Tahun 2009 bagi bangsa Indonesia ke depan menjadi ajang pertarungan partai dan elit politik. Eforia demokrasi berdengung hampir di seluruh lini kehidupan partai politik dan elit politik. Namun, di sisi lain masyarakat Indonesia dimana-mana, terutama rakyat bawah dan menengah, semakin sesak dengan himpitan ekonomi yang telah menggurita.
Pengalaman, kata pepatah, merupakan guru yang sangat berharga. Pengalaman yang sangat berharga yang seharusnya dijadikan pegangan bagi partai politik dan elit politik adalah semakin memburuknya kehidupan rakyat. Setiap kampanye partai politik dan elit politik selalu menjadikan isu-isu pendidikan gratis, sembako murah, kesempatan kerja, kesejahteraan sebagai janji-janji politiknya. Namun kenyataannya, semakin banyak janji yang diberikan semakin banyak pula yang dilupakan ketika sang partai dan elit politiknya menjadi pemenang.
Hasil survei yang dilakukan oleh berbargai lembaga survei justru menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan terhadap partai politik yang ada. Bahkan dalam ajang Pilkada di hampir seluruh daerah menunjukkan angka golput alias tidak memilih mendekati angka 50% terutama di daerah Jawa Timur. Masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji politik. Mereka pun semakin sadar bahwa Pemilu yang telah dilakukan berkali-kali di negeri ini tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Justru mereka semakin terpuruk dan menderita.
Masyarakat sudah mulai cerdas bahwa Pemilu hanya menjadi ajang permainan para elit politik untuk mencari kekayaan masing-masing. Para elit itu sampai rela mengeluarkan uang bermiliar-miliar rupiah hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Rakyat melihat bahwa calon yang dipilihnya ternyata hanya mementingkan kepentingan partai politiknya. Karena itu, rakyat mulai mencari alternatif partai politik dan elit politik yang betul-betul sejati untuk memperjuangkan rakyat.
Alhamdulillah, Hizbut Tahrir Indonesia berada di tengah-tengah ketidakpercayaan terhadap partai politik termasuk elit politik yang ada saat ini. Hizbut Tahrir muncul sebagai suatu gerakan ideologis yang menjadi alternatif dan tumpuan harapan untuk memperbaiki keadaan umat. Gerakan ideologis ini tidak terperangkap dan tertipu dengan sistem demokrasi yang melahirkan partai politik dan elit politik yang semu, yang alih-alih memperjuangkan rakyat, mereka justru memperparah keadaan rakyat.
Pelajaran demi pelajaran telah dialami bangsa ini. Puluhan tahun kita telah merasakan eforia demokrasi beserta turunannya, termasuk Pemilu. Namun, semua itu hanya melahirkan kekacauan. Karena itu, sudah seharusnya negeri dan rakyat ini segera meninggalkan sistem demokrasi yang melahirkan partai politik dan elit politik yang semu, sembari mencari dan bergabung dengan partai politik dan elit politik yang sejati memperjuangkan rakyat, yang berjuang dengan ikhlas hanya demi meraih ridha Allah Swt., yang tidak terjebak dengan kepentingan sesaat, kepentingan para kapitalis. Kepentingan yang diperjuangkannya hanyalah kepentingan ideologis, yakni akidah islamiyah, dengan menegakkah Khilafah Islamiyah. Wallâhu a’lam bi shawâb. [Drs. Abrar, M.Si., Ak.; Pembantu Dekan I Fekon Universitas Islam Riau]
Dana yang dikeluarkan dalam setiap Pemilu sejak tahun 1955 hingga saat ini sangat besar. Tapi pada kenyataannya hasil dari “Pesta Demokrasi” terhadap kemaslahatan rakyat tidak ada, malah ada tren degradasi, seperti sulitnya pemenuhan kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Terbukti Demokrasi-Sekuler adl sebuah sistem yang mahal tapi tidak membawa hasil apa-apa bahkan merusak serta membawa mudlarat bagi bangsa ini. Inilah saatnya kita kembali kepada sebuah sistem yang haq dan murah, sebuah sistem yang membawa perubahan ke arah kebaikan, dan itu adl sistem Islam (Khilafah). Mari kita tanggalkan Demokrasi Sekular ini dan kembali ke Khilafah ala Minhaj an Nubuwah.
rakyat sudah bosan dengan janji. Apalagi ketika elit politik merambah ke sektor publik dengan menjamurnya iklan-iklan parpol di televisi. Semakin membuktikan bahwa mereka tidak hanya menginginkan jabatan saja tetapi juga popularitas. Kini, para elit politikpun bermain di ranah entertainment, bukan lagi dalam tataran debat terbuka yang notabene mengeksplor kecerdasan mereka dalam menangani masalah masyarakat. Apakah hal ini membuktikan menurunnya kapabilitas dan kredibilitas mereka sebagai pengurus masyarakat??? Wallahualam
Bullshit dengan pemilu!!!
buang buang uang negara aja.
lebih baik dibelikan kebutuhan pokok daripada dibelikan kertas n kaleng karupuk u/ tempat nyoblos.
n lagi, para caleg kayanya pada mata duitan …
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setiap pilihan itu ada konsekwensinya, iya kan? Memilih ada konsekwensinya, dan tidak memilih pun ada konsekwensinya. Menurut saya, lebih baik memilih karena dengan memilih kita sudah mengamalkan suatu sifat baik sangka dengan orang lain ( Caleg bersangkutan ) dan juga dari berapa banyak orang yang mencalon kan dirinya menjadi anggota dewan (mungkin) masih ada orang punya niat yang tulus untuk mencoba memberi warna (tentunya yang baik) terhadap masa depan bangsa ini. Tentunya kita harus bangga dengan negara kita ini seperti halnya kita bangga dengan anak kita sekalipun anak kita sampai saat ini tak pernah membalas kebaikan kita (sedikitpun). Siapa lagi yang akan bangga dengan Indonesia ini kalau tidak kita sendiri selaku orang yang mengais rejeki di negeri ini. Marilah dari sekarang kita memikirkan siapa orang yang kita anggap baik yang mampu menyuarakan aspirasi yang baik (bukan aspirasi kita saja) dan kita milih dia sebagai andalan kita. Selamat memilih….. (FA IZA AZAMTA, PATAWAKKAL ALALLAH) Apabila Engkau Telah Yakin (dengan pilihanmu) maka serahkan semuanya kepada Allah.
Wassalam
SEMANGAT ISLAM !!!