Pengantar
Sebagaimana diketahui, intisari dari solusi yang ditawarkan dalam Konferensi Ekonomi Islam Internasional di Sudan—yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir pada hari Sabtu tanggal 7 Muharram 1430 H atau 3 Januari 2009—tidak lain adalah keniscayaan Sistem Ekonomi Islam untuk diterapkan. Berikut ini adalah butir-butir pemikiran Sistem Ekonomi Islam secara global, yang dipaparkan dalam konferensi tersebut.
Sistem Kapitalisme telah gagal. Para kapitalis juga gagal menemukan obat mujarab yang menyembuhkan. Pasalnya, sistem Kapitalisme secara inheren mengandung sebab-sebab kegagalannya, sekaligus bisa melahirkan krisis demi krisis. Jadi, akar penyakitnya ada pada dasar-dasar sistem Kapitalisme itu sendiri, sementara mereka hanya mengobati gejala dan dampak krisisnya saja. Hal itu karena mereka membatasi pandangannya hanya pada dua sistem: Sosialisme-Komunisme dan Kapitalisme. Mereka membandingkan keduanya. Lalu mereka menyimpulkan bahwa Sistem Kapitalisme masih lebih baik daripada Sosialisme-Komunisme yang telah runtuh, dan tidak ada alternatif lain.
Seandainya mereka mempelajari masalah ini secara obyektif, meski tidak mengimani Islam, mereka pasti akan menemukan bahwa Sistem Ekonomi Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjamin kehidupan ekonomi yang adil, aman dan bebas dari krisis. Hal itu karena Sistem Ekonomi Islam yang agung telah dirancang oleh Allah Swt., Zat Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.
Paparan garis-garis besar politik ekonomi Islam berikut kiranya cukup untuk menjelaskan hakikat tersebut.
Politik Ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang mengatur berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut kemampuan-nya, dengan memandangnya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Politik ekonomi Islam tidak lain merupakan solusi bagi masalah-masalah mendasar bagi setiap individu dengan memandangnya sebagai manusia yang hidup sesuai dengan pola interaksi tertentu, serta memberikan peluang kepadanya untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mewujudkan kemakmuran bagi dirinya di dalam cara hidup yang khas.
Ketika Islam mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi manusia, maka itu ditujukan untuk individu. Pada saat yang sama, Islam menjamin hak hidup dan mewujudkan kemakmuran. Islam menetapkan hal itu direalisasikan di dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Oleh karena itu, syariah memberikan hukum-hukum yang menjadi mekanisme yang menjamin terwujudnya pemuasan seluruh kebutuhan pokok secara menyeluruh bagi setiap individu rakyat. Mekanisme itu sebagai berikut:
- Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan orang yang wajib dia nafkahi (QS 67: 15).
- Islam mewajibkan para ayah untuk menanggung nafkah. Jika ayah tidak mampu maka kewajiban beralih kepada ahli warisnya (QS 2: 233).
- Jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah mereka, Islam mewajibkannya atas Baitul Mal. Dengan mekanisme ini, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok—yaitu kebutuhan pangan, papan dan sandang—bagi setiap individu, perindividu.
Di samping itu, Islam telah mendorong umat untuk bekerjasama di antara mereka. Rasulullah saw. telah bersabda:
أَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيْهِمْ اِمْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi, sementara di tengah-tengah mereka terdapat orang yang kelaparan, maka jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas dari mereka.
Kemudian Islam mendorong individu itu bekerja dan menikmati kekayaan yang dia peroleh (QS 5: 88; 67: 15). Hal itu untuk merealisasikan kemajuan ekonomi di negeri tersebut, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi tiap-tiap individu, serta memberi peluang individu itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya.
Untuk itu, Islam tidak memperumit cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan harta itu. Islam menetapkannya dengan sangat sederhana, yakni dengan membatasi sebab-sebab kepemilikan dan membatasi akad-akad dalam pertukaran kepemilikan. Islam membiarkan manusia untuk berkreasi dalam hal cara dan sarana yang digunakan untuk memperoleh harta; Islam tidak ikut campur dalam teknik produksi harta.
Pandangan Islam Terhadap Harta
Sesungguhnya harta adalah alat untuk tiga tujuan: tabungan (iddikhâr), belanja (infâq), dan sirkulasi (tadâwul).
Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi masing-masing peruntukan harta itu yang menjamin harta tetap sebagai pelayan manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan manfaat kepada orang lain; bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan pelayan harta yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hukum tabungan (iddikhâr), seseorang boleh menabung mengumpulkan biaya untuk keperluannya. Namun, atas harta tabungan harus ditunaikan zakatnya setelah berlalu satu haul dan telah mencapai nishâb zakat. Adapun menabung hanya sekadar untuk menabung, menimbun dan menghimpunnya saja adalah haram (QS 9: 34).
Mengenai belanja (infâq), Islam menetapkan mana pembelanjaan yang wajib, yang sunah, mubah, makruh dan yang haram.
Adapun masalah sirkulasi (tadâwul), Islam telah mengaturnya melalui dua aspek:
- Islam menetapkan uang dan membatasinya dengan emas dan perak, bukan yang lain.
- Islam menjelaskan berbagai muamalah syar’i yang sah, seperti hukum-hukum perseroan (syirkah), akad sewa dan tenaga kerja (ijârah), perdagangan (tijârah), pertanian, mengairi kebun (musâqah), jual-beli, pesanan (salam), penukaran uang (sharf), wakalah, dan seterusnya. Islam juga menetapkan bahwa industri mengikuti hukum barang yang diproduksi.
Pandangan Islam Terhadap Uang
Islam telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang. Islam telah menetapkan hanya emas dan perak saja yang menjadi standar mata uang untuk mengukur barang dan jasa. Berdasarkan asas emas dan perak berlangsung semua bentuk muamalah. Islam menetapkan standar untuk uang emas (dinar) dan perak (dirham): 1 dinar=4,25 gram emas murni dan 1 dirham=2,975 gram perak murni.
Pengharaman Riba Secara Keras
Nash-nash syariah telah mengharamkan riba dengan sangat keras. Nash-nash itu bersifat qath’i ats-tsubût (pasti sumbernya) dan qath’i ad-dilâlah (pasti pengertiannya), tidak menyisakan ruang bagi ijtihad atau penakwilan (QS 2: 275–279).
Karena itu, sistem keuangan di negara Khilafah tidak mengenal bank dan lembaga kredit ribawi yang sudah masyhur di dalam Kapitalisme. Ketiadaan lembaga ribawi ini memiliki tiga dimensi dalam menjamin kehidupan perekonomian yang aman:
- Mengarahkan fokus masyarakat pada ekonomi produktif atau sektor riil.
- Melindungi kaum Muslim dan ahl adz-dzimmah dari kerugian harta mereka karena riba.
- Tidak akan memunculkan fenomena kebangkrutan, sebagaimana terlihat pada bank-bank kapitalis, dan menyisakan kelompok besar orang yang kehilangan harta mereka atau rekening mereka menguap. Dengan menghalangi sistem riba dan mengharamkannya secara keras dan tegas, Islam telah menutup celah-celah yang memungkinkan masuknya krisis keuangan. Dengan itu kehidupan kaum Muslim akan tetap aman, kokoh dan kuat terhadap krisis.
Selain itu, Islam mendorong kaum Muslim untuk saling memberi utang di antara mereka. Lebih dari itu, di antara tugas berbagai institusi (direktorat) di negara Khilafah adalah menyediakan kredit tanpa riba dalam sektor pertanian, perdagangan dan industri, dalam kerangka program negara untuk mengembangkan perekonomian dan menjalankan berbagai kebijakannya untuk memerangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan menjamin produksi barang.
Distribusi dan Kepemilikan Harta
Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam mencakup sebuah pemahaman yang unik, yaitu kepemilikan umum. Islam menetapkan kepemilikan dalam negara Khilafah ada tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup:
1. Harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti sungai, danau, laut, dsb.
2. Apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan, masjid, dsb; termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ الْمَاءِ، وَالْكَلأَِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta: air, padang gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah seluruh jenis energi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin, dan transportasi. Demikian pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar dan industri batubara. Semua itu adalah kepemilikan umum.
3. Barang tambang yang depositnya banyak dan tidak terputus; baik yang berbentuk padat, cair maupun gas; baik tambang dipermukaan maupun di dalam perut bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusiannya. Negara Khilafah-lah yang menjamin hak setiap rakyat untuk menikmati haknya dalam kepemilikan umum tersebut. Negara Khilafah mendistribusikan hasil bersihnya, setelah dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk zatnya dan atau dalam bentuk pelayanan kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan negara ada pada harta yang hak pengelolaannya berada di tangan Khalifah sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, seperti harta fai’, kharâj serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya, dengan syarat syariah memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah mengelola kepemilikan negara sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan rakyat. Misal: untuk menciptakan keseimbangan finansial di tengah masyarakat sehingga harta itu tidak hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja (QS 59: 7). Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja dan tidak memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum. Kepemilikan individu itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya. Tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun. Nasionalisasi, yaitu penguasaan negara terhadap kepemilikan individu, merupakan bentuk perampasan dan merupakan dosa besar.
Bursa dan pandangan Islam Terhadapnya
Pasar modal dan bursa berjangka komoditas dalam sistem Kapitalisme berperan penting seperti riba dalam mengkonsentrasikan kekayaan pada tangan segelintir orang. Lebih dari itu, bursa juga menghalangi sirkulasi harta di sektor riil, dan mengubahnya menjadi per-ekonomian angka dan kertas (ekonomi non-riil).
Dalam pandangan Islam, pasar jual beli harus diatur dengan hukum syariah yang menjamin tidak adanya konflik dan tidak adanya aktivitas memakan harta dengan jalan yang batil. Di antara hukum-hukum itu adalah:
- Melarang penjualan barang yang belum dimiliki oleh penjual dan belum berada di bawah kuasanya seperti yang terjadi dalam bursa berjangka komoditas.
- Melarang tanâjusy atau spekulasi, yaitu menaikkan tawaran bukan untuk membeli, tetapi hanya untuk menaikkan harga jual.
- Melarang jual-beli enam jenis komoditas ribawi (emas dan perak [termasuk uang], gandum, jewawut, kurma, dan garam) tanpa serah-terima secara langsung dalam jual-beli antar jenis yang berbeda; dan tanpa serah-terima langsung dan kesamaan jumlah dalam jual pada jenis yang sama.
- Melarang sirkulasi saham karena perseroan terbatas (PT) dan sahamnya adalah batil (tidak sah). Saham itu merupakan surat berharga yang mengandung campuran antara sejumlah modal yang halal dan keuntungan yang haram, dalam satu akad yang batil dan muamalah yang batil, tanpa bisa dibedakan antara harta yang halal dan yang haram. Syariah Islam juga melarang sirkulasi dan jual-beli obligasi (bonds). Sebab, obligasi merupakan surat utang yang diinvestasikan dengan riba. Apalagi ada keharaman jual-beli utang dengan utang. Sirkulasi dan jual beli seluruh surat berharga ribawi juga dilarang.
Walhasil, pasar jual-beli dalam Islam merealisasikan perdagangan yang halal, aman serta bebas dari krisis, konflik, spekulasi, gambling, dan penipuan. Pasar dalam Islam merupakan pasar yang bersih yang senantiasa memperhatikan hukum-hukum syariah dalam sirkulasi harta.
Pengaturan Perekonomian oleh Negara
Negara wajib menjamin penciptaan lapangan kerja bagi setiap warga negara. Orang miskin yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya, begitu pula orang fakir yang mampu bekerja tetapi tidak menemukan pekerjaan, sementara ia tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya, maka nafkah mereka ini menjadi kewajiban negara.
Jadi, bagi orang yang mampu, negara bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja. Bagi orang yang tidak mampu, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan mereka dari harta Baitul Mal. Hukum-hukum ini mencakup pula kaum dzimmi yang tinggal di Dâr al-Islâm. Mereka diberi hak yang sama sebagai rakyat dan warganegara. Mereka berhak mendapatkan pemeliharaan berbagai urusan mereka dan jaminan kehidupan mereka sebagaimana yang dinikmati kaum Muslim.
Akuntabilitas Aparatur Negara atas Harta yang Mereka Miliki Secara Ilegal
Sesungguhnya negara Khilafah tidak memberikan ruang sedikitpun kepada pejabat dan para pegawainya untuk memanfaatkan jabatan mereka secara ekonomi. Sebaliknya, negara Khilafah akan menjalankan muhâsabah (akuntabilitas) kepada mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Rasululah saw. bersabda:
مَنْ اِسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقَنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدٍ، فَهُوَ غُلُوْلٌ
Siapa saja yang kami pekerjakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan telah kami tetapkan upahnya maka apa yang ia ambil selain itu adalah haram.
Sesungguhnya para pegawai melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas mereka pertama-tama karena dorongan ketakwaan. Kemudian karena dorongan hukum-hukum syariah yang mewajibkan muhâsabah kepada mereka secara adil yang menjamin pemeliharaan harta umat dan menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan harta tersebut.
Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Lembaga-lembaga kontrol akan menjamin lurusnya sistem ekonomi menurut arahan yang telah dijelaskan dalam syariah. Lembaga-lembaga kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam dapat diringkas sebagai berikut:
- Kekuasaan al-Hisbah (wilâyah al-hisbah). Al-Muhtasib (hakim hisbah) melakukan kontrol terhadap pasar, timbangan, takaran, dan penipuan di pasar dan tempat-tempat umum serta memonitor berbagai pelanggaran lainnya.
- Kekuasaan peradilan (wilâyah al-qadhâ’). Peradilan menyelesaikan semua perselisihan, termasuk perselisihan finansial dan ekonomi, yang kadang muncul dalam muamalah keseharian masyarakat.
- Berbagai biro (diwân), yaitu berbagai alat untuk mengontrol dan mengaudit aliran harta di Baitul Mal yang terkait dengan harta zakat, harta negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro tersebut menangani kontrol terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap aliran harta terjadi pada tempatnya secara benar.
- Kekuasaan Mazhalim (wilâyah al-mazhâlim). Mazhâlim menangani pengaduan yang diajukan melawan penguasa jika mereka melakukan kezaliman terhadap rakyat dalam segala kebijakan di segala bidang, termasuk kebijakan finansial dan ekonomi.
Itulah secara ringkas garis-garis besar politik ekonomi Islam itu. Sesungguhnya penerapan sistem ini di dalam negara Khilafah tidak akan berubah dan berganti menurut perubahan pemikiran dan selera penguasa. Dengan pelaksanaan semua politik ekonomi Islam di atas, Sistem Ekonomi Islam ini benar-benar merupakan satu-satunya sistem yang mampu menjamin kehidupan ekonomi yang aman, adil, dan bebas dari krisis. Jaminan itu diberikan serta akan dinikmati oleh seluruh rakyat dan warga negara meski mereka berbeda-beda bangsa, agama, dan ras.
WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
[Disarikan dari makalah Jubir HT Sudan, Ibrahim utsman Abu Khalil, an-Nizhâ al-Iqtishâdî al-Islâmî fî Dawlah al-Khilâfah huwa wahdah al-Qâdir ‘ala Tawfîr al-Hayah al-Iqtishâdiyah al-آdilah al-Khâliyah min al-Azamât, KEI, Khartoum, 3/01/09]