Presiden ke-44 Amerika Barack Hussein Obama dalam wawancara perdananya sebagai presiden AS oleh jaringan TV Al-Arabiya yang berpusat di Dubai mengatakan untuk ‘mempererat hubungan dengan Dunia Islam’. Dalam pembicaraannya dengan Al-Arabiya, dia juga berkata, “Tugas saya terhadap Dunia Islam adalah mengopinikan bahwa Amerika bukanlah musuh Anda.”
Sejak berlangsungnya proses Pemilu, Obama selalu menekankan pentingnya agenda perubahan kebijakan politik luar negeri AS, yang terulang lagi dalam pidato pelantikannya. Namun, ketika Obama melanjutkan promosi perubahan Amerika, ia tidak pernah mengucapkan bahwa tujuan utama Amerika tetaplah sama, karena kepentingan politik AS sebenarnya tidak akan pernah berubah. Perbedaan yang akan terjadi adalah perubahan dari aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut.
Tujuan AS di Palestina
Sejak berdirinya negara Israel, kebijakan politik AS adalah menekan umat Islam untuk merelakan tanahnya demi Israel. Tujuan AS adalah pembentukan Dua-Negara yang akan hidup berdampingan dan seakan-akan memiliki otonomi. Amerika juga memiliki tujuan untuk menginternasionalkan Yerusalem, karena solusi ini bisa menguatkan posisi Amerika melalui PBB mengingat sensitifnya status Yerusalem. Apa yang diperlukan bagi AS adalah memutuskan garis perbatasan final antara Israel dan apa saja yang tersisa dari Palestina dan memaksa baik Israel dan Palestina untuk menerimanya.
Rencana Obama
Dalam kurun waktu 2 tahun, Obama lebih banyak mengambil sikap untuk mendukung kelompok garis keras di Israel sehingga pernyataan-pernyataan Obama tidak jauh berbeda dari Bush. Kritikan terpedas Obama terhadap Bush adalah kegagalan Bush dalam menjalankan proses perdamaian secara proaktif, dan tidak mendukung kelompok sayap kanan Israel dalam setiap dan semua masalah. Obama menegaskan bahwa ia berkomitmen untuk mempertahankan hubungan bilateral AS dan Israel dalam hal bantuan militer dan ekonomi. Ia juga melanjutkan dukungan AS terhadap ide Dua-Negara dan menyatakan bahwa Yerusalem harus menjadi ibukota negara Israel. Obama juga menjelaskan dalam wawancaranya dengan Al-Arabiya bahwa pemerintahannya tetap berkomitmen untuk mendukung Israel dan memastikannya sebagai agenda terpenting, terutama yang berkaitan dengan keamanan Israel tanpa menyebut sedikitpun penderitaan rakyat Palestina, Perang Gaza ataupun fakta blokade Israel terhadap wilayah Gaza.
Tujuan AS di Irak
Amerika merencanakan secara hati-hati pemecahan Irak dalam 3 wilayah dan memerlukan sekitar 70 ribu pasukan di sana. Pasukan tersebut akan ditempatkan di berbagai pangkalan militer di Irak dan bertugas untuk menghadapi kemungkinan adanya tantangan dari Cina ataupun Rusia. Pemerintahan Obama akan melanjutkan apa-apa yang telah dibangun oleh pemerintahan sebelumnya, guna mencapai tujuan Amerika dalam menguasai Irak, sumberdaya alamnya dan keamanannya dengan penempatan kekuatan militer untuk jangka panjang.
Meski Barack Obama tampaknya menentang perang di Irak, ia sebenarnya menolak ditariknya pasukan AS dari Irak dan justru mendukung upaya penempatan pasukan dari daerah pertempuran menuju posisi pelatihan dan logistik, yang disesuaikan dengan kemampuan militer Irak untuk menumpas pemberontakan. Obama secara tegas menolak adanya batas waktu penarikan pasukan AS dari Irak, karena pasukan AS tersebut adalah penting sebagai alat mencapai tujuan AS di Timur Tengah, salah satunya adalah untuk menghadapi kemungkinan konfrontasi dengan Iran, Syria, dan Libanon Selatan. Ini semua menunjukkan bahwa perbedaan antara Obama dan Bush tidak terletak pada tujuan umum kebijakan AS di Timur Tengah. Perbedaan yang ada hanya sebatas pada cara pencapaiannya saja.
Tujuan AS di Iran
AS bertujuan agar Iran membalikkan proses islamisasi di sana. Pemerintahan Bush saat itu dikuasai oleh kaum neo-konservatif sehingga kebijakannya diatur dengan lensa neo-konservatif yang menuntut adanya aksi militer untuk menggulingkan rezim Iran. Namun, kegagalan Perang Irak menyebabkan rencana penyiapan militer ke Iran yang diutarakan beberapa pejabat pemerintah seperti Wapres Dick Cheney tidak mendapatkan dukungan, dan justru mendapat tentangan dari pejabat lainnya yang mendukung usaha multilateralisme dan diplomasi, ketimbang uniltateralisme dan campur tangan militer.
Obama menyatakan, ia akan melanjutkan kebijakan AS dan ia tidak ragu untuk melancarkan serangan ke Iran dan menguasai ladang-ladang minyak dan gasnya apabila memang diperlukan. Obama menegaskan akan menyerang Iran apabila Iran tidak menghentikan proses pemurnian uranium sebagai bagian dari aktivitas program nuklir. Namun demikian, Obama juga menyebutkan bahwa ia siap bersahabat dengan Iran apabila Iran ‘mengendurkan kepalan’. Ini menunjukkan agenda kebijakan Obama yang mendahulukan multilateralisme dan diplomasi personal yang intensif. Secara realitas, Obama sebenarnya melanjutkan kebijakan Bush setelah kaum neo-konservatif gagal membuat argumentasi yang meyakinkan untuk menyerang Iran.
Tujuan AS di Pakistan dan Afganistan
Keberadaan AS di wilayah regional Asia Tengah adalah untuk mengontrol Cina dan bangkitnya Rusia. Kini kebijakan AS terhadap Afganistan adalah membangun pemerintahan boneka yang bisa diatur, menjadikannya di bawah pengaruh kepentingan AS dan mempertahankannya sebagai aset penting dalam persaingan di Asia Tengah dalam penguasaan sumber energi.
Obama menyatakan bahwa manuver politik Bush dalam perang Irak justru mendistraksi dari ancaman yang lebih nyata dari Afganistan dan Pakistan, yang mestinya menjadi prioritas utama. Dalam berbagai kesempatan, Obama mengulang rencananya untuk menaikkan jumlah tentara AS di Afganistan dan memperluas jumlah sasaran sepanjang perbatasan Afganistan dan Pakistan untuk diserang secara sistematis. Perang terhadap teror, menurut Obama, akan dilancarkan secara terencana dengan melibatkan serangan darat dalam skala besar, serangan udara pada wilayah Pakistan, serta menghancurkan setiap desa dan kota
yang dianggap memiliki simpati terhadap kaum pemberontak. Hal ini terbukti dengan serangan yang direstui Obama pada tanggal 23 Januari yang mengakibatkan 15 penduduk kehilangan nyawa.
Perbedaan antara Obama dan Bush adalah teknis di lapangan dalam mencapai tujuan AS di sana. Dalam hal ini Obama tampak terlihat jauh lebih agresif ketimbang Bush.
Karena itu, apa yang dimaksud oleh Obama untuk ‘mempererat hubungan’ dengan Dunia Islam adalah tidak lain untuk ‘membuka pendekatan diplomatis’. Tujuan AS tetaplah sama dan Obama dipilih untuk melaksanakan tujuan tersebut. Obama menegaskan misinya dengan sangat gamblang dalam pidato pelantikannya, “Kita tidak akan bersikap apologetik ataupun ragu dalam
menjalankan dan membela pandangan hidup kita, terutama dari serangan mereka yang tidak segan menggunakan teror dalam menjalankan agendanya…Kami sampaikan kepada kalian bahwa semangat kami tidak akan melemah, tidak akan kalian kalahkan, dan kami akan menang.”
Sikap Umat Islam
Pertanyaannya, apa yang mestinya umat ini lakukan ketika secara jelas bahwa Amerika bertujuan untuk memecah-belah umat Islam dan menghancurkan apa saja yang tersisa dari Islam. George Friedman (pendiri Strategic Forecasting, lembaga intel AS dan pengarang buku, The Next 100 Years; A Forecast for the 21st Century, menggambarkan kekuatan AS, “Banyak sekali jawaban terhadap pertanyaan mengapa AS sangat kuat. Jawaban yang paling singkat adalah karena kekuatan militer. AS mendominasi benua (Amerika Selatan) yang sangat berharga
untuk invasi dan pendudukan. Semua negara industrialis adidaya pernah merasakan kehancuran akibat perang pada abad ke-20. AS memang terlibat perang, tetapi AS tidak pernah merasakannya di rumahnya sendiri. Kekuatan militer dan lokasi geografis membentuk realitas ekonomi. Ketika negara lain kehilangan waktu untuk bangkit dari kehancuran perang, AS justru berkembang karena adanya perang.”
Satu-satunya jalan yang dituntut oleh Islam dan sebagaimana dibuktikan oleh sejarah adalah dengan membentuk kembali Khilafah yang akan membela umat dan mampu memberikan tantangan yang berarti terhadap rencana AS. Sangat tidak mungkin bagi satu negara untuk menantang negeri adidaya seperti AS. Contohnya adalah Jerman dan Jepang. Cepatnya pembangunan Jerman pada awal abad ke-20 terjadi karena pendudukan teritorial yang memerlukan kekuatan militer dan industri. Persaingan kolonial menjadikan Jerman berhadapan melawan Inggris. Pada tahun 1900 Jerman berada dalam posisi kekuatan militer yang setara dengan Inggris. Jerman membangun sendiri armada Angkatan Laut yang modern untuk menghadapi Inggris Jerman mengambil kesempatan dari peristiwan pembunuhan pangeran pewaris imperium Austria-Hungaria oleh Serbia. Jerman menginvasi Prancis, memutus aliansi dengan Rusia, dan mulai menyerang perbatasan timur Rusia. Jerman tidak berhenti dan terus menjajah Eropa dan mulai memasuki Belgia. Ambisi Jerman hanya berakhir seusai Perang Dunia I.
Jepang berusaha untuk menjadi kekuatan imperium pada tahun 1930-an dan menyadari bahwa ini akan memberikan tantangan terhadap AS. Militerisme yang berkembang di Jepang berusaha untuk meluaskan pengaruhnya di dunia dengan penjajahan dan berusaha menguasai Samudera Pasifik dengan angkatan lautnya. Meskipun Jepang hanya terdiri dari berbagai pulau, ia mampu menundukkan negara dengan wilayah yang lebih besar seperti Korea dan Cina. Setelah itu Jepang dengan berani menyerang pangkalan AL AS di Pearl Harbour. Ini dilakukan karena Jepang melihat AS sebagai penghalang terhadap ambisi globalnya.
Karena itu, dalam konteks Dunia Islam, satu-satunya jalan bagi kaum Muslim untuk membela dirinya dan mengembangkan potensi dirinya adalah dengan membangun Khilafah dan melaksanakan program industrialisasi secara cepat. Hanya dengan memperkuat kekuatan militer dan ekonomi maka Khilafah mampu berfungsi sebagai pelindung wilayah teritorial Dunia Islam dari ambisi jahat negara manapun. [Diterjemahkan oleh Rusydan; www.khilafah.com]