya pikir para guru agama Islam telah berperan dalam peningkatan konservatisme dan radikalisme di kalangan warga Muslim dewasa ini. Anda tak boleh mengatakan bahwa konservatisme dan radikalisme hanya berkembang di jalanan sebagaimana yang digerakkan oleh kelompok Front Pembela Islam (FPI), tapi sebenarnya telah tumbuh pesat dalam sistim pendidikan sendiri”, kata Jajat Burhanudin. Dia juga mengatakan bahwa sikap tidak toleran ini mengancam hak-hak sipil dan politik warga non-Muslim dinegeri ini.
Hasil survey ini juga menunjukkan bahwa 75,4% responden meminta para murid agar mendesak para guru non-Muslim untuk berpindah agama dan masuk agama Islam dan 61,1% responden menolak kehadiran sekte agama baru (kelompok Ahmadiyah?).
Karena kesadaran agamanya yang dalam, 67,4% responden yang mengatakan bahwa mereka lebih merasa diri sebagai orang Islam daripada sebagai orang Indonesia. Mayoritas responden juga mengatakan bahwa mereka mendukung diberlakukannya hukum syariah guna memberantas kejahatan dinegeri ini. Ada 58,9% responden yang mendukung hukuman rajam atas setiap kejahatan dan ada 47,5 % yang menghendaki agar para pencuri dipotong tangannya dan ada 21,7% responden yang menuntut agar hukuman mati dijatuhkan pada mereka yang murtad dari agama Islam dan pindah ke agama lain.
Hanya 3% saja dari para guru agama Islam yang disurvey mengatakan bahwa mereka merasa berkewajiban untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada para anak didik mereka.
Dari 500 guru agama yang disurvey di Pulau Jawa ada 44,9% mengaku berasal dari organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan 23,8% berasal dari organisasi Islam terbesar kedua, yakni Muhammadiyah. Jajat Burhanudin yang memimpin survey tersebut mengatakan bahwa kedua organisasi moderat tersebut telah gagal dalam menanamkan nilai-nilai toleransi di akar rumput jaringan organisasi mereka…
Membaca laporan tentang hasil survey diatas saya agak tertegun dan merasa bahwa jalan masih amat panjang untuk membina dialog agama yang sehat di negeri kita ini. Namun hendaknya hasil survey ini membuat kita lebih giat lagi untuk mengadakan dialog agama.
Jadi walaupun kini sering mendung dan hujan serta mungkin banjir, kita semua tidak boleh berputus asa dalam kegiatan dialog agama ditempat masing-masing walaupun kita menemukan laporan yang kurang menggembirakan di atas.
Selamat berjuang. Tuhan memberkati Anda semua
+++
Tampaknya cara yang ditempuh oleh pak Theo ini sangat efektif. Kiriman tulisannya akan dengan tepat masuk ke ruang pribadi orang yang dituju. Jika itu menyangkut isu yang sensitive seperti soal yang dimuat oleh koran the Jakarta Post, pasti akan dengan cepat menarik perhatian penerima.
Saya menduga, orang pasti akan mudah meradang membaca laporan the Jakarta Post itu. Jadi, alih-alih maksud Pak Theo membangun saling pengertian dan dialog di antara umat beragama seperti yang ia mau, yang terjadi mungkin justru sebaliknya: kecurigaan dan kecemasan.
+++
Memang sekarang orang makin menyadari kekuatan internet. Melalui internet orang bisa jualan macam-macam. Ribuan bahkan jutaan sumber pun bisa diakses. Melalui internet juga orang dengan mudah mengumbar cacian dan hinaan tanpa khawatir diketahui orang (seperti komik biadab yang menghina Nabi saw. di situs wordpress dan puluhan situs anti Islam lainnya yang bertebaran di dunia maya).
Melalui internet orang bisa menggalang dukungan politik, seperti yang dilakukan oleh Barack Obama. Melalui internet pula, orang dengan mudah menyebarkan kecemasan, salah paham dan provokasi. Itu yang kiranya terjadi ketika orang membaca sekadar email yang ditulis oleh Pak Theo tanpa disertai penjelasan dan analisis yang memadai.
+++
Sebenarnya ada tanggapan cukup bagus terhadap ulasan koran the Jakarta Post tadi. Tanggapan itu ditulis oleh Shalahuddin Wahid di koran Republika edisi 2 Desember 2008 yang saya baca pagi itu juga beberapa saat setelah saya menyimak emailnya Pak Theo. Dalam tulisan itu, Shalahuddin mempertanyakan berapa banyak sekolah negeri (MIN, MTsN, MAN) di mana para ustadz itu mengajar. Kalau sekolah itu milik swasta (yayasan, ormas atau pesantren), rasanya tidak aneh mereka menolak kepala sekolah non-Islam. Sekolah NU dipimpin oleh kepala sekolah dari Muhammadiyah atau Persis pasti juga ditolak. Menurutnya, ini bukan fakta yang aneh, apalagi disebut sebagai bukti radikalisme apalagi terorisme.
Kemudian soal presiden non-Islam, Shalahuddin Wahid mengatakan bahwa yang menolak presiden non-Islam bukan hanya ustadz di tingkat akar rumput. Ulama terkenal tingkat nasional, seperti Kiai Ali Yafie, juga menolak. Penolakan itu didasari dalil kuat dari al-Quran dan al-Hadis. Apakah karena itu, Kiai Ali Yafie dapat disebut meningkatkan radikalisme? Kalau 58,9 persen menghendaki rajam untuk pelaku zina, tampaknya juga bisa dipahami karena itu diajarkan dalam fikih di pesantren dan madrasah.
Pimpinan Pesantren Tebuireng ini juga mempersoalkan toleransi apa yang dimaksud dalam hasil survei yang katanya hanya tiga persen responden yang merasa punya tugas menghasilkan siswa toleran. Apakah toleran itu dalam masalah sosial atau masalah akidah. Kalau toleransi masalah akidah, tampaknya ditolak oleh hampir semua ustadz dan kiai. Namun, toleransi sosial tidak ada masalah, sudah banyak diterapkan.
Seperti yang diduga, email itu memang telah menimbulkan kecemasan. Di antaranya dari Michael Gilliard yang mengirim email beberapa hari kemudian. Pada intinya, dia mengatakan bahwa laporan The Jakarta Post itu sungguh mengejutkan. Itu membuktikan bahwa kebanyakan Muslim di Indonesia bukan moderat seperti yang ia pikir sebelumnya.
Apalagi dalam email yang saya terima pada 7 Desember Pak Theo sengaja terus menambah provokasi. Ia, misalnya, dalam email itu mengajak pembaca untuk memperhatikan laporan yang dibuat oleh Open Door International tentang kesewenang-wenangan yang dialami oleh minoritas Kristen di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut laporan itu, di Indonesia masih banyak terjadi kebaktikan Minggu di gereja dipaksa ditutup oleh kelompok Muslim radikal atau pemerintah lokal. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa ini adalah bukti buruknya kinerja pemerintahan Presiden SBY. Karena itu, dengan vulgar ia mengajak untuk tidak memilih SBY dalam Pemilu mendatang dan mendepaknya dari kursi kepresidenan sekarang.
+++
Kesimpulannya, teknologi apapun, termasuk teknologi informasi, memang ibarat pisau bermata dua. Ada sisi negatif ada pula sisi positif. Kita tentu harus mengoptimalkan sisi positifnya seraya tidak boleh lelah untuk menghadapi dampak buruk dari sisi negatifnya, seperti yang mungkin terjadi dari email Pak Theo dan email-email provokatif serupa yang bertebaran di dunia maya. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]
Ass wr wb
Umat Islam harus tegar menghadapi provokasi kaya gini, salam hormat saya buat penulis yang membaca Qur’an setiap hari. Jika umat Islam kaya penulis semua mau baca Qur’an tiap hari, provokasi kaya gini tidak akan menggoncangkan pendiriannya. Mari kita jadikan Qur’an sebagai sahabat, penasihat, pembimbing. Insya Allah pasti menang.