Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota.
Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan ajaran Islam. Tidak jarang dalam serat piwulang karyanya, ia mengutip langsung ayat-ayat al-Quran dan hadis demi memperkuat nasihat yang disampaikannya.
Kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa pakepung yang terjadi pada awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.
Peristiwa Pakepung
Peristiwa pakepung terjadi pada tahun 1790 ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis, yaitu adanya persaingan antar kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut peristiwa pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di tanah Arab.1
Peristiwa pakepung (Oktober-Desember 1790), sebagaimana diceritakan dalam babad pakepung,2 berawal dari pengangkatan empat kyai dan santri—Kyai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh—sebagai abdi dalem. Keempatnya menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).
Pengaruh keempat abdi dalem kyai ini ternyata begitu besar pada Sunan sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasihatnya. Sunan Paku Buwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan–perubahan, seperti:
1. Abdi dalem yang tidak patuh pada syariah agama ditindak, digeser dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.
2. Sunan Paku Buana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran agama Islam. Setiap hari Jumat, Sunan ini juga pergi ke masjid besar untuk melaksanakan shalat Jumat, bahkan sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khutbah Jumat.
Peristiwa yang terjadi di Keraton Surakarta ini menimbulkan kekhawatiran pihak Kumpeni dan Kasultanan Yogyakarta. Kumpeni kemudian mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve.3 Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Sumber Kolonial menyebut Wiradigda, Bahman, Kandhuruhan, Panengah dan Nur Saleh sebagai panepen yang berarti alim ulama.4 Sumber dari tradisional Jawa, seperti babad pakepung dan serat wicara keras menyebutnya dengan istilah abdi dalem santri.
Setelah terjadi negosiasi, namun buntu, akhirnya pasukan Kumpeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran mengepung Keraton Surakarta dari segala penjuru.
Sunan Paku Buana IV, melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonny,a merasa gentar juga. Akhirnya, atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.
Berdasarkan kenyataan ini, kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh gerakan keagamaan, termasuk ketika Sunan Paku Buwana IV menuntut kepada Kumpeni agar semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.
Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan Paku Buwana IV banyak terpengaruh oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang mempunyai kecenderungan anti Kumpeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang dominasi Kumpeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari, seorang ulama besar sekaligus guru Tarekat Naqsabandiyah.5
Wiryakusumah yang hidup di komunitas orang-orang buangan dari Nusantara mengenal nama dan ajaran tokoh ini, meskipun Syaikh Yusuf sendiri telah meninggal dunia dan dimakamkan di sana. Sikap keagamaan Wiryakusumah yang mengamalkan dzikir dan wirid telah memperkuat indikasi adanya pengaruh ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dalam dirinya. [Bersambung]
Catatan kaki:
1 H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, (s- Gravenhage-Bandung: W. van hope, 1949), hlm. 279.
2 – Babad Pakepung, Suntingan Teks, Analisis Struktur dan Resepsi, (Yogyakarta: Tesis S2 Universitas Gajah Mada, 1990).
– Serat Babad Pakepung, Alih aksara oleh Sri Sulistyowayi, (Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 – Reel 101 #2)
3 Lihat: J.K.J. de Jong dan M.L. Deventer (eds.), de Opkomstvan het NederlandschGezg in Oost Indie, verzamling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-kolonial Archief, Volume XII, (s’Gravenhage: Martinus Nijhoff), 1909), hlm. 209-228.
4 Opkomst, op. cit., hlm. 123.
5 Lihat: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan , 1992), hlm. 34-42.