Soal:
Ada anggapan, bahwa mengajak orang lain untuk bergabung dan berjuang dengan salah satu kelompok Islam adalah bagian dari sikap ‘ashabiyah yang dilarang keras oleh Islam. Demikian juga ketika anggota kelompok tersebut mengadopsi pandangan, hukum dan pemikiran tertentu. Benarkah demikian?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa poin yang perlu dijelaskan. Pertama: pengertian ‘ashabiyyah itu sendiri. ‘Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapapun yang menyerang mereka. Menurutnya, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka zalim.1 Pandangan ini sama dengan pandangan al-Manawi ketika menjelaskan maksud hadis:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّة
Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud).
Beliau menyatakan, “Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim.”
Sementara al-Qari menyatakan, “Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.”2
Dalam hadis lain, larangan berperang di bawah bendera ‘Ummiyyah atau ‘Immiyyah, menurut as-Sindi, adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jamaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah.3
Dengan demikian, jelas bahwa makna ‘ashabiyyah di sini bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan marah dan hawa nafsu.
Karena itu, ajakan untuk bergabung dengan kelompok Islam tertentu, yang jelas-jelas berjuang untuk Islam, berdasarkan Islam, dan diikat dengan ikatan ideologi Islam—dengan pandangan, pemikiran dan hukum-hukum yang diadopsinya juga Islam—tidak bisa disebut sebagai bentuk ‘ashabiyyah.
Kedua: secara faktual, nash-nash syariah mungkin untuk dipahami secara berbeda, baik karena faktor dalâlah-nya, yang bersifat zhanni, maupun karena faktor kemampuan orangnya, sehingga berpotensi melahirkan perbedaan. Dari perbedaan itu akhirnya berpotensi melahirkan mazhab atau kelompok pemikiran yang berbeda. Karena itu, adanya mazhab atau kelompok pemikiran yang berbeda jelas merupakan keniscayaan yang dibenarkan oleh Islam. Pada zaman Nabi saw. pun muncul dua kelompok yang berbeda dalam memahami hadis ini:
لاَ تُصَلُّوْنَ الْعَصْرَ إِلاَّ بِبَنِيْ قُرَيْظَةَ
Janganlah kalian shalat ashar, kecuali di Bani Quraizhah (HR ath-Thabari).
Kelompok pertama memahami bahwa harus shalat terlebih dulu, kemudian bergegas berangkat ke Bani Quraidhah. Kelompok kedua memahami bahwa tidak boleh shalat terlebih dulu, kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah. Kedua pemahaman yang berbeda dari kedua kelompok Sahabat ini pun sama-sama dibenarkan oleh Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan, termasuk konsekuensinya, yakni lahirnya kelompok pemikiran yang berbeda, juga dibenarkan.
Karena itu, adanya kehidupan berkelompok di tengah masyarakat merupakan keniscayaan dan fitrah. Adanya kelompok-kelompok di tengah masyarakat itu juga bukan merupakan sesuatu yang terlarang. Kalaupun ada larangan, dasarnya bukan karena kelompok, tetapi pemikiran dan ideologinya. Selama kelompok-kelompok tersebut didirikan berdasarkan akidah Islam; anggota-anggotanya juga diikat dengan akidah Islam; pandangan, pemikiran dan hukum yang diperjuangkannya juga pandangan, pemikiran dan hukum Islam, maka tidak ada alasan secara syar’i untuk melarang kelompok tersebut.
Ketiga: adanya perintah dari Allah Swt. untuk membentuk kelompok yang menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Perintah di atas bisa dipahami sebagai perintah agar mengajak orang lain untuk masuk menjadi anggota kelompok tersebut. Sebab, logikanya tidak mungkin kelompok yang diperintahkan tersebut bisa dibentuk, sementara mengajak orang lain untuk bergabung dengan kelompok tersebut tidak boleh. Ini merupakan dalâlah iltizâm dari nash di atas.
Oleh karena itu, mengajak orang pada mazhab atau kelompok Islam tertentu tidak bisa dianggap sebagai bagian dari sikap ‘ashabiyah atau ta’âshub. Hanya saja perlu dicatat, bahwa pembentukan kelompok tersebut bukan merupakan tujuan, melainkan wasilah untuk melaksanakan tujuan, yaitu menyerukan Islam, dan demi amar makruf nahi mungkar. Karena itu pula, mengajak orang untuk bergabung atau masuk di dalam kelompok tersebut juga tidak boleh dijadikan sebagai tujuan utama. Sebab, tujuan utamanya bukanlah itu, melainkan mengajak orang lain pada Islam, baik untuk memeluk Islam maupun menerapkan Islam secara kaffah; selain untuk amar makruf nahi mungkar. Namun, juga harus dicatat, bahwa tanpa adanya wasilah (kelompok) tersebut, tujuan yang dituntut oleh Allah di dalam QS Ali Imran ayat 104 itu juga tidak akan bisa diwujudkan. Pada titik inilah berlaku kaidah:
ماَ لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.
Dengan penegasan Allah, bahwa kelompok tersebut adalah kelompok yang menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar, maka dasarnya harus berupa akidah Islam. Pemikiran, pandangan dan hukum-hukum yang diemban kelompok tersebut juga harus terpancar dari akidah Islam. Semuanya itu kemudian dijadikan sebagai ikatan yang mengikat keanggotaan para anggotanya. Namun, itu saja belum cukup, kelompok tersebut juga harus mempunyai pemimpin yang ditaati oleh para anggotanya.
Dengan demikian, adanya pemikiran, pandangan dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh anggotanya, serta pemimpin yang ditaati, tidak bisa dianggap sebagai sikap ta’âshub. Sebab, semuanya ini masih menjadi bagian dari konsekuensi perintah yang dimaksud oleh nash di atas. Tanpa itu, mustahil perintah tersebut bisa diwujudkan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt. Wallâhu a’lam. []
Catatan Kaki:
- Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Dar al-Fikr, t.t.I/606.
- Muhammad Syamsu al-Haq, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XIV/17.
- As-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibn Majah, Maktabah Syamilah, t.t., VII/318.