HTI

Muhasabah (Al Waie)

Bangga Menyambut Penjajah?

Ada yang masygul dalam benak kita; mengapa pejabat di negeri ini begitu sukacita menyambut kedatangan Hillary Clinton, Menlu AS yang baru, yang datang ke Indonesia tanggal 18-19 Pebruari 2009 yang lalu? Mensesneg Hatta Rajasa di Kantor Setneg, Jl. Veteran, Jakarta, Kamis (5/2/2008), bahkan tidak bisa menutupi kebanggaannya, “Kita diperhitungkan.”

Bukankah kita tahu, AS adalah negara penjajah, dengan semua definisi dan maknanya? AS bukan saja telah menjajah Afganistan dan Irak yang telah menewaskan ratusan ribu bahkan jutaan manusia, tetapi juga telah menjajah negeri kita. Sudah banyak pakar dan intelektual di negeri ini yang mengatakan, bahwa negeri ini masih terjajah, dan penjajahnya itu tak lain adalah Kapitalisme Global yang dipimpin oleh AS. Lalu mengapa para pejabat di negeri ini masih saja menyambut Menlu dari negara penjajah itu dengan sukacita, bahkan dengan penuh bangga? Apakah mereka tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa AS adalah negara penjajah dengan semua definisi dan maknanya?

Memang betul, Indonesia adalah negara penting bagi kepentingan politik luar negeri AS; terutama karena faktor Islam, jumlah penduduknya yang mayoritas Muslim; karena merupakan negara terbesar keempat setelah Cina, India dan AS sendiri; juga karena faktor kekayaan alamnya yang melimpah. Dalam pernyataan persnya di Washington, Jubir Deplu AS, Robert Wood, menyatakan, “Indonesia merupakan negara penting bagi AS. Menlu Hillary merasa penting bahwa kami ingin mencapai itu dan mencapai lebih awal dengan Indonesia.”

Selama ini, dalam sejarahnya, kawasan Timur Tengah menjadi langganan kunjungan pertama kali Menlu AS. Ini terutama karena kawasan ini merupakan koloni AS, setelah AS berhasil membersihkan pengaruh Inggeris dan Perancis dari kawasan tersebut; juga karena faktor minyak, Islam dan Israel. Namun, setelah pendudukan AS di Irak 2003 yang berhasil melenyapkan pengaruh Inggeris di kawasan tersebut, AS tidak lagi mendapatkan ancaman yang berarti dari pesaing politiknya di kawasan itu. Sebaliknya, Timur Jauh yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia—dengan perkem-bangan Islam dan meningkatnya kesadaran umat Islam untuk kembali pada syariah agama mereka, sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai hasil survei—bisa menjadi ancaman potensial bagi penjajahan AS di kawasan ini. Di mata AS, meningkatnya kesadaran umat Islam itu akan mengancam nilai-nilai mereka seperti Demokrasi, HAM, Pluralisme, Kebebasan dan Kesetaraan Gender, yang pada akhirnya akan menggulung tradisi penjajahan mereka di negeri ini. Inilah yang bisa kita simak dari pernyataan Hillary, dalam dengar pendapat di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), bahwa dirinya akan bekerja “memperbarui kepemimpinan Amerika melalui diplomasi yang akan meningkatkan keamanan kita, mengedepankan kepentingan kita, dan mencerminkan nilai-nilai kita.” Jadi, tujuan utama dari berbagai kunjungan Menlu AS tersebut tak lain adalah untuk memperbarui kepemimpinan AS di dunia.

Dalam konteks ekonomi AS, Indonesia bukan saja telah dan akan menjadi pasar potensial bagi produk AS, tetapi juga menjadi sumber bahan-bahan baku dan suplay energi bagi industri AS. Inilah yang ingin dipertahankan oleh AS. Karena itu, di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), Hillary menyebut Indonesia memiliki peran penting dalam memecahkan masalah krisis ekonomi global.

Selain itu, yang harus dicermati, kunjungan ini dilakukan menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Dalam agenda kunjungannya, Menlu AS itu juga direncanakan akan bertemu dengan sejumlah tokoh dan politisi di negeri ini, termasuk nominator capres dan cawapres. Kunjungan ini secara telanjang bisa dibaca sebagai upaya AS untuk memastikan dukungannya kepada—sekaligus terpilihnya—tokoh dan politisi yang bisa menjamin kepentingannya di negeri ini.

Pertanyaannya, lalu apa yang akan didapat oleh negeri Muslim terbesar ini? Jawabannya, tentu bukan apa-apa. Ya, negeri ini memang tidak akan mendapatkan apa-apa, selain keburukan demi keburukan, baik bagi Islam maupun kaum Muslim. Sebab, penjajah tetap saja penjajah, apalagi jika diberi peluang dan kesempatan. Jikalau ada perubahan pada kebijakan luar negeri AS di era Obama, itu hanyalah perubahan pendekatan; substansinya tetap sama, yaitu mempertahankan hegemoni dan penjajahan atas dunia, atau bahasa halusnya, “memperbarui kepemimpinan AS di dunia.” Jadi, yang berubah hanya pendekatannya: dari hard power (melalui invasi dan pendudukan) ke smart power (dengan “diplomasi” dan “membangun hubungan kemitraan”).

Selain Indonesia akan tetap terjajah, negeri Muslim terbesar ini juga akan digunakan sebagai alat oleh AS untuk memasarkan nilai-nilai Demokrasi, HAM, Kebebasan dan Pluralisme ke negeri-negeri Muslim yang lain, yang telah diklaim kompatibel dengan Islam. Indonesia juga akan digunakan sebagai alat untuk memuluskan rancangan AS di Timur Tengah, tentang pendirian dua negara, Israel dan Palestina yang meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam pernyataannya, Hillary (4/2/2009) berjanji akan bekerjasama dengan semua pihak untuk “menciptakan negara Palestina yang independen dan dapat berjalan di Tepi Barat dan Gaza, serta memberikan perdamaian dan keamanan yang diminta Israel.” Inilah yang tampaknya ingin dimainkan oleh Indonesia melalui Proposal Perdamaian Palestina, sebagaimana yang mengemuka dalam pertemuan antara Wapres Jusuf Kalla dan Joe Biden, Wapres AS (Rabu, 4/2/2009).

Akhirnya, kenyataan ini mengingatkan kita akan hadis Nabi, “Idzâ dhuyyi’at al-amanah fantazhir as-sa’ah (Jika amanah ini telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya).” Sahabat bertanya, “Fakayfa idhâ’atuhâ, ya Rasûlallâh? (Bagaimana bentuk disia-siakannya amanah itu, ya Rasulullah)?” Nabi menjawab, “Idza usnida al-amru ilâ ghayri ahlihi fantazhiri as-sa’ah (Jika urusan itu diserahkan kepada orang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya).”

Al-Kirmani menjelaskan, urusan yang dimaksud di sini adalah Khilafah, pemerintahan, peradilan, fatwa dan sebagainya, yang terkait dengan agama. Jika urusan ini diserahkan kepada orang-orang sekular, yang bukan ahli agama, maka urusan ini pasti akan disia-siakan.

Jatuhnya Palestina, Irak, Afganistan dan Kashmir ke tangan penjajah, serta dikurasnya kekayaan alam dan penjajahan di negeri-negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, adalah contoh nyata disia-siakannya amanah Allah. Sebab, para penguasanya adalah orang-orang sekular yang melestarikan kepentingan tuan-tuan mereka, dengan mempertahankan sistem sekularisme mereka. Fal’iyâdzu billâh min syarri fitnatihim! []

One comment

  1. nabila hibban

    Para penguasa muslim saat ini pemikirannya banyak yang membebek ke barat lebih mencari keridloan Orang kafir daripada keridloan Allah mereka lupa bahwa yang punya langit bumi dan isinya adalah Allah bukannya dolar mereka.Hidup didunia cuma mimpi sayang kalo dikejar,lupa akherat rugi bro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*