Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Sungguh, Allah sangat murka karena kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan! (TQS ash-Shaff [61]: 2-3).
Terkait dengan ayat ini, di dalam tafsirnya Ibn Katsir mengutip sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Tanda-tanda orang munafik itu…jika berkata, berdusta…” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan mengutip hadis ini, Ibn Katsir seolah ingin mengatakan, bahwa tindakan orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan termasuk ke dalam dusta, sementara dusta adalah salah satu tanda perbuatan orang munafik.
*****
Sebagaimana dimaklumi, dakwah adalah seruan. Seruan yang paling dominan dilakukan oleh pengemban dakwah tentu saja melalui ucapan. Karena itu, setiap ucapan pengemban dakwah sejatinya mencerminkan perbuatannya. Sebab, ucapan yang tidak mencerminkan perbuatan adalah dusta, sementara dusta adalah salah satu tanda dari orang munafik. Lawan dari dusta adalah jujur. Karena itu, agar tidak terkategori ’munafik’, setiap pengemban dakwah harus berlaku jujur. Kejujurannya ditunjukkan oleh kesesuaian ucapannya dengan perbuatannya.
*****
Rasulullah saw. tentu adalah sosok pengemban dakwah yang paling jujur. Kejujuran Beliau ditunjukkan oleh perilakunya yang sangat terpuji (lihat: QS al-Qalam [68]: 4).
Sebagaimana dimaklumi, Baginda Nabi saw. adalah pengemban al-Quran; bukan saja karena al-Quran turun kepada Beliau, tetapi juga karena seluruh ucapan dan perilaku Beliau memang mempresentasikan al-Quran. Dalam bahasa Ummul Mukminin Aisyah ra., “Khuluquhu al-Qur’ân.” (HR Muslim). Dengan kata lain, budi-pekerti dan perilaku Nabi saw. adalah cerminan dari al-Quran. Bahkan Beliau adalah ‘Al-Quran Berjalan’.
Sebagaimana Baginda Nabi saw., pengemban dakwah tentu juga pengemban al-Quran. Meski biasa ‘menjajakan’ ide-idenya yang bersumber dari al-Quran, pengemban dakwah bukanlah seperti seorang salesman yang hanya sekadar menawarkan jualannya ke banyak orang, sementara dia sendiri mungkin tidak pernah membeli/menggunakan barang jualannya itu. Pengemban dakwah bukan pula seperti seorang calo kernet bis yang selalu mendorong para calon penumpang agar mau menaiki bis yang dicaloinya, sementara dia sendiri tidak menaikinya. Kalau boleh mengibaratkan, pengemban dakwah seharusnya adalah seperti orang yang mengajak anak kecil yang belum bisa berenang untuk berenang; ia akan menunjukkan cara berenang yang baik dengan langsung masuk ke dalam kolam renang, sebelum anak yang diajarinya melakukan hal yang sama.
Intinya, pengemban dakwah adalah pelaku pertama dan utama dari apa yang didakwahkannya. Itulah yang ditunjukkan oleh para Sahabat yang mulia serta generasi salafush-shâlih setelah mereka. Mereka mendakwahkan al-Quran dan as-Sunnah karena mereka sendiri paling banyak membaca, memahami dan mengamalkan isi keduanya. Mereka menyerukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya karena mereka sendiri paling terkemuka dalam hal ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Mereka mendakwahkan keikhlasan dan kesabaran karena mereka sendiri adalah orang-orang yang mukhlis dan sabar. Mereka menyerukan kebenaran dan kejujuran karena mereka sendiri dikenal sebagai orang-orang yang benar dan jujur. Mereka mendorong orang untuk rajin menuntut ilmu karena mereka sendiri adalah ahli ilmu. Mereka mengajak orang lain untuk berakhlakul-karimah karena mereka sendiri mempraktikannya dengan sempurna. Mereka mengajak orang untuk memperbanyak amal ibadah dan hidup zuhud karena mereka sendiri adalah ahli ibadah dan zuhud. Mereka mendorong orang untuk berinfak dan berkorban di jalan Allah karena mereka sendiri adalah pelaku utamanya. Dalam setiap khutbah Jumat mereka senantiasa berwasiat tentang ketakwaan karena mereka pun selalu berusaha memancarkan ketakwaan itu dalam perilaku kesehariannya. Mereka mengajak orang untuk selalu ber-taqarrub kepada Allah, berusaha meneladani Rasulullah, terikat dengan hukum-hukum syariah, menjaga setiap amanah, bersungguh-sungguh dalam berdakwah dan senantiasa bersemangat merekrut sebanyak-banyaknya kader-kader dakwah. Sebab, mereka sendiri adalah orang pertama dan utama dalam melakukan apa saja yang mereka dakwahkan itu.
Karena itu, wajar jika dari para pendakwah seperti mereka, setiap untaian kata yang tertata serasa memiliki ‘ruh’; setiap nasihat yang terlontar selalu berpengaruh; setiap wasiat yang tersurat maupun tersirat senantiasa memancarkan ‘aura’ dan menggetarkan jiwa; setiap wejangan yang disampaikan senantiasa mampu menggugah kesadaran; dan setiap seruan yang diteriakkan sanggup membangkit-kan kepedulian terhadap Islam dan umatnya yang sedang mengalami banyak tekanan.
Padahal mungkin retorika mereka dalam berdakwah biasa-biasa saja dan datar-datar saja. Semua itu karena mereka bukanlah orang-orang ’munafik’. Mereka tidak biasa berdusta dengan mengatakan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Mereka adalah orang-orang yang jujur. Karena kejujuran itulah dakwah mereka berdampak positif luar biasa.
Lihatlah, misalnya, ’kejujuran’ Sahabat Mushab bin Umar ra. Dengan keimanan, ketakwaan, keilmuan, kesabaran, keteguhan, kewaraan dan kezuhudannya terhadap dunia, ia mampu mengislamkan para pemuka masyarakat Madinah hanya dalam waktu setahun. Lihatlah ’kejujuran’ Ja’far bin Abi Thalib, yang dengan ketakwaan, kesabaran dan ketegarannya mampu meluluhkan hati Raja Najasyi saat ia dan sejumlah Sahabat hijrah ke Habasyah untuk mencari suaka. Lihat pula ’kejujuran’ Ibn Abbas ra., yang dengan kesalihan, keteguhan dan keilmuannya yang luas mampu mengembalikan ratusan orang Khawarij ke pangkuan Khilafah setelah sebelumnya mereka sempat memberontak terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang benar dan jujur dalam berdakwah sebagaimana para Sahabat yang mulia, bukan para pendusta yang tercela dan dimurkai-Nya. Amin.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Arief B. Iskandar]