Al-qardhu berasal dari kata qaradha–yaqridu–qardh[an]. Secara bahasa arti asalnya adalah al-qath’u (potongan). Utang disebut qardh[un] karena kreditor (yang memberi utang) seakan telah memotong dari harta miliknya sepotong harta yang ia utangkan. Di dalam berbagai kamus dikatakan bahwa al-qardhu adalah harta yang diberikan untuk dibayar kembali belakangan.
Hukum
Memberi utang kepada orang yang sedang kesulitan merupakan salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Swt. Memberi utang bagi kreditor hukumnya sunnah. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Siapa saja yang meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang Mukmin niscaya Allah meringankan darinya kesulitan akhirat. Siapa saja yang mempermudah orang yang sedang mengalami kesukaran niscaya Allah memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba selama hamba menolong saudaranya (HR Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Ibn Mas’ud ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِماً بِقَرْضٍ مَرَّتَيْنْ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةٍ
Tidaklah seorang Muslim memberi utang sebanyak dua kali kepada Muslim yang lain kecuali (pahalanya) seperti sedekah satu kali (HR Ibn Majah, Ibn Hiban dan al-Baihaqi).
Adapun bagi pihak yang berutang (debitor), berutang hukumnya mubah. Hal itu karena Rasul saw. juga pernah berutang. Aktivitas Beliau itu bukan merupakan penjelasan atas suatu perintah. Juga tidak ada pujian atasnya; tidak tampak maksud taqarrub di dalamnya. Karena itu, berutang hukumnya adalah mubah.
Ketentuan tentang Utang
Utang merupakan akad. Karena itu, akad utang itu harus memenuhi rukunnya, yaitu: (1) Dua pihak yang berakad yaitu al-muqridh (kreditor/pemberi utang) dan al-mustaqridh (debitor/yang berutang). (2) Ijab dan qabul, yang bisa menggunakan lafal qardh, atau salaf, atau yang maknanya sama, yaitu utang. (3) Harta yang diutang.
Akad utang merupakan akad pemindahan kepemilikan (‘aqd tamlîk) sehingga harus dilakukan oleh orang yang secara syar’i boleh melakukan tasharruf. Dalam akad utang pihak kreditor memindahkan kepemilikan hartanya kepada debitor. Itu menunjukkan kreditor haruslah pemilik harta yang diutangkan atau orang yang diizinkan oleh pemilik harta tersebut.
Akad utang tidak sempurna kecuali dengan serah-terima. Jika harta yang diutang termasuk harta yang ditakar, ditimbang atau dihitung maka harus diserahterimakan zatnya. Al-Mustaqridh (debitor) baru boleh melakukan tasharruf terhadap harta itu setelah diserahterimakan kepadanya zat harta itu. Artinya, harta itu harus sudah di dalam genggamannya. Harta selain yang ditakar, ditimbang dan dihitung, begitu selesai akad, kepemilikan harta itu sah berpindah kepada al-mustaqridh (debitor). Artinya, begitu selesai akad, al-mustaqridh langsung bisa melakukan tasharruf terhadapnya meski harta itu belum ia pindahkan atau belum ia pegang (belum berada di dalam genggamannya).
Harta yang diutang secara umum ada dua jenis. Pertama: harta ghayr mitsliy[an], yaitu barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya seperti hewan, kayu bakar, pakaian, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut dayn.1 Dayn juga mencakup utang berupa kompensasi harta lain dalam akad pertukaran harta yang penunaiannya ditunda setelah tempo tertentu atau harga barang yang disepakati akan dibayar setelah tempo tertentu.
Kedua: harta yang bersifat mitsliy[an] (memiliki padanan dan bisa dicarikan padanannya). Contoh: beras jenis tertentu, kain jenis tertentu, emas, perak, uang dan sejenisnya. Secara umum barang yang standarnya takaran, timbangan dan hitungan, termasuk harta jenis ini. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut qardh[un]. Utang dalam bentuk qardh[un] ini harus dikembalikan dengan harta yang sama baik dari sisi jenis, jumlah maupun sifatnya.
Pembayaran Utang
Syariah menetapkan, akad utang tidak boleh dijadikan sebagai cara untuk memperoleh penghasilan, juga bukan sarana untuk melakukan eksploitasi. Syariah melarang utang yang melahirkan tambahan manfaat, baik berupa manfaat lain atau tambahan jumlah harta yang diutang. Tambahan itu adalah riba. Jika tambahan itu disyaratkan di dalam akad maka itu adalah riba dan hukumnya haram. Ali ra. berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang utang yang menarik suatu manfaat (HR al-Harits bin Abi Usamah).
Ibn al-Mundzir menyatakan, para Sahabat Nabi saw. telah berijmak bahwa kreditor, jika mensyaratkan kepada debitor suatu tambahan atau hadiah, lalu ia memberi utang berdasarkan hal itu maka mengambil tambahan itu adalah riba. 2
Jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka jika tambahan itu berupa tambahan jumlah harta yang sama maka jelas itu adalah riba. Jika tambahan itu berupa harta lain seperti dalam bentuk hadiah atau manfaat seperti tumpangan maka itu juga tidak boleh; kecuali yang biasa terjadi diantara keduanya sejak sebelumnya dan bukan karena akad utang itu. Yahya bin Abiy Ishaq al-Huna’i menuturkan, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik ra., tentang seseorang yang mengutangi (memberi qardh) saudaranya harta, lalu saudaranya itu memberinya hadiah. Anas ra., berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
Jika salah seorang di antara kalian memberi utang (qardh), lalu ia diberi hadiah (oleh pengutang) atau si pengutang membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya sebelum utang-piutang itu (HR Ibn Majah).
Ada hadis penuturan Abu Rafi’ ra.:
Nabi saw. pernah berutang seekor anak unta. Lalu datanglah unta sedekah. Kemudian Nabi saw. menyuruhku untuk membayar anak unta itu. Aku berkata, “Saya tidak menemukan selain unta yang lebih baik berupa unta umur enam tahun.” Rasul saw. bersabda:
أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik pengembaliannya (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Dari hadis tersebut jelas pengembalian yang lebih baik itu tidak disyaratkan sejak awal, tetapi murni inisiatif debitor (al-mustaslif). Itu juga bukan tambahan atas jumlah sesuatu yang diutang karena tidak ada tambahan atas jumlah unta yang dibayarkan dan tidak ada pula tambahan apapun atas unta yang diutang. Itu tidak lain adalah pengembalian yang semisal dengan apa yang diutang; seekor hewan dengan seekor hewan, namun lebih tua dan lebih besar tubuhnya. Itulah yang dimaksud dengan pengembalian yang lebih baik (husn al-qadhâ’).
Secara syar’i husn al-qadhâ’ hukumnya boleh. Husn al-qadhâ’ adalah mengembalikan utang semisal apa yang diutang (jumlah dan jenisnya) tetapi dengan kualitas atau ukuran lebih baik. Jika diperhatikan, husn al-qadhâ’ ini bisa dilakukan dalam utang yang berbentuk dayn dan tidak dalam qardh[un]. Utang dalam bentuk qardh[un] harus dikembalikan dengan harta yang sama baik jenis, ukuran, sifat, dan jumlahnya.
Memberi Tangguh dan Pengurangan Utang
Memberi tangguh kepada orang yang kesukaran saat jatuh tempo, baik dalam utang berupa dayn ataupun qardh, hukumnya sunah (QS al-Baqarah [2]: 280). Memberi potongan, utang baik sebagian atau semua, hukumnya juga sunah. Abu Qatadah berkata, bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Siapa yang senang diselamatkan Allah dari kesulitan pada Hari Kiamat maka hendaknya memberi keringanan kepada orang yang sedang kesukaran atau menggugurkan utangnya (HR Muslim).
Pengurangan utang itu harus inisiatif murni dari kreditor dalam bentuk tabarru’ (pemberian). Pengurangan utang itu tidak boleh disyaratkan sejak awal di dalam akad, baik jumlah, kualitas atau ukurannya. Pengurangan itu juga tidak boleh diberikan sebagai kompensasi dari percepatan pembayaran utang baik permintaan dari kreditor atau dari debitor. Sebab, yang demikian adalah riba.
Segera Membayar Utang Sebelum Ajal
Rasul saw. pernah bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ، حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang Mukmin tergantung karena utangnya hingga hutangnya dibayarkan (HR Ahmad, ad-Darimi, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).
WaLlâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Dayn lebih umum daripada qardh. Dayn sebenarnya juga mencakup qardh. Setiap qardh adalah dayn, tetapi tidak setiap dayn adalah qardh. Lihat perbedaan keduanya dalam Samih ‘Athif az-Zain, Al-Mu’amalat, hlm. 285 dan 303-304, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995; Abu Hilal al-‘Askari, Al-Furuq al-Lughâwiyah, 1/425. Adapun terkait dengan pemanfaatan agunan utang baik dayn atau qardh lihat: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/340-343, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003.
- Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Nisaburi, Al-Ijmâ’, 1/95, ed. Dr. Fuad Abdul Mun’im Ahmad, Dar ad-Da’wah, Iskandariyah, cet. iii. 1402.