As-Sunnah berasal dari kata sanna–yasunnu–sannan wa sunnat[an]. Bentuk pluralnya sunan dan sanan. Secara bahasa arti asalnya adalah tharîqah (jalan/metode). Sunnah juga bisa berarti sîrah (perikehidupan/sejarah hidup), baik yang terpuji dan baik maupun yang tercela. Jika terkait dengan makhluk sunnah artinya adalah tabiat, watak atau karakter alami. Jika dikatakan sunnah min Allâh atau sunnatuLlâh maknanya adalah hukum atau ketentuan Allah di dalam ciptaan-Nya. Sunnah juga bisa berarti wajhu atau al-jihah (arah).
Kata sunnah secara bahasa ini digunakan di dalam al-Quran dan al-Hadis. Di dalam al-Quran, kata sunnah atau bentuk pluralnya, yaitu sunan, dinyatakan di antaranya bermakna sîrah (QS Ali Imran [3]: 137), jalan/tharîqah (QS an-Nisâ’ [4]: 26); bermakna sunnatuLlâh, yaitu ketentuan Allah di dalam ciptaan-Nya (QS. al-Anfal [8]: 38; al-Hijr [15]: 13; al-Isra’ [17]:77; al-Kahfi [18]: 55; al-Ahzab [33]:38, 62; Fathir [35]: 43; al-Mu’min [40]: 85; al-Fath [48]: 23).
Di dalam hadis misalnya Rasul saw. pernah bersabda:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukan bagian dari golonganku (HR al-Bukhar, Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad).
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî mengatakan, bahwa maknanya adalah siapa saja yang tidak suka dengan tharîqah (jalan/metode)-ku dan lebih memilih tharîqah selainku maka ia bukan golonganku.
Secara bahasa as-sunnah artinya ath-tharîqah, an-nahju wa al-jihah (metode, jalan dan arah). Namun, secara ‘urf (tradisi), as-sunnah digunakan untuk menyebut jalan yang disyariatkan; lawan dari bid’ah.
Dalam bidang kajian tertentu, as-sunnah juga digunakan dengan makna yang lebih spesifik. Dalam tradisi para ulama hadis, as-sunnah adalah semua yang disandarkan pada Nabi saw.; baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat khuluqiyah maupun sifat khalqiyah (karakter penciptaan/karakter fisik). As-Sunnah juga mencakup sirah yang dinisbatkan pada Nabi saw., baik sebelum maupun sesudah risalah. Para ulama hadis membahas Rasulullah saw. dan mempelajari kehidupan Beliau secara keseluruhan dari semua sisi; mulai dari kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, masa tua hingga beliau wafat. Mereka membahasnya dari semua sisi baik sisi ciptaan, moral, tasyrî’, fikih, ucapan, perbuatan, anjuran, keutamaan-keutamaan, penghalalan, ataupun pengharaman. Para ulama hadis itu mentransformasikan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan Beliau; baik berupa sirah, sifat, ucapan, perbuatan dan persetujuan Beliau; baik hal itu menetapkan suatu hukum syariah ataupun tidak.
Adapun dalam istilah para fukaha, yaitu para ulama fikih, as-sunnah adalah apa yang terbukti berasal dari Nabi saw. yang tidak difardhukan dan bukan wajib; yaitu perbuatan yang pelakunya mendapat pahala, sementara yang meninggalkannya tidak dikenai sanksi atau tidak berdosa. Dalam hal ini sunnah, mandûb, tathawwu’ dan nâfilah maknanya sama. Dalam konteks fikih ini para fukaha membahas Rasulullah saw. sebagai orang yang perbuatan-perbuatannya tidak keluar dari kapasitasnya sebagai dalâlah yang menunjukkan hukum syariah. Mereka membahas hukum syariah atas perbuatan-perbuatan seorang hamba baik sebagai wajib, mandûb atau mubah.
Adapun dalam istilah para ulama ushul fikih, as-sunnah diartikan sebagai apa saja yang dinukilkan dari Nabi saw., baik berupa ucapan, perbuatan ataupun taqrîr (persetujuan) Beliau. Para ulama ushul itu membahas Nabi saw. sebagai musyarri’ yang menghalalkan dan mengharamkan, mewajibkan, me-mandûb-kan, memubahkan, memakruhkan dan mengharamkan. Mereka membahas Nabi saw. sebagai orang yang menetapkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid setelah Beliau dan yang menjelaskan kepada manusia konstitusi hidup mereka. Yang mereka masukkan ke dalam as-sunnah adalah ucapan, perbuatan dan taqrîr Nabi saw. yang menetapkan hukum-hukum syariah. Mereka tidak mamasukkan sifat Nabi saw. dalam cakupan as-sunnah. Hal itu karena para ulama ushul fikih itu membahas as-sunnah sebagai salah satu sumber tasyrî’.
As-Sunnah Sebagai Dalil Syariah
As-Sunnah—yaitu ucapan, perbuatan dan taqrîr Rasul saw. terhadap perkataan dan perbuatan—merupakan dalil syariah. Hal itu karena adanya dalil qath’i atas kenabian Muhammad saw. dan risalahnya; juga karena adanya dalil yang qath’i tsubût dan qath’i dilâlah, bahwa Nabi saw. tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Nabi saw. tiada lain kecuali berbicara berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya. Jadi as-sunnah merupakan bagian dari wahyu. Yang merupakan wahyu adalah isi dan kandungan as-sunnah. Lalu Nabi saw. mengungkapkan wahyu itu melalui ucapan Beliau, perbuatan Beliau ataupun dalam bentuk persetujuan (taqrîr) atau dengan diamnya Beliau.
As-Sunnah merupakan dalil sebagaimana al-Kitab, tanpa ada perbedaan. Hanya mencukupkan diri dengan al-Quran merupakan pendapat yang telah keluar dari Islam. Nash-nash al-Quran, qath’i tsubût dan qath’i dilâlah, secara jelas dan gamblang menyatakan bahwa kita wajib mengambil as-Sunnah sebagaimana wajib mengambil al-Quran (QS. an-Nisa’ [4]: 59-60, 65; an-Nûr [24]: 36; al-Hasyr [59]: 7 dan masih banyak ayat lainnya).
Hubungan as-Sunnah dengan al-Quran, bahwa al-Quran kadang mengandung dua kemungkinan perkara atau lebih, lalu as-Sunah datang menentukan salah satunya. Dalam kondisi ini harus merujuk pada as-Sunnah dan zahir al-Kitab harus ditinggalkan. Contohnya, dari QS. an-Nisa’ [4]: 23-24 bisa dipahami bahwa selain wanita yang disebutkan di dalam ayat tersebut halal untuk dinikahi. Lalu as-Sunnah datang mengeluarkan dari ketentuan itu bahwa “Seorang wanita tidak boleh dinikahi atas bibinya dari pihak ayah ataupun ibu.” (HR Muslim).
Pada sebagian besar, as-Sunnah datang sebagai penjelasan atas al-Quran. Penjelasan as-Sunnah atas al-Quran ini dalam bentuk: Pertama, merinci keglobalan al-Quran (tafshîl al-mujmal). Contoh, al-Quran memerintahkan shalat secara mujmal, lalu as-Sunnah datang merinci tatacaranya. Kedua, mengkhususkan keumuman al-Quran. Contoh, di dalam al-Quran jual-beli secara umum adalah halal selama suka sama suka. Lalu as-Sunnah datang mengkhususkan beberapa bentuk jual-beli dari keumuman itu dan melarangnya. Ketiga, membatasi kemutlakan al-Quran. Contohnya, al-Quran memerintahkan memotong tangan pencuri tanpa menentukan batasannya. Lalu as-Sunnah datang membatasi pencurian yang wajib dipotong tangannya pada seperempat dinar atau lebih. As-Sunnah juga datang membatasi tangan yang dipotong itu hanya sebatas pergelangan tangan saja. Keempat, mengaitkan hukum yang di dalam al-Quran terdapat pokok/asalnya. Contoh, as-Sunnah datang mengharamkan daging keledai jinak, hewan buas yang bertaring, burung yang bercakar tajam, dsb dan mengaitkannya dengan al-khabâ’its yang diharamkan. As-Sunnah juga mendatangkan hukum yang pokoknya tidak terdapat di dalam al-Quran. Contohnya, hukum kepemilikan umum, hukum menghidupkan tanah mati, haramnya menarik cukai, dsb.
As-Sunnah dari sisi penggunaannya sebagai dalil bisa dibagi menjadi dua:
Pertama, as-sunnah al-mutawâtirah; yaitu as-sunnah yang diriwayatkan sejumlah atbâ’ at-tâbi’în dari sejumlah at-tabi’ûn dari sejumlah Sahabat, dari Nabi saw., yang setiap jumlah itu terdiri dari sejumlah orang yang kondisi mereka menjamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong. As-Sunnah al-mutâwatirah berfaedah pada keyakinan dan qath’i. Karena itu, as-sunnah al-mutâwatirah ini boleh dijadikan dalil dalam masalah akidah dan seluruh masalah hukum syariah.
Kedua, khabar ahad, yaitu as-sunnah yang tidak mencapai taraf mutawatir. Khabar ahad menurut jumhur ulama ushul dan ulama hadis, tsubût-nya bersifat zhanni. Khabar ahad hanya berfaedah pada zhanni dan tidak sampai berfaedah pada keyakinan. Khabar ahad menjadi dalil dalam seluruh hukum syariah.
Khabar ahad menurut ulama ushul dan ulama hadis dibagi dalam tiga kelompok: hadis sahih, hasan dan dha’îf. Khabar ahad yang boleh dijadikan hujjah adalah yang sahih atau hasan. Khabar ahad yang dha’îf tidak boleh dijadikan hujjah.
Wajib Mengikuti as-Sunnah
Allah Swt. secara tegas dalam banyak ayat memerintahkan kita mengambil apa saja yang dibawa oleh Nabi saw. (QS Ali Iman [3]: 31; al-A’raf [7]: 15; al-Hasyr [59]: 7). Allah memperingatkan bahwa siapa saja yang menyalahi Nabi saw. (menyalahi as-Sunnah) akan ditimpa azab yang pedih (QS an-Nûr [24]: 36). Dengan demikian mengambil as-Sunnah adalah wajib.
Hanya saja, mengambil dan mengikuti as-Sunnah tidak boleh dilakukan menurut kehendak kita, tetapi harus dilakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh as-Sunnah; sesuai dengan arah yang yang dituntut baik dalam bentuk tuntutan melakukan secara tegas atau tidak, ataupun tuntutan untuk meninggalkan secara tegas atau tidak, ataupun berupa takhyîr (pilihan). WaLlâh Muwaffiq ilâ aqwâm ath-tharîq. [Yahya Abdurrahman]