HTI

Analisis (Al Waie)

AS di Bawah Obama Tetaplah Penjajah

Sejak berakhirnya Perang Dingin, tidak ada satupun peristiwa politik dan ekonomi di dunia, khususnya Dunia Islam, yang tidak terkait dengan Washington (AS). Sikap para penguasa di Dunia Islam adalah bergandengan tangan atau menjadi ekor bagi kehendak politik dan ekonomi AS. Para intelektual Muslim yang semestinya mampu bersikap kritis dalam membela kepentingan umat justru banyak yang terjangkiti sikap inferior mengingat kekuatan posisi politik dan ekonomi AS di dunia.

Luapan harapan kini disandarkan kepada Presiden AS yang baru, Barack Obama. Harapan itu tidak hanya datang dari masyarakat AS, tetapi juga dari para pemimpin di Dunia Islam dan sebagian kalangan intelektual Muslim.

Kalau dicermati secara obyektif, Obama sebagai pemimpin AS tentu akan berpijak pada tatanan politik dan ekonomi Kapitalisme yang telah menjadi sistem baku di AS. Sistem Kapitalisme sendiri telah menimbulkan problem serius di dalam negeri AS sendiri. Lalu politik luar negeri AS, yang juga bertumpu pada sistem Kapitalisme ini, terbukti telah menimbulkan malapetaka dan kerusakan di Dunia Islam.


Kondisi Dalam Negeri AS

Siapapun pemimpin AS, termasuk Obama, kini akan berhadapan dengan realitas problem di dalam negeri AS; baik masalah sosial, ekonomi maupun politik. Gambaran umum kondisi dalam negeri AS adalah sebagai berikut:

Pertama, masalah sosial. Kebebasan yang telah menjadi ritme kehidupan di masyarakat AS kini mulai menimbulkan problem serius. Rumah tangga selalu dalam bayang-bayang perceraian karena suami dan istri masing-masing bebas bergaul tanpa batas. Perceraian di masyarakat AS menempati ranking teratas di dunia, yakni 66,6 persen dari jumlah total perkawinan.

Salah satu kamar di apartemen tempat tinggal saya ditempati oleh seorang warga AS, sebut saja namanya Kent. Dia kini hidup sendiri karena rumah tangganya hancur, istrinya menceraikannya dan anaknya pergi tanpa diketahui dimana keberadaannya. Menurut dia, hal seperti ini sudah umum terjadi di AS. Tingginya kasus perceraian telah menyebabkan orang khawatir untuk menikah. Akibatnya, kumpul bersama tanpa menikah, aborsi, klub gay dan lesbian terus meroket jumlahnya.

Kelompok gay mempunyai majalah yang berskala cukup besar yang berpusat di Washington. Mereka mengkampanyekan kehidupan gay melalui majalah itu, selain berbagai event yang mereka gunakan. Di kantin kampus, saya pernah menjumpai kelompok lesbian yang sedang berkampanye. Kehidupan gay dan lesbian kini sangat marak secara terbuka di kalangan mahasiswa AS. Kehancuran rumah tangga dan penyakit HIV menjadi momok yang membayangi setiap orang di AS.

Kedua, masalah ekonomi. Sistem Kapitalisme yang menjadi sendi utama ekonomi AS telah mengantarkan masyarakatnya pada jurang krisis seperti sekarang ini. Krisis tersebut pada dasarnya dipicu oleh kegiatan spekulatif non-produktif seperti  transaksi derivatif di pasar uang, bursa valas, bursa saham dan bursa berjangka komoditas, transaksi ekonomi yang berbasis riba, serta persoalan mata uang yang tidak lagi ditopang oleh nilai intrinsiknya.

Krisis tersebut telah memaksa raksasa otomotif Chrysler, Ford, dan General Motors sekarat. Chrysler beberapa waktu lalu telah mengumumkan penutupan manufakturingnya di seluruh Amerika Utara. Ford pada bulan Januari lalu sudah menghentikan aktivitas 10 cabang pabriknya di AS. General Motors dan Chrysler pada awal Februari ini menawarkan pensiun dini kepada 91 ribu karyawannya. Hal serupa juga menimpa raksasa retail Circuit City, Linens’n Thing dan Sharper Image. Pada akhir Januari lalu, Circuit City telah mengumumkan kebangkrutannya dengan menutup cabangnya di 567 lokasi di AS dan akan merumahkan karyawannya sekitar 30 ribu orang.

Secara umum, stok utama finansial AS dalam tiga bulan terakhir turun 37,6 persen. Lima indikator kegiatan ekonomi—retail sales, business inventories, producer price index, consumer price index, dan industrial production—sejak Oktober 2008 terus-menerus bernilai negatif (Washington Post, 18/1). Menurut laporan tahunan Stanford Law School Securities Class Action Clearinghouse and Cornerstone Research, investor besar di AS hingga akhir Desember 2008 telah mengklaim kehilangan finansial mereka sebesar 856 miliar dolar AS. Hal ini merupakan kondisi terburuk selama 30 tahun terakhir.

Kondisi tersebut terus memicu laju tingkat pengangguran di AS. Padahal sebelum krisis pun tingkat pengangguran di AS sudah cukup tinggi. Labor Department US melaporkan bahwa pengangguran pada tahun 2006 sebanyak 7,001 juta orang dan meningkat menjadi 7,078 juta pada tahun 2007. Pada akhir tahun 2009 diperkirakan pengangguran di AS akan meningkat menjadi 9 sampai 10 juta orang. Kesengsaraan ekonomi akibat krisis ini sekarang hampir merata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat AS. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh ABC News Poll (18/1), hanya 5 persen responden yang menyatakan bahwa ekonomi AS saat ini masih baik; 95 persen responden lainnya menyatakan hal yang sebaliknya.

Ketiga, masalah politik. Aktivitas politik di dalam negeri AS yang bertumpu pada sistem Kapitalisme itu hanya menjadi sarana untuk mengantarkan para politisi Demokrat dan Republik untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatisnya. Negara berjalan seperti korporasi. Rakyat laksana konsumen yang membayar berbagai sarana dan prasarana publik melalui pajak yang mencapai 30 persen. Negara berfungsi sebagai produsen yang menyediakan sarana dan prasarana publik dari sebagian dana pajak, sedangkan sebagiannya lagi untuk kepentingan mereka dan partainya. Sarana jalan dan alat transportasi publik di AS yang cukup bagus sebenarnya dibangun dari dana pajak melalui mekanisme negara korporasi tersebut.

Para politisi di AS senantiasa bergandengan tangan dengan para pemilik modal (kaum kapitalis) untuk menjalankan negara korporasi itu. Obama sendiri tidak akan bisa melangkah ke White House kecuali didukung oleh para pemilik modal yang mendanai rangkaian kampanyenya. Sebagaimana yang ditulis oleh Andrea Elliot di New York Time (24/6/2008), salah satu kelompok pemilik modal itu adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Orang-orang AIPAC banyak menguasai Kongres AS karena mereka terdiri dari pemilik modal besar yang bernaung di bawah bendera Yahudi. Karenanya, Obama berpidato pada saat pertemuannya dengan AIPAC dan menyatakan dukungannya terhadap Israel.

Washington Post (18/1) memberitakan tentang para pengusaha yang menyumbang dana pelaksanaan pelantikan Obama pada 20 Januari lalu. Di antaranya adalah keluarga Rockefeller yang menyumbang sebesar 316,000 dolar (3,16 miliar rupiah; 1 dolar = 10,000 rupiah), New Yorker Frank Brossen pada saat kampanye Obama menyumbang 500,000 dolar (5 miliar rupiah) dan pada saat pelantikan menyumbang 182,000 dolar (1,82 miliar rupiah), direktur Hollywood Steven Spielberg menyumbang 163,900 dolar (1,64 miliar rupiah).

Sebagian masyarakat AS menyadari kondisi perpolitikan yang ibarat korporasi itu. Pada saat Pemilu di AS, 4 Nov 2008, orang-orang di kantor di kampus saya menyebutnya sebagai m-day. Awalnya saya tidak paham, kalau ternyata m itu adalah inisial dari salah seorang dekan di kampus saya yang pada masa Clinton meninggalkan kampus dan menjadi pejabat pemerintah. Setelah menjabat dia tidak kembali ke kampus, tetapi justru menjadi salah seorang petinggi di partai Demokrat. Saat itu dikabarkan bahwa Obama akan menariknya kembali ke dalam kabinetnya. Karena itu, orang-orang di kampus memplesetkan election-day (e-day) menjadi m-day, sebab realitas Pemilu di kampus saya saat itu hanyalah berfungsi untuk mengantarkan Mr. m untuk menduduki jabatannya.

Sistem demokrasi selama dijadikan sebagai jargon pemerintahan yang mengakomodasi kehendak mayoritas rakyat. Kenyataannya, di AS sendiri pemerintahan berjalan justru untuk kepentingan segelintir orang. Mereka adalah para pengusaha raksasa yang memiliki modal atau kapital. Mustahil bagi sebuah negara yang dikendalikan oleh para kapitalis memberikan manfaat bagi negara lain. Justru negara lain itulah yang akan diambil manfaatnya sebesar-sebesarnya untuk memenuhi kepentingan para kapitalis itu.


Obama dan Dunia Islam

Tidak sedikit orang berharap bahwa Obama akan mengubah politik luar negeri AS terhadap Dunia Islam. Persoalannya, Obama memimpin sebuah negara yang telah memiliki sistem baku dalam politik luar negerinya. Dia dilantik sebagai presiden untuk menjalankan sebuah sistem politik yang sudah dibakukan itu.

Sebagaimana diketahui, AS merupakan negara yang mengemban ideologi tertentu, yakni Kapitalisme. Karena itu, AS di bawah Obama akan tetap berpijak pada ideologinya itu. Sangat menarik apa yang dipaparkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terkait dengan politik luar negeri sebuah negara, khususnya negara ideologis seperti AS (lihat: An-Nabhani, Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr). Beliau menggunakan empat istilah penting dalam menganalisis politik luar negeri suatu negara, yakni: fikrah (ide), tharîqah (metode), khiththah siyâsiyah (garis politik), uslûb siyâsi (strategi politik).

Terkait dengan negara kapitalis seperti AS, fikrah atau ide pokok yang mendasari politiknya adalah Kapitalisme. Metode atau tharîqah politik luar negerinya adalah penjajahan (al-isti’mâr). Ini sesuai dengan pola negara korporasi yang politiknya bertumpu pada simbiosis-mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Bentuknya tentu saja bermacam-macam; bisa ekonomi, politik, militer, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Namun, muaranya adalah satu: penjajahan berupa hegemoni. Kasus Irak dan Afganistan merupakan wujud dari penjajahan AS melalui militer. Lalu yang terjadi di negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Indonesia, adalah penjajahan AS melalui pendekatan ekonomi dan politik. Ini merupakan metode baku bagi AS, sejak presidennya George Washington hingga Obama saat ini.

Selain itu, ada khiththah siyâsiyah atau garis politik berupa grand strategy politik yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kepentingannya. Hanya saja, dibandingkan dengan uslûb (strategi) politik yang bersifat lebih aplikatif, perubahan garis politik ini lebih jarang dilakukan. Contoh khiththah siyasiyah ini bisa kita lihat pada grand strategy AS dalam Perang Dingin saat membendung Komunisme dan pasca Perang Dingin yang ditujukan untuk membendung kekuatan Islam melalui isu terorisme.

Politik luar negeri AS di bawah Obama, khususnya terhadap Dunia Islam, tidak akan mengalami perubahan, kecuali dalam hal strategi praktis (uslûb) saja. Meskipun Obama berjanji akan menarik pasukannya dari Irak, justru penjajahan militernya yang lebih serius akan difokuskan di Afganistan. Washington Post (18/1) menurunkan tulisan Jaap de Hoop Scheffer, Sekjen NATO, tentang strategi AS terhadap Afganistan. Menurutnya, Obama harus mengambil kesempatan pada saat ulang tahun NATO ke-60 yang akan diselenggarakan di Strasbourg (Perancis) dan Kehl (Jerman) bulan April 2009. Scheffer menyarankan agar Obama menggunakan event itu sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada para kepala negara yang hadir untuk membangun aliansi baru dalam menghadapi Afganistan.

Menteri Pertahanan AS, Robert M Gates, menyatakan bahwa perang di Afganistan akan menjadi konflik yang membutuhkan kerja keras dalam jangka panjang (a long slog). Gates juga menjelaskan bahwa AS akan mengirim tambahan pasukan tempurnya sekitar 10–12 ribu pasukan ke Afganistan (Washington Post, 28/1).


Khatimah

Akhirnya, memang umat Islam membutuhkan kekuatan politik real yang secara ideologis dan praktis bisa mengimbangi kekuatan AS, dan itu tidak lain adalah Khilafah Islamiyah. Di bawah naungan institusi politik global Khilafah Islamiyah penyatuan potensi umat Islam —penduduk, militer, sumberdaya alam, potensi geografis dan sebagainya—bisa diwujudkan sebagai kekuatan adidaya baru dunia. Saat itulah hegemoni AS secara militer, ekonomi, dan politik di Dunia Islam akan bisa diakhiri secara total.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*