Tepat jam 12.01 waktu setempat, Revrisond Baswir, dosen FE UGM yang menjadi anggota delegasi HTI dalam Konferensi Ekonomi Islam Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir di Khartoum, Sudan, pada 3 Januari lalu memulai presentasinya tentang dampak krisis finansial global terhadap ekonomi Indonesia. Dengan pengantar Bahasa Inggris, ia mengawali paparannya dengan mengungkapkan rasa syukurnya bisa hadir memenuhi undangan Panitia untuk berbicara dalam konferensi internasional ini. Jujur ia mengatakan, ini adalah pengalaman pertamanya berbicara di forum besar yang dihadiri banyak orang di luar negeri. Kemudian ia sedikit menjelaskan arti dari nama dirinya Revrisond yang mungkin terdengar asing. Revrisond adalah singkatan dari Revolusi Republik Indonesia Sound yang kira-kira bisa diartikan sebagai, “suara revolusi republik Indonesia”.
Dengan menjelaskan namanya, ia berharap bisa menginspirasi hadirin untuk melakukan revolusi lagi bagi tegaknya peradaban baru berlandaskan Islam. Ungkapan ini kontan disambut dengan teriakan takbir “Allahu Akbar” oleh beberapa peserta yang paham.
Untuk menjelaskan dampak krisi global ini, ia menguraikan secara ringkas sejarah ekonomi Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah selama 350 tahun dijajah Belanda, kemudian Inggris dan Jepang. Selama masa penjajahan, Indonesia bukan hanya terjajah secara politik, tetapi juga secara ekonomi. Jadi, secara struktural, ekonomi Indonesia sesungguhnya adalah struktur ekonomi terjajah. Ketika merdeka, pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno memang pernah mencoba untuk membebaskan Indonesia dari struktur ekonomi penjajah ini. Di antaranya yang menonjol adalah dengan melakukan nasionalisasi perusahaan asing, baik dari Belanda maupun Inggris, juga Amerika Serikat. Namun, langkah Soekarno ini terhenti dengan meletusnya Peristiwa G-30-S PKI, yang banyak pengamat menilai peristiwa ini didalangi oleh CIA.
Setelah itu, ekonomi Indonesia berkembang liberal, mengikuti kehendak AS. Jadi, pada dasarnya, setelah Orde Lama, Indonesia kembali menjadi negera terjajah secara ekonomi. Apalagi setelah era reformasi, liberalisasi makin menjadi-jadi. Nah, dalam keadaan seperti itulah krisis ini terjadi.
Jadi, berbicara tentang dampak krisis terhadap Indonesia, ada dua jenis: dampak langsung dan dampak tidak langsung. Secara langsung dampak krisis yang dialami Indonesia pada dasarnya sama saja dengan negara-negara lain, seperti meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kemunduran ekonomi. Dampak ini dikatakan Revrisond sebagai hal biasa. Yang lebih gawat justru dampak tidak langsung, yakni lahirnya kebijakan ekonomi yang makin liberal akibat tekanan AS terhadap Indonesia untuk membantu mereka keluar dari krisis.
Jika dalam keadaan biasa negara penjajah AS melakukan banyak hal melalui berbagai langkah dan pendekatan yang dilakukan secara biasa pula, maka dalam keadaan krisis ini, ia mengatakan bahwa penjajah AS pasti akan menggunakan ototnya (their muscle) untuk memaksa Indonesia dan negara terjajah lain melakukan sesuatu guna melepaskan AS dari krisis. Ini sudah terjadi, misalnya dia sebut, dibuatnya SKB 3 Menteri tentang upah buruh, liberalisasi pendidikan dan sebagainya. Karenanya, katanya di dalam kata penutupnya, rakyat Indonesia harus mampu melakukan perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan yang kedua. Dengan heroik dan bersemangat Revrisond meminta hadirin untuk mendoakan agar rakyat Indonesia bisa melakukan hal itu.
Presentasi diakhiri jam 12.22, tepat 20 menit dari waktu yang disediakan. Tentu ini waktu yang sangat singkat dibanding dengan waktu yang diperlukan untuk datang ke tempat acara ini. Dalam keadaan normal diperlukan sekitar 18 jam untuk terbang dari Jakarta sampai Khartoum. Jika dihitung dari Yogjakarta, kota tempat ia tinggal, tentu lebih lagi. Mungkin jika ditotal bisa mencapai 30 jam. Padahal, di konferensi ini ia berbicara hanya 20 menit. Jika dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk datang ke tempat acara ini tentu menjadi tampak sangat tidak efisien. Belum lagi dana besar yang harus dikeluarkan untuk tiket dan lainnya, maka secara ekonomi juga menjadi tampak sangat mahal.
Bukan hanya Revrisond Baswir, hal serupa juga terjadi pada pembicara lain dari Pakistan, Yaman, Turki, Kanada, Inggris dan lainnya. Namun, semua itu menjadi tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kesadaran yang insya Allah bakal timbul bagi hadirin yang mengikuti konferensi ini, juga bagi umat Islam di seluruh dunia. Kesadaran itu ialah bahwa Kapitalisme dan sekularisme memang tidak menghasilkan apa-apa kecuali kehancuran, kesengsaraan, dan kebobrokan; juga bahwa masa depan tidak lain adalah kemuliaan di bawah sistem ekonomi Islam di bawah naungan negara Khilafah.
Jadi, kesadaran memang mahal. Itulah langkah kongkrit yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, yakni membangun kesadaran umat Islam di seluruh dunia. Jadi, siapa bilang Hizbut Tahrir cuma omong doang, no action talk only? [Laporan Jubir HTI dan M. Shiddiq al-Jawi dari Khartoum, Sudan]