Pengantar
Kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib sesungguhnya adalah salah satu kaidah kulliyah yang populer di kalangan para ulama dan tercantum dalam kitab-kitab ushul maupun fikih mereka. Kaidah ini juga dibahas dalam kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah (III/36-38) karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, tahun 1953. Tulisan ini merupakan telaah lebih lanjut terhadap kaidah ini sekaligus koreksi atas beberapa penggunaannya yang out of context, yang dilakukan oleh sebagian kalangan.
Kedudukan Kaidah
Kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib (Selama suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib) ini merupakan hukum syariah kullî. Disebut sebagai hukum syariah karena kaidah ini digali dari dalil-dalil syariah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, melalui dalâlah iltizâm yang terdapat di dalamnya. Misalnya, firman Allah Swt.:
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku (QS al-Maidah [5]: 6).
Ayat ini menyatakan, bahwa hukum membasuh tangan hingga siku-siku hukumnya wajib dalam wudhu. Kewajiban membasuh tangan hingga siku-siku tersebut tidak akan sempurna, kecuali dengan memasukkan bagian atas siku (lengan) dalam basuhan sehingga siku-sikunya pasti akan terbasuh. Jika tidak begitu, siku-siku yang menjadi batas yang harus dibasuh itu tidak akan terbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh bagian atas siku merupakan konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban membasuh siku-siku. Konotasi seperti ini bisa ditarik dari dalâlah iltizâm: ilâ al-marâfiq (sampai dengan siku). Dari kasus seperti inilah, lahir kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib.
Ini dilihat dari aspek dalil yang menjadi pijakan untuk menggali kaidah ini sehingga kaidah ini disebut sebagai hukum syariah.
Kaidah di atas juga disebut sebagai hukum kullî, karena ungkapan yang menjadi sandaran hukumnya—yaitu hukum wajib yang terdapat di dalam kaidah tersebut—adalah ungkapan kullî, yaitu: mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi.
Kaidah ini telah diterima oleh para ulama ushul maupun fikih. Dapat dikatakan, mereka telah sepakat untuk menggunakan kaidah ini. Hanya saja, sebagai kaidah, tetap statusnya bukan merupakan dalil, meski kemudian ada kasus-kasus yang bisa diturunkan (tafrî‘) dari kaidah tersebut, karena kaidah ini memang merupakan hukum kullî.
Cakupan Kaidah
Adapun cakupan kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi bisa meliputi dua aspek:
1. Kewajiban yang terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya. Misal: kalau Pembuat syariah menyatakan: Wajabat ‘alayka as-shalât in kunta mutathahhir[an] (Shalat hukumnya wajib atas kamu jika kamu telah bersuci).
2. Kewajiban yang tidak terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya, dengan kata lain, kewajiban tersebut bersifat mutlak.
Dalam konteks yang pertama, tidak ada perbedaan pendapat, bahwa memenuhi syarat tersebut hukumnya tidak wajib; yang wajib adalah melaksanakan hukum asal jika syaratnya telah terpenuhi. Misal: hukum thahârah (bersuci) sebagai syarat bagi shalat. Pada dasarnya, melaksanakan thahârah tidak wajib; yang wajib adalah melaksanakan shalatnya. Hanya saja, shalat wajib dilaksanakan ketika syarat thahârah-nya terpenuhi.
Untuk mewajibkan thahârah sebagai syarat bagi kewajiban shalat diperlukan dalil tersendiri, tidak bisa dengan serta-merta thahârah menjadi wajib. Dengan kata lain, memenuhi syarat berupa thahârah sebagai sebuah kewajiban tidak bisa diambil dari dalil kewajiban shalat, dengan menggunakan logika dalâlah iltizâm seperti di atas. Artinya, tidak bisa dibuat kongklusi, bahwa jika shalat hukumnya wajib maka thahârah yang dibutuhkan oleh shalat itu hukumnya juga wajib. Akan tetapi, kewajiban memenuhi syarat thahârah itu harus dinyatakan oleh dalil kasus thahârah (Lihat QS al-Maidah [5]: 6).
Karena itu, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil, dalam Taysir al-Wushûl ilâ al-Ushûl,menyatakan, bahwa konteks kewajiban yang pertama ini tidak bisa dimasukkan dalam kategori kaidah: Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib. Dengan kata lain, munculnya syarat thahârah tersebut tidak bisa ditarik dari logika dalâlah iltizâm atau kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib dari hukum asalnya, yaitu kewajiban shalat. Ia harus ditarik dari dalil kasus (dalîl tafshîli) thahârah, seperti QS al-Maidah [5) ayat 6 di atas.
Adapun konteks kewajiban yang kedua, yaitu kewajiban yang tidak terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya, atau dengan kata lain, kewajiban tersebut bersifat mutlak, maka dalil wajibnya hukum asal bisa mencakup hukum berikutnya. Dengan kata lain, wajibnya hukum kedua bisa ditarik dari logika dalâlah iltizâm wajibnya hukum yang pertama. Misalnya, sabda Nabi saw: “Sempurnakanlah puasa sampai waktu malam hari.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Hadis ini pada dasarnya mewajibkan agar puasa dilaksanakan hingga malam hari; malam hari merupakan batas pelaksanaan kewajiban tersebut. Namun, agar tujuan (ghâyah) ilâ al-layl (sampai di waktu malam hari) tersebut bisa dipenuhi maka maghyâ (target yang dituju)-nya harus diwujudkan, yaitu masuknya waktu pada bagian malam. Dengan kata lain, tenggelamnya matahari saja belum cukup, tetapi harus masuk pada bagian waktu malam. Konotasi seperti ini merupakan kongklusi logika dalâlah iltizâm, yakni sampainya waktu malam hari itu mengharuskan masuknya waktu tersebut pada bagian malam. Karena itu, kewajiban puasa hingga waktu malam itu tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan masuknya waktu pada bagian malam.
Dalam konteks yang kedua inilah kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib tersebut berlaku. Kaidah tersebut dalam hal ini meliputi dua kategori:
(1) Syarat1) yang mampu dilaksanakan oleh pihak yang terkena kewajiban (mukallaf);
(2) Sebab2) yang mampu dilaksanakan oleh pihak yang terkena kewajiban (mukallaf).
Untuk kategori yang pertama (syarat), baik Ahlusunnah maupun Muktazilah telah sepakat, bahwa syarat tersebut hukumnya juga wajib bagi orang mukallaf, sebagaimana hukum kewajiban yang pertama.3)
Syarat tersebut bisa meliputi: (1) syarat syar‘i, seperti haul bagi wajibnya zakat; (2) syarat ‘aqli (nalar), seperti meninggalkan kebalikan dari perkara yang diperintahkan, dalam konteks perintah yang diwajibkan; (3) syarat konvensional, seperti membasuh muka disyaratkan mulai dari tempat tumbuhnya rambut, dan seluruh bagian wajah yang tampak dari depan dalam kasus wudhu.
Adapun untuk kategori yang kedua (sebab) juga telah disepakati kewajibannya. Dalam hal ini, bisa meliputi: (1) sebab syar‘i, seperti akad dalam konteks kepemilikan bagi masing-masing penjual dan pembeli; (2) sebab ‘aqli (nalar), seperti berpikir dalam kaitannya dengan keyakinan berakidah; (3) sebab konvensional, seperti terpotongnya leher sebagai sebab sah dan tidaknya pemotongan hewan.4)
Dengan demikian, cakupan kaidah: Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib tersebut berlaku secara umum, baik dalam konteks syarat maupun sebab. Hanya perlu dicatat, bahwa syarat yang ditetapkan dalam konteks ini berbeda dengan syarat pada konteks yang pertama. Dalam konteks yang pertama, kedudukan syarat tersebut merupakan syarat bagi kewajiban (masyrûth al-wujûb), sementara dalam konteks ini kedudukan syarat tersebut merupakan syarat pelaksanaan (masyrûth al-wuqû’).5) Contoh mengangkat amîr al-mu‘minîn (khalifah) yang wajib ditaati—ketika obyek yang wajib ditaati—itu tidak ada, hukumnya adalah wajib, sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Perintah untuk menaati ûlî al-amri (imam atau khalifah) tidak bisa dilakukan jika obyek yang wajib ditaati (ûlî al-amri) tadi tidak ada. Karena itu, perintah untuk menaatinya sekaligus menjadi perintah untuk mewujudkannya sehingga ketaatan kepada ûlî al-amri tersebut bisa diwujudkan. Dengan kata lain, kewajiban untuk mengangkat dan mewujudkan ûlî al-amri itu merupakan syarat agar kewajiban untuk menaatinya bisa diwujudkan. Inilah yang disebut masyrûth al-wuqû‘. Meski ketentuan mengangkat dan mewujudkan hal tersebut tidak dituangkan secara eksplisit dalam nash al-Quran di atas, ketentuan tersebut status hukumnya sama dengan status hukum wajibnya menaati ûlî al-amri yang eksplisit itu. Jadi, hukum mengangkat dan mewujudkan ûlî al-amri itu wajib, sama wajibnya dengan menaati ûlî al-amri itu sendiri. Karena itu, menaati ûlî al-amri itu merupakan dalâlah iltizâm (indikator yang membawa konsekuensi) wajibnya mengangkat dan mewujudkan ûlî al-amri.
Ketika perintah untuk mengangkat dan mewujudkan ûlî al-amri—yang hukumnya wajib—itu tidak bisa dilaksanakan, kecuali dengan adanya partai politik Islam yang mempunyai kemampuan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut, maka adanya partai politik Islam seperti ini hukumnya juga wajib; sama wajibnya dengan mengangkat dan mewujudkan ûlî al-amri itu sendiri. Penarikan kongklusi logis seperti ini juga merupakan derivat (turunan) dari dalâlah iltizâm atau kaidah: Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib.
Cara Menurunkan Kaidah
Meski sebagian ulama ushul menganggap sama antara kaidah: Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib[un], fath ad-dzarî‘ah dan muqaddimah, sebenarnya masing-masing berbeda. Penggunaan kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib terikat dengan ketentuan dalâlah iltizâm, baik dalam konteks sebab maupun syarat pelaksanaan, dan bukannya syarat bagi kewajiban. Adapun penggunaan fath ad-dzarî‘ah dan muqaddimah tersebut bersifat lebih terbuka. Sebagai contoh, pemilihan wakil rakyat dalam rangka mewakili umat untuk menegakkan Islam adalah persoalan yang urgen dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan, sementara apa saja yang menjadi perangkat yang urgen dalam mencapai tujuan tersebut hukumnya juga wajib. Karena itu, Pemilu dalam rangka memilih wakil rakyat untuk tujuan tersebut hukumnya juga wajib, karena kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib.6)
Sebenarnya kongklusi seperti ini ditarik dengan menggunakan logika silogistik (mantik), bukan dengan kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib[un]. Karena premis yang pertama salah, maka kongklusinya pun salah. Kesalahan premis yang pertama itu terletak pada: Pemilihan wakil rakyat dalam rangka mewakili umat untuk menegakkan Islam adalah persoalan yang urgen dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Padahal hukum wakalah tetap mubah, demikian halnya Pemilu sebagai uslûb, hukumnya juga mubah.
Contoh lain, mengambil zakat hukumnya adalah wajib (lihat: QS at-Taubah [9]: 103). Untuk melaksanakan kewajiban tersebut dibutuhkan adanya sarana, seperti mobil, alat penghitung, dan lain-lain. Dengan logika fath ad-dzarî‘ah atau muqaddimah tersebut, status sarana—termasuk cara-cara yang digunakan—tersebut menjadi wajib. Padahal mobil dan alat penghitung—termasuk cara-cara yang digunakan—tersebut statusnya tetap sebagai sarana (wasîlah) dan uslûb yang tetap mubah, tidak bisa berubah menjadi wajib hanya karena semata-mata dibutuhkan dalam melaksanakan kewajiban untuk mengambil zakat.
Sama dengan pendapat yang menyatakan, bahwa haji ke Tanah Suci hukumnya adalah wajib, sementara untuk ke sana membutuhkan pesawat. Karena itu, hukum mengadakan pesawat untuk naik haji tersebut menjadi wajib, dengan alasan: Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib. Padahal hukum pesawat sebagai sarana tetap saja mubah, demikian juga dengan hukum menaikinya untuk sampai ke Tanah Suci.
Cara mengambil kesimpulan seperti ini merupakan bentuk pengambilan dengan menggunakan logika fath ad-dzarî‘ah atau muqaddimah, dan bukan dengan Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib[un].
Kesimpulan
Dengan pemaparan di atas, jelas tidak dibenarkan menggunakan kaidah ini secara serampangan dan keluar dari konteksnya. Menjustifikasi kongklusi mantik—meski kemudian sama hasilnya—dengan kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib ini juga tidak dibenarkan. Sebab, analogi mantik tidak bisa digunakan sebagai metode untuk menggali maupun menderivat hukum syariah. Menyamakan kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib dengan fath ad-dzarî‘ah atau muqaddimah juga merupakan kesalahan. Wallâhu a‘lam. [KH. Hafidz Abdurrahman, MA]
Catatan kaki:
[1] Syarat yang dimaksud adalah sesuatu yang ketiadaannya mengharuskan ketiadaan hukum asal, sementara keberadaannya tidak mengharuskan ada dan tidaknya hukum asal. Misalnya, haul (usia setahun) adalah syarat bagi wajibnya zakat emas dan perak; jika emas dan perak tersebut belum berusia satu tahun di tangan pemiliknya, maka tidak wajib dizakati. Namun, adanya usia kepemilikan setahun itu juga tidak serta-merta mengharuskan adanya hukum zakat, seperti ketika nishâb emas dan perak tersebut masih kurang.
[2] Sebab yang dimaksud adalah sesuatu yang ada dan tidaknya akan mengharuskan ada dan tidaknya hukum asal. Misalnya, ada dan tidaknya akad (ijab dan kabul) akan mengharuskan ada dan tidaknya kepemilikan kedua belah pihak, penjual dan pembeli atas masing-masing uang bagi penjual, dan barang bagi pembeli. Artinya, melalui akad tersebut, pihak pembeli akan mendapatkan barang pihak penjual, sementara pihak penjual juga akan mendapatkan uang pihak pembeli.
[3] Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkâm, I/111; Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/36-37.
[4] Lihat: an-Nabhani, Ibid., III/ 38.
[5] Lihat: Al-Amidi, Ibid., I/111; An-Nabhani, Ibid., III/36.
[6] Ini adalah pendapat Dr. Abdul Karim Zaidan. Lihat: Abdul Karim Zaidan, Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Syariah, Syamil, Bandung, cet. I, 2003, hlm. 21-22.