Pengantar
Ulama mempunyai peran strategis karena mereka menentukan baik buruknya masyarakat. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Rusaknya masyarakat adalah karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa adalah karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama adalah karena cinta harta dan kedudukan.” (Imam Al-Ghazali, Ihya` Ulumiddin, II/191).
Karena itu, tidak aneh jika banyak kitab yang membahas ihwal ulama, khususnya dalam perannya beramar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. Di antaranya adalah kitab karya Syaikh Abdul Aziz al-Badri, yaitu Al-Islam bayna al-Ulama’ wa al-Hukkam (Ulama Mengoreksi Penguasa). Kitab inilah yang akan ditelaah dalam kesempatan ini.
l-Badri adalah ulama Hizbut Tahrir Irak. Beliau ini juga dikenal dengan karyanya yang lain berjudul Al-Islam Dhamin li al-Hajat al-Asasiyah li Kulli Fard[in] wa Ya’mal li Rafahiyatihi (Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam) (Jakarta: GIP, 1995).
Yang menarik dan sekaligus menggetarkan, al-Badri ternyata tak hanya berjuang dengan lidah dan pena, namun juga dengan totalitas jiwa dan raganya. Apa yang ditulis al-Badri dalam kitabnya Al-Islam bayna al-Ulama’ wa al-Hukkam tidak berhenti sebatas torehan pena di atas kertas. Beliau juga mengamalkan apa yang ditulisnya. Dengan gagah berani beliau mengkritik penguasa Irak yang tengah melancarkan penangkapan terhadap para ulama dan aktivis Islam pada tahun 1969. Al-Badri, yang juga seorang imam masjid dari distrik Dragh kota Baghdad ini, akhirnya gugur sebagai syuhada (insya Allah) karena siksaan brutal rezim Baats pimpinan Saddam Husein. Semua itu hanya karena al-Badri menjalankan tugas sucinya sebagai ulama mengkritik Saddam Husein yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Latar Belakang
Al-Badri melihat bahwa pada masa kejayaan Islam selama sekitar seribu tahun, ulama memegang peran strategis dalam kehidupan. Mereka bagai pelita di tengah kegelapan hidup yang menuntun semua manusia, baik penguasa maupun rakyat biasa. Kerjasama (ta’awun) ulama yang jujur dengan penguasa yang adil telah mengantarkan umat ke puncak kejayaannya (hlm. 12).
Namun, kondisi itu sekarang tidak ada lagi. Ini terjadi sejak tahun 1918 (1326 H) tatkala pemerintahan Islam mulai lalai dalam menjalankan hukum Islam. Saat itu kafir penjajah yang menduduki sebagian wilayah pemerintahan Islam memaksakan hukum Barat yang kufur dalam sistem perdata dan pidana (al-huquq wa al-jaza’). Penguasa pun cenderung berbuat kemungkaran, sementara ulamanya tidak punya keberanian untuk melarangnya (hlm. 20).
Kondisi buruk seperti inilah yang melatarbelakangi al-Badri menulis kitabnya ini. Beliau ingin memperbaiki kondisi yang ada, dengan mengembalikan ulama dan penguasa pada perannya masing-masing secara benar. Penguasa berperan menjalankan syariah Islam secara adil demi kemaslahatan rakyat, bukan menjalankan hukum-hukum Barat yang kufur, sebagaimana kenyataan sekarang (hlm. 48). Lalu ulama berperan sebagai pembimbing agar umat dan penguasa tidak tersesat, bukan hanya diam dan takut kepada penguasa yang menyimpang dari hukum Allah atau menerapkan hukum kufur dari penjajah. Al-Badri tanpa ragu menandaskan, kalau ulama takut kepada sesama manusia, maka keberadaannya di tengah umat sungguh sia-sia belaka. (hlm. 13 & 41).
Di situlah peran penting ulama, yakni berjuang meluruskan penyimpangan penguasa. Dalam kitabnya ini, al-Badri berhasil menjelaskan perjuangan ulama dengan sangat baik, karena al-Badri tidak saja menjelaskannya secara normatif, namun juga secara historis-empiris. Artinya, al-Badri tak sekadar menerangkan ayat atau hadis mengenai tugas ulama mengoreksi penguasa, namun juga menceritakan kisah-kisah nyata bagaimana ulama berhadapan dengan penguasa. Pembaca akan menemukan tebaran kisah teladan yang melukiskan sejarah perjuangan ulama ketika berhadapan dengan penguasa. (hlm. 11). Di antaranya adalah kisah bagaimana ulama mengoreksi penguasa, menjawab pertanyaan penguasa, menyikapi hadiah dari penguasa, dan menghadapi ujian dari penguasa.
Ulama Mengoreksi Penguasa
Suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab membagikan ghanimah berupa kain buatan Yaman. Masing-masing mendapat satu helai secara adil. Namun, ternyata Umar tampak memakai kain tambahan untuk gamis yang dipakainya. Salman al-Farisi menginterupsi Khalifah Umar yang tengah berkhutbah, “Kami tidak akan mendengar dan menaatimu. Dari mana Anda mendapat tambahan kain untuk gamismu?” Khalifah Umar menjawab, “Jangan terburu-buru mencelaku.” Lalu Khalifah Umar memanggil dan bertanya kepada anaknya, Abdullah bin Umar, “Aku bertanya kepadamu, dengan nama Allah, bukankah gamis yang kupakai ini sebagian adalah hadiah darimu?” Abdullah bin Umar berkata, “Benar, ya Amirul Mukminin. Itu adalah bagianku yang kuhadiahkan kepadamu.” Salman pun lalu berkata, “Kalau begitu, lanjutkan khutbah Anda, kami akan mendengar dan menaatimu.” (hlm. 78).
Itulah penggalan kisah teladan bagaimana ulama seharusnya mengoreksi penguasa bila tampak menyimpang di mata rakyat.
Ulama Menjawab Pertanyaan Penguasa
Menjawab pertanyaan penguasa adalah salah satu kewajiban ulama. Ulama tidak boleh menyembunyikan kebenaran karena ini merupakan perbuatan terkutuk. (lihat QS al-Baqarah [2]: 159-160).
Suatu ketika Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pernah memanggil seorang ulama dan berkata kepadanya, “Bicaralah tentang apa saja yang ingin Anda bicarakan!” Setelah memastikan Khalifah akan mendengar ucapannya, ulama itu pun berkata, “ Amirul Mukminin, di sekeliling Anda banyak orang yang sudah menyalahgunakan kekuasaan. Mereka menjual akhiratnya dengan dunia. Namun, mengapa Anda diam saja? Mereka mungkin takut kepada Anda, tetapi tak takut kepada Allah. Ingatlah, sesungguhnya mereka adalah amanah yang dibebankan Allah kepada Anda.” Sulaiman menjawab, “Anda telah mempersiapkan ucapan Anda sebelum bertemu dengan saya. Lidah Anda sungguh tajam melebihi tajamnya pedang yang terhunus.” Ulama itu menjawab, “Memang itulah yang ingin saya katakan kepada Anda.” Sulaiman sebenarnya sangat tersinggung, namun sekaligus sangat terharu dan salut. Dia lalu berterima kasih kepada ulama itu seraya memuji, “Jika ulama sekarang seperti Anda, pastilah segala urusan akan berjalan sesuai hukum Allah.” (hlm. 119-120).
Ulama dan Hadiah Penguasa
Al-Badri menerangkan, para ulama berbeda pendapat mengenai menerima hadiah penguasa. Di antara mereka ada yang menolak, semisal Imam Abu Hanifah, al-Auzai, Fudhail bin Iyadh, Ahmad bin Hanbal, Amru bin Ubaid, Thabari, dan Said bin Musayyab. Alasannya adalah demi menjaga martabat ulama dan menjauhkan diri pengaruh duniawi. Namun, ada pula ulama yang menerima, semisal Imam Hasan al-Bashri, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii dan Imam Ja’far ash-Shadiq. Alasannya adalah, “Karena ulama itu manusia biasa, yang butuh makan dan minum serta keperluan hidup lainnya…” (hlm. 143, 148, 149).
Namun, al-Badri menegaskan, sungguh pun ada ulama yang menerima hadiah penguasa, mereka tidak meninggalkan kewajiban menegakkan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. Jadi, yang menolak dan menerima tetap dalam garis perjuangan yang sama, yakni amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. (hlm. 149). Inilah garis demarkasi yang membedakan mereka dengan sebagian ulama yang terkecoh, baik dulu maupun sekarang. Mereka menerima hadiah dari penguasa, lalu menjilat penguasa dan meninggalkan amar makruf nahi mungkar terhadap mereka.
Imam al-Auzai suatu ketika pernah menasihati Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Setelah itu al-Manshur berkata, “Terima kasih atas segala nasehat Anda. Namun, saya harap Anda mau menerima hadiah dari saya sekadar untuk belanja keluarga Anda.” Imam al-Auzai menolak dengan halus dan berkata, “Saya tidak menginginkan hadiah duniawi. Jika Anda mau mendengarkan nasihatku, itu sudah merupakan hadiah bagiku. Hadiah yang lebih besar lagi akan kita terima nanti dari sisi Allah.” (hlm. 131).
Imam Abu Hanifah pernah akan diberi hadiah oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berupa uang 10 ribu dinar (senilai 42,5 kg emas) dan seorang budak perempuan sebagai hadiah istimewa. Imam Abu Hanifah berkata kepada utusan Khalifah al-Manshur yang membawa hadiah itu, “Sampaikan kepada Amirul Mukminin, masih banyak umat Islam yang menderita, merekalah yang lebih patut menerimanya. Hadiah istimewa itu sudah lama tidak aku inginkan lagi karena aku sudah tua dan lemah.” (hlm. 144).
Ulama Menghadapi Ujian Penguasa
Yang dimaksud ujian di sini adalah siksaan fisik yang ditimpakan oleh penguasa seperti cambukan, pukulan, penjara, atau bahkan pembunuhan. Sejarah Islam telah mencatat dengan tinta cahaya mengenai kegigihan dan keteguhan sejumlah ulama yang tetap menjalankan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa walaupun mengalami siksaan yang sangat pedih. Al-Badri mengisahkan tujuh ulama di antaranya: Imam Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-Syafii, Ahmad bin Hanbal dan Ahmad bin Taimiyah (hlm. 154-192).
Imam Abu Hanifah pernah menolak jabatan qadhi (hakim) yang ditawarkan Khalifah al-Manshur kepadanya. Abu Hanifah mengatakan, “Penolakanku akan jabatan qadhi memang dilematis. Bagaimana mungkin aku akan dapat menegakkan keadilan, sementara kezaliman dan pemerkosaan atas hak rakyat justru dilakukan oleh pihak penguasa. Sudah pasti mereka tidak mau diadili.” Namun, al-Manshur tetap memaksa Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Abu Hanifah tetap tidak mau dan menegaskan sikap penolakannya. “Demi Allah, lebih baik aku ditenggelamkan di Sungai Eufrat daripada aku menerima jabatan qadhi itu!” Wajah al-Manshur pun menjadi merah lantaran marah dan menyimpan kebencian yang membara. Imam Abu Hanifah kemudian disiksa secara kejam. Beliau dipukuli dan dicambuk sebanyak 110 kali, lalu diberi racun yang dicampurkan ke dalam makanannya. Wafatlah kemudian Abu Hanifah lantaran racun itu dalam usia 70 tahun pada 150 H. (hlm. 168-169).
Keunggulan Kitab
Pembaca yang membaca kitab Al-Islam bayna al-’Ulama’ wa al-Hukkam karya Syaikh al-Badri akan dapat merasakan beberapa keunggulan. Antara lain yang menonjol adalah:
1. Penuh kisah teladan yang patut dicontoh.
Inilah kiranya ciri khas kitab al-Badri yang akan segera dapat ditemukan pembacanya. Al-Badri tidak berhenti hanya dengan menerangkan kaidah-kaidah hukum Islam tentang amar makruf nahi mungkar semata, namun segera menyempurnakannya dengan berbagai kisah-kisah nyata dalam sejarah Islam. Kalau kita membaca kitab Al-Badri ini, citarasanya adalah cita rasa sempurna yang merupakan adonan dari citarasa “fikih” yang berbicara tentang norma hukum —khususnya fikih amar makruf nahi mungkar— dicampur dengan citarasa “sejarah” yang berbicara tentang realitas.
Kisah-kisah nyata yang bertaburan itu tiada lain adalah hasil telaah al-Badri yang luas terhadap kitab-kitab sejarah (tarikh), sebagaimana dapat dilihat dari daftar pustakanya. Di sana ada kitab Tarikhul Khulafa’ karya Imam Suyuthi, berbagai kitab tarikh karya Imam Ibnu Katsir, adz-Dzahabi, dan Abul Fida’; termasuk berbagai kitab manaqib (semacam biografi), misalnya manaqib Abu Hanifah, Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Ibnu Taimiyah.
2. Memfokuskan bahasan pada sosok ulama.
Memang, persoalan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan ulama terhadap penguasa sudah banyak dikaji. Banyak kitab seputar tema ini. Namun, fokus pembahasannya bisa berbeda-beda. Ada yang fokusnya adalah institusi atau kelompok yang melakukan amar makruf nahi mungkar, yaitu parpol. Contohnya: kitab Al-Ahzab fi al-Islam (Parpol dalam Islam) karya al-Ja’bah; kitab Masyru’ Qanun al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah (RUU Parpol Khilafah), karya Ziyad Ghazal; atau kitab tentang institusi hisbah dalam negara Khilafah, semisal kitab Al-Hisbah karya Ibnu Taimiyah. Ada yang fokusnya adalah aktivitasnya itu sendiri, yaitu aktivitas amar makruf nahi mungkar. Contohnya: kitab Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar karya Ibnu Taimiyah; kitab Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaw` al-Kitab wa As-Sunnah karya Sulaiman bin Abdurrahman Al-Huqail; kitab Muhasabah al-Hukkam, karya Abdullah Al-Mas’ari; dan buku Accountability in The Khilafah karya Abdul Karim Newell.
Nah, kitab al-Badri ini fokusnya bukanlah pada institusi atau aktivitas, tetapi individu pelaku amar makruf nahi mungkar, yaitu ulama. Kitab yang semacam ini relatif lebih jarang. Kitab lain semisal karya Al-Badri adalah kitab Al-Ulama Hum Ad-Du’ah (Ulama adalah Da’i), karya Nashir bin Abdul Karim al-Aql. Fokus pada sosok ulama inilah yang unik pada karya al-Badri, yang mungkin bertujuan agar gambaran sosok ulama menjadi lebih dekat dalam benak kita, sehingga dapat menginspirasi lahirnya ulama-ulama tangguh di kemudian hari. Wallahu a’lam. [ ]
Daftar Pustaka
Abu Hamid, Al-Ghazali, Ihya‘ Ulumiddin, www.alwarraq.com, Maktabah Syamilah.
Al-Badri, Syaikh Abdul Aziz, Ulama Mengoreksi Penguasa (Al-Islam Baina Al-Ulama wa Al-Hukkam), Penerjemah Salim Muhammad Wakid, (Solo : Pustaka Mantiq), 1991.
Al-Ja’bah, Syaikh Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam (t.tp. : t.p.), tanpa tahun.
Al-Huqail, Sulaiman bin Abdurrahman, Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah, Maktabah Syamilah.
Taimiyah, Ibnu, Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar, (t.t.p : Wuzarah Asy-Syu`un Al-Islamiyah wa Al-Awqah wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad), 1418 H.