Gambaran sikap keagamaan masyarakat Keraton Surakarta yang lebih menekankan pada ajaran syariah juga diberikan oleh Serat Cabolek.1Serat Cabolek juga merupakan karya dari Kyai Yasadipura I dan ditulis sejaman denga Serat Centini. Dengan mengambil latar belakang Kerajaan Mataram Kartasura masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya Sunan Paku Buwana II (1729-1749), Serat Cabolek bercerita tentang kisah Haji Ahmad Mutamakin dari Desa Cabolek, Tuban (ada yang menyebut berasal dari Pati) yang diadili oleh Ulama Mataram karena sikap keagamaannya.
Syaikh Haji Ahmad al-Mutamakin mengaku dirinya telah mencapai ilmu hakekat atau ilmu kasunyatan. Dia juga menyatakan diri sebagai Muhammad, nabi umat Islam, dan dalam khutbah-khutbahnya dia menganjurkan untuk meninggalkan ajaran syariah Islam (hukum Islam).
Tentu saja sikap keagamaan yang ditunjukkan oleh Haji Mutamakin menggemparkan ulama-ulama Islam di Mataram. Akhirnya, para ulama sepakat untuk melaporkan sikap keagamaan Haji Mutamakin ini kepada Mataram. Melalui patih Kerajaan, para ulama mengajukan tuntutan kepada Raja Mataram, Sunan Amangkurat IV, agar Haji Mutamakin dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Hanya saja, sebelum kasus ini ditangani, Sunan Amangkurat IV secara mendadak meninggal dunia sehingga keputusan hukuman ditunda sampai raja pengganti diangkat.
Namun, Sunan Paku Buwana II sebagai raja Mataram menggantikan Sunan Amangkurat IV, ternyata memiliki pendapat yang berbeda dengan para ulama karena raja baru ini menolak tuntutan ulama untuk menghukum Haji Mutamakin. Keputusan Raja mendapat penentangan dari Ketib (Khotib) Anom Kudus, yang berusaha mempertahankan tuntutan mereka. Ketib Anom Kudus mengatakan bahwa Haji Mutamakin merupakan ancaman bagi ketertiban umum, raja dan negara karena telah melanggar sendi-sendi agama Islam. Raja sebagai jantung negara sudah sepantasnya mengambil tindakan tegas pada tokoh pembangkang ini.
Ketib Anom Kudus mengingatkan masalah keputusan ini dengan cara memberikan beberapa contoh sejarah pembangkangan penganut mistik Jawa yang pernah dihukum mati oleh penguasa, seperti Seh (Syaikh) Siti Jenar dipenggal kepalanya di Giri, Sunan Panggung di bakar hidup-hidup di Demak, Ki Baghdad dimasukkan dalam sungai oleh Sultan Pajang, dan Seh (Syaikh) Among Raga ditenggelamkan ke Laut Selatan oleh Sultan Agung.
Serat Cabolek dapat dikategorikan sebagai Sastra Suluk (keagamaan). Namun, yang menarik untuk diungkap dalam tulisan ini bukanlah persoalan ajaran mistik Jawa, melainkan bagaimana sikap raja dan priyayi Keraton terhadap agama Islam. Sikap seperti ini dapat dilihat dalam pandangan mereka terhadap para ulama dan santri pada umumnya.
Keberpihakan para kiai terhadap golongan ulama yang tetap menjalankan syariah merupakan pertanda adanya hubungan baik di antara keduanya. Serat Cabolek memandang kedua golongan ini dalam derajat yang tidak sama. Raden Demang Urawan, ketika berbicara di hadapan ulama, menyatakan bahwa seorang bupati tidak lebih baik daripada seorang ulama. Bahkan ulama dapat dipandang lebih mulia daripada bupati. Itulah sebabnya raja dan priyayi dan Kerajaan harus menghormati ulama.2
Pandangan yang positif terhadap ulama diimbangi dengan gambaran yang sama terhadap priyayi. Raden Demang Urawan ketika menjelaskan posisi pejabat Kerajaan menyitir sebuah hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, “Satu jam yang digunakan oleh raja yang adil untuk melayani rakyatnya, sama ganjarannya dengan enam puluh kali ibadah haji ke Mekah.”3
Dari pernyataan tentang posisi kiai dan priyayi menunjukkan bahwa awal Abad XIX tidak terdapat pertentangan yang tajam antara kiai dan priyayi sehingga kedua elit politik ini saling menghormati. Di samping itu, secara realitas sosial, kiai masih memiliki rasa persatuan dan tetap memegang etika yang sama meskipun di antara mereka ada yang menjadi pejabat birokrasi dan ada pula yang di luarnya (kiai bebas). Bahkan antara kiai yang mempunyai kecenderungan mistik dan sinkretik dengan kiai yang mempraktikkan ajaran Islam yang lebih murni (ortodoks) hampir tidak pernah terjadi konflik secara terbuka.4 Gambaran tokoh Ketib Anom Kudus yang menguasai kitab Islam berbahasa Arab dan kitab Jawa Kawi haruslah dipandang kiai ideal pada masa itu karena mampu memadukan wajah Islam di Jawa, yaitu Islam mistik dan Islam syariah (ortodoks).
Bertolak dari Serat Centini dan Serat Cabolek di atas memang tampak adanya usaha untuk memasukkan ajaran Islam syariah (Islam yang lebih murni) ke dalam masyarakat Keraton. Usaha seperti ini didukung semakin banyaknya abdi dalem Keraton yang melaksanakan ibadah haji,5 sehingga ketika kembali ke Jawa sikap keagamaan yang dipraktikkan menjadi murni (ortodok). Sunan Paku Buwana IV sendiri terkenal sebagai raja yang taat menjalankan syariah agama dan mempunyai hubungan yang akrab dengan kiai dan haji. Adanya keakraban hubungan dengan kiai dan haji menjadikan penguasa kolonial selalu menyoroti dan mengawasi Raja Surakarta. Ketika Gubernur Thomas S Reffles akan mengunjungi Keraton Kasunanan pada tahun 1812, Residen Surakarta membuat daftar ulama dan haji di Surakarta yang diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan Sunan. Dari pendataan ini tercatat 51 ulama dan 24 haji yang perlu mendapatkan perhatian karena dekatnya hubungan dengan Sunan.6
Catatan kaki:
- Kajian S. Soebardi, The Book of Cabolek, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1975); Serat Cabolek, Alih aksara Sudibyo Z, Hadisutjipto, Terjemahan T.W.K. Hadisuprapto, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1981).
- Ibid. hlm. 89-90.
- Abdul Qayyum, Surat-surat Al-Ghazali kepada Para Penguasa, Pejabat Negara, dan Ulama Sejamannya, (Bandung: Penerbit Mizan, 1983), hlm. 31.
- Koentowidjoyo, Paradigma Islam: Intepretasi Untuk Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991), hlm. 136.
- Lihat P.B.R. Carey, The Archiveof Yogyakarta, Volume I, (oxford University, 1980), hlm. 172.
- Lihat Surat Residen Surakarta, Kolonel Adams kepada Raffles tertanggal 17 Juni 1812., Bendel Surakarta, No. 28.