Seperti telah diberitakan sebelumnya, Konferensi Ekonomi Islam Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir pada tanggal 7 Muharram 1430 H atau 3 Januari 2009 lalu berlangsung sukses. Konferensi ini diadakan oleh pimpinan Hizbut Tahrir Internasional untuk merespon terjadinya krisis finansial global yang tengah melanda dunia dewasa ini. Konferensi ini menurut panitia diikuti oleh sekitar 6000 orang peserta laki-laki dan perempuan. Selain dari Sudan, tercatat hadir peserta dari sejumlah negara di dunia, yakni Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Inggris, Belanda, Turki, Kanada, Amerika Serikat, Palestina, Libanon dan Arab Saudi.
Selain meriah, konferensi juga berlangsung penuh semangat. Seruan takbir berulang-ulang berkumandang, diselingi dengan teriakan lantang slogan, “Lâ ilâha illâ Allâh, al-Khilâfah wa’dullâh…Lâ ilâha illâ Allâh, al-Khilâfah wa’dullâh…” Slogan tersebut berulang-ulang diteriakkan oleh seluruh peserta secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang petugas, diikuti dengan kibaran al-liwa dan ar-raya kecil yang sebelumnya dibagikan cuma-cuma kepada seluruh peserta.
*****
Mendengar slogan, “al-Khilâfah wa’dullâh (Khilafah janji Allah) yang diteriakkan oleh peserta di sepanjang acara konferensi, saya menjadi teringat pengalaman mengisi Daurah Dirasah Islamiyah (Forum Kajian Islam) di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu. Ini daurah istimewa. Dari segi jumlah, daurah ini hanya diikuti oleh sekitar 20 orang. Istimewanya, semua adalah anggota Jamaah Tablig atau JT, begitu biasa disebut. Mereka, seperti umumnya anggota JT lainnya, adalah orang-orang yang terkenal humble (rendah hati) dan ikhlas dalam mendakwahkan Islam. Di antara mereka, ada tokoh senior yang sudah mengikuti kegiatan JT lebih dari 17 tahun.
Di akhir acara daurah, dibuka sesi terbuka (open session) untuk menyampaikan kesan dan pesan serta berbagai pertanyaan yang tersisa. Dari sekian pertanyaan diajukan, ada satu pertanyaan yang terus saya ingat. Pertanyaan ini diajukan oleh tokoh paling senior, yang kini menjadi aktivis HTI di Kalimantan Barat. Sebelum bertanya, ia bercerita bahwa ia pernah berjumpa langsung dengan Amir (pemimpin) Jamaah Tablig di Bangladesh. Kepada Amir JT ia menanyakan soal Khilafah. Dijawab oleh amir itu, bahwa Khilafah adalah wa’dullah (janji Allah), dan yang matlub atau yang wajib kita lakukan adalah amal shalih. “Bagaimana menurut Ustadz dengan penjelasan beliau itu?” tanyanya.
Saya mengatakan, apa yang beliau sampaikan itu benar, karena sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Quran. Saya lantas mengutip ayat 55 dari surah an-Nur (yang artinya), “Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian bahwa Dia pasti akan sungguh-sungguh membuat mereka berkuasa kembali sebagaimana Dia telah membuat orang-orang terdahulu berkuasa….”
Hanya masalahnya, “Amal shalih seperti apa yang yang harus kita lakukan, yang bisa menghantarkan kita pada terwujudnya janji Allah itu, karena amal shalih itu sangat banyak,” kata saya berusaha membangkitkan pemikiran seluruh peserta.
“Setiap perbuatan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT…adalah amal shalih. Shalat adalah amal shalih. Menjaga makanan dan minuman halal juga amal shalih. Menutup aurat, berakhlaq mulia, menikah, jual-beli, bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu dan berjuang dalam dakwah. Semua itu adalah amal shalih,” jelas saya lebih lanjut.
Setelah memberikan penjelaskan ringkas tentang pengertian amal shalih, saya kemudian bertanya lagi padanya, “Bila amal shalih yang kita lakukan adalah makan makanan yang halal selalu, apakah Khilafah bakal tegak kembali?”
Dijawabnya tegas, “Tidak”.
Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau amal shalih yang kita lakukan adalah menikah, menikah dan menikah lagi, mungkinkah Kilafah bakal tegak?”
Dijawabnya lagi dengan tegas, “Tidak”.
“Bagaimana kalau amal shalihnya melulu shalat jamaah di masjid?” tanya saya lagi.
Dengan sedikit tersenyum, dia menjawab, “Tidak”.
“Kalau begitu, amal shalih apa?”tanya saya.
Dengan mantap dia mengatakan, “Dakwah seperti yang sudah ustadz jelaskan.”
Dalam daurah itu memang selain materi akidah, syakhsiyyah dan syariah, juga disampaikan materi dakwah. Dakwah yang dijelaskan adalah dakwah siyâsi atau dakwah politis yang selama ini menjadi arah dari dakwah Hizbut Tahrir. Maksudnya, karena tegaknya Khilafah adalah tujuan politik maka harus diupayakan dengan kegiatan yang bersifat politik pula. Tidak mungkin cita-cita politik bisa dicapai dengan kegiatan sosial atau kegiatan ritual atau kegiatan non-politik lain. Cita-cita politik hanya bisa dicapai melalui dakwah atau perjuangan politik.
Dialog dalam sesi akhir dari daurah ini tampaknya berkesan benar buat seluruh peserta, khususnya tokoh senior JT tadi. Hal itulah barangkali yang membuat ia akhirnya, setelah daurah selesai, memutuskan untuk menjadi anggota aktif HTI hingga sekarang. Dari tangannyalah dakwah HTI kini berkembang pesat di Pangkalanbun, bahkan meluas ke kawasan Kalimantan Barat.
*****
Keyakinan akan janji Allah memang sangat penting. Setiap janji Allah itu pasti benar (inna wa’da Allâh haqqun). Artinya, janji itu pasti akan ditepati karena Allah sama sekali tidak memiliki kehendak atau irâdah untuk mengingkari janji (inna Allâha la yukhlifu al-mî’âd).
Keyakinan pada janji Allah akan membuat kita selalu merasa optimis sehingga kita tidak mudah putus asa dalam berjuang dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan, ancaman dan gangguan yang selalu menghadang. Rasa optimisme itu akan menjadi energi besar yang tidak akan pernah padam, yang akan mendorong para pengemban dakwah untuk selalu bergerak dan berusaha tidak mengenal lelah.
Kesabaran anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah dengan tetap teguh berpegang pada tharîqah atau metode dakwah Rasulullah saw. sejak berdirinya di tahun 50-an hingga sekarang—meski banyak sekali hambatan, tantangan dan gangguan yang menghalangi—menunjukkan besarnya pengaruh energi besar yang didorong oleh rasa optimisme akan keberhasilan perjuangan yang bertumpu pada janji Allah tersebut.
Namun, memahami dalil tentang janji Allah secara tidak tepat juga bisa kontra produktif. Maksudnya, tahu bahwa Khilafah telah dijanjikan Allah, lantas seseorang merasa tidak perlu lagi berjuang. Atau kalau pun berjuang, ia lakukan secara tidak tepat seperti yang sebelumnya dirasakan oleh teman-teman peserta daurah di Pangkalanbun tersebut. Karena itu, bisa dimengerti jika mereka kemudian benar-benar merasa sangat bersyukur bisa mengikuti daurah, karena menurut mereka, dalam daurah itu mereka mendapatkan pemahaman yang sangat mencerahkan. Dengarlah apa kata mereka. “Setelah mengikuti daurah ini, kami bagaikan katak baru keluar dari tempurung. Ternyata Islam begitu luas. Kami sangat bersyukur. Yang kami dapatkan pada hari ini sungguh sangat berharga. Lebih berharga daripada apa pun milik kami yang ada saat ini,” ungkap salah satu peserta lain sambil meneteskan air mata.
Mereka tentu merasa lebih bersyukur lagi ketika akhirnya pada 12 Agustur 2007 lalu mereka bisa hadir mengikuti Konferensi Khilafah Internasional bersama 100.000 peserta dari seluruh penjuru tanah air. Saya tidak tahu bagaimana perasaan mereka saat itu. Di tengah riuhnya suasana pagi itu, saya hanya sempat bertegur sapa sejenak. Yang pasti, setelah menjadi peserta daurah beberapa tahun silam, mereka kini berkesempatan menjadi saksi bagaimana gelora takbir dan kata-kata “Khilafah! Khilafah!” diteriakkan berulang-ulang dengan penuh semangat oleh seluruh peserta yang memenuhi di Gelora Bung Karno. Mungkin mereka berpikir, inikah tanda-tanda bakal terwujudnya janji Allah itu? Semoga. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]