HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Kilas Balik 2008: Dunia Islam Masih Dijajah

Pengantar

Tahun 2008 sudah berakhir. Tidak ada perubahan yang berarti dalam politik luar negeri Indonesia dan Dunia Islam. Secara garis besar, Dunia Islam masih dalam cengkeraman dominasi dan penjajahan Amerika Serikat dan sekutunya. Kuatnya penjajahan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap penguasa negeri-negeri Islam yang tunduk pada Barat. Tidak aneh kalau agenda politik luar negeri mereka sesungguhnya di-setting sesuai dengan versi AS. Di Indonesia, hal ini tampak dari intervensi asing, terutama AS, yang masih menonjol dalam kasus disintegrasi Papua, Aceh, Namru, kerjasama KPK-FBI, termasuk agenda perang melawan terorisme.

Dunia Islam masih menjadi obyek penjajahan. Penjajahan dan intervensi asing di Irak, Palestina, Afganistan, Pakistan dan Sudan telah menimbulkan penderitaan kaum Muslim yang tak terperikan. Tangis dan darah kaum Muslim masih mengucur di Dunia Islam selama tahun 2008 akibat kebengisan penjajahan negara-negara kolonial.


Politik Luar Negeri Indonesia

1. Disintegrasi Papua dan Aceh.

Hubungan luar negeri masih ditandai dengan dominasi Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya terhadap Indonesia. Mereka, langsung atau tidak langsung, mendukung disintegrasi beberapa kawasan strategis Indonesia, terutama Papua dan Aceh.

Dengan dalih penghormatan pada kebebasan berpendapat, 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) meminta agar Presiden membebaskan tanpa syarat dua tokoh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage dari hukuman. Surat itu merupakan bukti yang sangat nyata bukan hanya tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia, tetapi juga adanya dukungan terhadap gerakan separatis OPM. Di sisi lain, Pemerintah terlampau memberikan jalan kepada negara asing dan LSM internasional untuk menyelesaikan persoalan Aceh. Ini jelas berbahaya.


2. Tunduk pada Agenda AS.

Ketundukan Indonesia terhadap AS dan Sekutunya sangat jelas terlihat dalam agenda perang melawan terorisme (war on terrorism/WOT). Dilihat dari target WOT, stigma negatif terhadap Islam dan kelompok Islam tampak menonjol seperti penggunaan istilah jamaah islamiyah dan jihad yang sering dikaitkan dengan kelompok al-Qaida. Paling banyak diawasi, dicurigai bahkan diburu sebagai pelaku adalah umat Islam atau kelompok Islam yang dianggap pernah terlibat berjihad dalam Perang Afganistan, Thailand Selatan (Pattani), Philipina Selatan (Moro), atau mereka yang pernah ikut membela umat Islam dalam konflik Ambon dan Poso.

Pemerintah Indonesia sepertinya enggan mengungkap siapa sebenarnya master mind dari berbagai peledakan di Indonesia. Dalam kasus Bom Bali, misalnya, Amrozi dan kawan-kawan yang telah dihukum mati memang mengakui telah menyiapkan bom. Namun, benarkah bom yang sangat besar itu benar-benar dibuat oleh Amrozi dan kawan-kawan? Keraguan semacam ini akan terus ada mengingat banyak sekali fakta-fakta yang sangat gamblang yang menunjukkan tentang kemungkinan adanya bom yang sengaja ditumpangkan oleh pihak lain.

Hal ini menimbulkan kesan kuat bahwa terorisme yang selama ini terjadi adalah fabricated terrorism atau terorisme yang diciptakan. Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada apa yang disebut dengan kampanye war on terrorism yang didengungkan AS karena kampanye ini hanyalah kedok (mask) untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni War on Islam.


3. Namru-2 Masih Bercokol di Jantung Ibukota.

Kelemahan Indonesia menghadapi AS juga terlihat dalam kasus unit penelitian medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Unit 2/Namru-2). Polemik tentang keberlangsungan laboratorium Namru-2 di Indonesia belum berakhir. Padahal Menteri Kesehatan sudah berulang-ulang menyatakan proyek kerjasama dengan Angkatan Laut AS tak bermanfaat dan harus dihentikan. Menristek Kusmayanto Kadiman juga telah meminta Namru-2 dibekukan. Namun, Namru tetap berdiri tegak.

Ngototnya pemerintah AS untuk mempertahankan Namru, termasuk meminta 20 stafnya diberikan kekebalan diplomatik, tentu menjadi pertanyaan, sekaligus semakin menegaskan bahwa unit ini lebih banyak untuk kepentingan negara adidaya itu. Diketahui, Namru-2 diberi banyak kelonggaran, termasuk kekebalan diplomatik untuk stafnya guna memasuki seluruh wilayah Indonesia. Padahal Namru-2 bukan bagian dari kegiatan diplomasi.

Diduga, Namru-2 juga melakukan kegiatan intelijen; mengumpulkan data dan informasi tentang penyakit, terutama penyakit menular dan berbahaya, yang sangat penting bagi AS, khususnya militernya. Lewat Namru, spesimen virus dan penyakit menular berbahaya yang ada di Indonesia bisa dibuat untuk berbagai kepentingan termasuk senjata biologis. Kemungkinan dimanfaatkan untuk kepentingan senjata biologis tentu ada dan tidak bisa dikesampingkan. Yang jelas, berlarut-larut dan terkesan begitu sulitnya memutuskan penghentian Namru-2 semakin menguatkan dugaan bahwa Pemerintah, termasuk kalangan di DPR, seolah tunduk pada tekanan asing (AS).


4. Kerjasama KPK-FBI yang Mengancam.

Ketika isu terorisme belum reda, publik Indonesia dikejutkan dengan kerjasama KPK dan FBI (Federal Bureau of Investigation) dalam proyek yang disebut ‘Pemberantasan Korupsi’. Kerjasama itu dilakukan dengan penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ketua KPK Antasari Azhar dan Deputi Direktur FBI John Pistole di Gedung KPK di Jakarta, Selasa 18 Nopember 2008. Melalui kedok bantuan teknis, pelatihan SDM, pertukaran data dan informasi serta pelatihan intelijen, jelas AS bisa mencengkeram negeri ini lebih dalam.


Dunia Islam

1. Harapan Semu Terhadap Obama.

Terpilihnya Barac Obama sebagai presiden AS seakan memberikan harapan baru dalam konstelasi politik internasional. Namun, harapan sepertinya tinggal harapan. Sebagai sebuah negara yang berbasis ideologi kapitalis, AS tidak akan banyak berubah. Obama seorang tidak bisa diharapkan bisa melakukan perubahan mendasar. Amerika Serikat tetap akan berusaha menguasai dunia dengan metode penjajahan mereka yang baku. Apalagi AS adalah sebuah sistem dengan banyak institusi, kelompok penekan, kelompok lobi Yahudi , kelompok bisnis, kelompok media, termasuk militer, yang akan mempengaruhi kebijakan AS.

Kebijakan AS bukanlah hanya kebijakan seorang Obama. Apalagi sejak kampanye, beberapa pandangan mendasar Obama tidak jauh beda dengan presiden lainnya. Obama tetap pro-Israel. Bagi Obama dan presiden AS yang lain, membela Israel merupakan tugas suci yang harus dilakukan dan tidak boleh berubah. Tidaklah mengherankan kalau orang-orang di sekitar Obama sangat pro-Israel, seperti Hillary Clinton yang ditunjuk sebagai Menlu. Hillary bersikap lebih keras dan lebih pro-Israel ketimbang Obama saat kampanye. “Dia punya komitmen untuk proses perdamaian, memerangi ekstremisme,” kata seorang pejabat Israel. Hillary Clinton juga bersumpah akan “menghancurkan” Iran jika negara itu berani menyerang Israel.

Sebelumnya Obama menunjuk Rohm Israel Emanuel, pendukung fanatik negara Israel, menjadi kepala staf Gedung Putih. Posisi ini sangat penting karena dia akan mengatur dapurnya Gedung Putih. Surat kabar terkemuka Israel Maariv menggambarkan Emmanuel sebagai ‘orang kita di Gedung Putih’.


2. Pembantaian Massal di Palestina.

Semakin sulit saat ini berharap akan terjadi perubahan mendasar atas kondisi Palestina. Negeri Islam itu akan tetap dijajah dan diperangi oleh Israel dengan dukungan penuh dari negara adidaya itu. Israel telah memblokade Jalur Gaza yang telah mengakibatkan bencana kemanusiaan luar biasa. Anak-anak kekurangan suplai makanan yang bergizi. Suplai energi juga terbatas. Pasien rumah sakit pun terancam keselamatannya. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit pun terjadi.

AS akan tetap mempertahankan kebijakan belah bambu dan adu domba: mendukung Fatah di satu sisi; memojokkan Hamas sebagai kelompok teroris di sisi lain.

Adapun para penguasa Arab dan negeri-negeri Islam lainnya akan tetap diam; tidak melakukan pembelaan nyata terhadap Palestina.


3. AS Masih Bertahan di Irak.

Obama akan melanjutkan agenda WOT yang sarat dengan kepentingan AS. Bahkan jauh sebelum terpilih dalam kampanyenya, ia telah berjanji untuk menjadikan Afganistan dan Pakistan sebagai sasaran perang AS yang utama. Obama memang berencana menarik pasukan AS dari Irak, namun ia juga berencana mengirim pasukan yang lebih banyak lagi ke Afganistan. Penarikan pasukan dari Irak itu pun harus menunggu tahun 2011 (berdasarkan Pakta Keamanan AS-Irak).

Ribuan warga Irak menggelar aksi protes menentang kesepakatan keamanan Amerika-Irak di Baghdad, Jumat (21/11/08). Hizbut Tahrir (HT) mengecam perjanjian tersebut. Dalam selebaran HT disebutkan bahwa naskah perjanjian berisi persetujuan untuk mempertahankan militer Amerika secara legal dan sah hingga akhir tahun 2011 M, yang memungkinkan pasukan AS tidak akan tersentuh oleh keburukan apapun! Lebih dari itu, naskah perjanjian tersebut bahkan menyatakan, bahwa apapun aktivitas bersenjata untuk menentang militer AS dinilai sebagai aksi terorisme yang wajib ditumpas, bukan hanya oleh militer Amerika, tetapi pemerintah Irak juga berkewajiban untuk memerangi aksi terorisme ini!

Mengenai kekayaan alam, dalam naskah perjanjian tersebut disebutkan bahwa Amerika Serikat adalah penanggung jawab bagi perlindungan kekayaan alam Irak, yang bersumber dari pemasukan minyak! Dengan kata lain, pengawasan dalam bidang keuangan berada di tangan Amerika Serikat. Amerikalah yang menguasai kekayaan alam ini.


4. Front Terdepan AS di Afganistan, Pakistan, dan India.

Krisis Mumbai yang terjadi pada Rabu 26 November 2008 di India menjadi momen peneguhan perang melawan terorisme. Misteri tentang siapa sebenarnya pelaku serangan ini belum terungkap. Tuduhan paling mudah diarahkan kepada kelompok mujahidin Khasmir. Yang jelas, siapapun pelakunya, sering tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata muncul sebagai reaksi dari kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan negara.

Aryn Baker dalam Time (Kamis, 27/11/2008) mengingatkan hal ini. Menurutnya, Krisis Mumbai tidak bisa dipisahkan dari ketidakadilan yang dirasakan Muslim minoritas India, termasuk masalah Khasmir. Kondisi ini, menurutnya, diperparah dengan kerusuhan di Gujarat tahun 2002 yang menewaskan lebih kurang 2.000 orang yang sebagian besarnya adalah Muslim.

Yang perlu dicermati, Krisis Mumbai digunakan untuk kepentingan negara-negara besar dalam agenda perang melawan terorisme. Apalagi Obama, presiden terpilih AS, secara terbuka mengatakan bahwa wilayah Pakistan dan Afganistan (yang berdekatan dengan India) akan menjadi front terdepan bagi AS untuk memerangi terorisme. Krisis Mumbai dijadikan negara super power itu untuk mengokohkan kepemimpinannya di wilayah itu atas nama perang melawan terorisme.

Peristiwa ini juga sepertinya akan benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah boneka AS di Pakistan dan Afganistan untuk memperkuat posisi mereka. Peristiwa Mumbai memperkuat legitimasi untuk memerangi pejuang Islam atas nama war on terrorism. Ke depan, pemerintah India, Pakistan dan Afganistan akan mengokohkan strategi AS untuk membendung kelompok perlawanan Islam yang dituduh teroris. Korbannya terbesarnya tentu rakyat sipil yang dibunuh dengan sistematis oleh AS dan Sekutunya.


Sudan: Ajang Rebutan

Sudan, sebuah negeri Islam di Afrika yang kaya, juga terus diacak-acak oleh kekuatan negara-negara kolonial. Pada 14 Juli 2008, Ketua Jaksa Penuntut Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court), Luis Moreno Ocampo, mengumumkan tuntutan kejahatan kepada Presiden al-Bashir. Sejak konflik Darfur meletus, ICC adalah salah satu alat Eropa. Prancislah, dengan dukungan Inggris, yang pada 31 Maret 04, mendorong dibahasnya resolusi DK PBB no. 1593 yang mengalihkan pengadilan penjahat perang di Darfur ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). AS menolak resolusi ini dan menginginkan agar pengadilan itu dilakukan di pengadilan khusus bermarkas di Arosha Tanzania, sama seperti pengadilan penjahat perang di Rwanda. Dengan demikian, keputusan Ocampo itu tidak lain berada dalam daerah tekanan Eropa, yakni Prancis dan Inggris.

Konflik di Sudan, baik Konflik Sudan Selatan, Konflik Darfur maupun Konflik Front Timur tidak lain adalah wujud dari pertarungan antara AS dan Eropa. AS telah memenangi pertarungan itu di Selatan, memimpin di Front Timur dan terus bersaing di Darfur. AS dan Eropa adalah negara yang mengemban ideologi kapitalis. Tujuan mereka tidak lain untuk merampok kekayaan Sudan. Memang seperti itulah watak negara kapitalis dan hal itu dibuktikan dari apa yang terjadi di negeri-negeri Islam. Norm Dixon, seorang kolumnis dari Australia, menulis judul kolomnya pada 19/08/04, “Laba minyak berada di balik air mata Barat untuk Darfur.” (Counterpunch.org).


Penutup

Walhasil, apa yang terjadi sekarang di Dunia Islam berpangkal pada satu hal: penjajahan negara-negara kapitalis terhadap negeri-negeri Islam. Hal ini diperteguh oleh penguasa negeri-negeri Islam yang korup dan berkhianat pada umat.

Karena itu, solusi terhadap masalah ini sesungguhnya adalah sangat jelas, yakni kembali menegakkan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Islam, mempersatukan umat, dan melindungi umat dari kebuasan negara-negara penjajah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*