HTI

Nisa' (Al Waie)

Mempersiapkan Anak Menikah Dini

Pernikahan Luthfiana Ulfa (pelajar SMP berusia 12 tahun) dengan Syekh Puji (Pengusaha asal Semarang) beberapa waktu lalu membuka wacana di kalangan umat Islam tentang pernikahan seorang gadis kecil. Kita mungkin tak perlu terlalu peduli dengan pendapat-pendapat tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, selebriti yang punya anak gadis kecil ataupun selebriti-selebriti anak sendiri. Sebab, pendapat-pendapat mereka, meskipun dari kalangan Muslim, hanya bersumber pada ungkapan perasaan; sama sekali tidak merujuk pada syariah Islam. Namun, yang cukup mengusik perasaan orangtua Muslim, yang selama ini berupaya berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menerapkannya pada keluarga mereka adalah pertanyaan, “Bagaimana bila gadis kecilmu dilamar orang?”

Di sinilah muncul beragam komentar. “Yah, memang hukum nikahnya boleh, tapi kalau saya sih belum siap melepas anak gadis saya sendiri. Biar belajar dulu deh.” Padahal anak gadisnya sudah SMA. Usianya sudah melebihi Ulfa.

Ada lagi yang mengatakan, “Laki-laki sekarang kurang bisa dipercaya, jangan-jangan nanti anak kita menderita.”

Pendapat ini tampak sangat pesimistis, tetapi memang bisa dimaklumi pada saat dunia Muslim saat ini dikepung kultur konsumtif, materialistis, individualis, hedonis dan berbagai produk turunan ideologi Kapitalisme. Banyak sekali alasan, yang intinya tidak ada yang berani melepas gadis kecilnya menikah di usia dini.


Cepat Dewasa, Lambat Berpikir

Generasi Muslim saat ini mengalami masa kelambatan berpikir. Sebaliknya, fisik mereka digempur oleh situasi yang mempercepat kedewasaan biologis. Kita seolah terbiasa memandang anak-anak SD kelas 3, 4, 5 dan 6, sebagai “anak-anak”. Bahkan usia SMP dan SMA pun masih dipandang anak-anak. Kalimat “Jangan rampas kegembiraan usia kanak-kanak mereka” dipahami sebagai hidup tanpa tanggung jawab. Sarapan pagi masih disiapkan, baju-baju dan sepatu masih dicucikan, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan pembantu, dan akhirnya anak-anak kita  pun terbiasa hidup tanpa kemandirian.

Kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah pun tidak menjamin anak untuk mengalami kematangan berpikir. Ilmu yang dipelajari hanya menjadi memori singkat, tanpa mengerti bahwa ilmu itu harus menjadi alat untuk menyelesaikan masalah kehidupan.

Di sisi lain, kultur kehidupan masyarakat memacu hormon-hormon pertumbuhan, termasuk di antaranya hormon seksualitas. Aurat wanita terpampang di mana-mana. Kehidupan bebas antara pria dan wanita semakin memicu kematangan seksual. Media-media massa membombardir mata masyarakat dengan tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan kehidupan seks bebas. Sarana internet yang seharusnya menjadi alat bantu bagi dunia pendidikan justru mempercepat hancurnya moral bangsa.

Manusia dewasa di sekitar anak-anak kenyataannya juga tidak bisa  menjadi contoh yang baik. Hidup di dunia manusia dewasa dalam kacamata anak adalah belajar bagaimana kebohongan-kebohongan dengan mudahnya terucap dari lisan, materi dan kesenangan dunia menjadi fokus perhatian utama. Mengabaikan janji, melanggar komitmen, mempertukarkan harga diri dengan prestise dan kedudukan duniawi, korupsi, suap-menyuap, perselingkuhan hingga mengabaikan tanggung jawab menjadi pelajaran-pelajaran yang diserap anak dari dunia manusia dewasa.

Anak tak pernah mendapatkan informasi dan pelajaran bagaimana hidup bertanggung jawab. Anak tak pernah dibekali informasi tentang kewajiban-kewajiban yang harus mereka pikul begitu mereka beranjak dewasa. Orangtua tak pernah mengajarkan: bagaimana menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaan diri; bagaimana menutup aurat dan tidak menghinakan diri; bagaimana bergaul dengan lawan jenis; bagaimana  memenuhi kebutuhan hidup dengan baik, halal dan bertanggung jawab; serta bagaimana peduli terhadap persoalan yang menimpa kaum Muslim.

Wajarlah jika anak-anak kita tak pernah dewasa, tak mampu menjadi pemimpin bahkan untuk dirinya sendiri. Sebab, dunia orangtua pun miskin dari sikap dewasa dan bertanggung jawab.


Anak Juga Tanggung Jawab Negara

Ketika anak-anak terhambat untuk mencapai kematangan berpikir di usia dewasa, maka negara kehilangan generasi pemimpin yang berkualitas. Wajar jika negeri ini hanya menjadi pecundang. Para pemimpin tak menyadari bahwa musuh-musuh Islam sedang menghentikan laju progresivitas umat Islam.

Ketika Islam menetapkan kedewasaan adalah saat anak mulai akil balig secara biologis, maka saat itulah sebenarnya potensi kematangan berpikir bisa berfungsi optimal. Namun, berbagai UU yang digulirkan justru bagaikan memutar jarum jam agar berhenti bahkan kalau bisa bergerak terbalik. Istilah anak pun dikaburkan. UU Perkawinan yang berlaku saat ini pun telah memundurkan target kedewasaan berpikir seorang anak, dari usia 9 tahun menjadi 16 tahun. Itu pun masih ditutupi dengan UU Perlindungan Anak yang menambah mundur istilah anak menjadi usia 18 tahun.

Di sisi lain, kehidupan bebas mempercepat kematangan biologis anak. Disiapkanlah rancangan yang semakin merusak dengan legalisasi perzinaan yang tersembunyi secara manis di balik program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Ketika remaja putri terjerumus dalam situasi “Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD)” akibat pergaulan bebas, telah siap pula paket kejahatan legalisasi aborsi yang terlipat rapi di balik program penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).

Jelaslah bahwa  seharusnya persoalan anak adalah tanggung jawab negara. Sebab, seluruh skenario keji untuk menghancurkan sebuah bangsa ini ada di bawah payung kebijakan-kebijakan negara.


Solusi Praktis

Ketika seorang anak memasuki usia akil balig, mereka harus mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang Muslim dan Muslimah dewasa. Di sinilah orangtua harus memperhitungkan secara cermat bagaimana tahap tumbuh kembang anak dan kapan saat anak-anak mereka memasuki usia dewasa. Untuk itu pendidikan yang pertama adalah tanggung jawab orangtua. Orangtua yang harus mengantarkan anak menjadi seorang Muslim dewasa yang sempurna. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR Muslim).

Beberapa kiat bagi orangtua untuk menyiapkan anak agar mampu menikah bahkan di usia awal kedewasaannya adalah:

  1. Orangtua harus memahami kapan Islam menetapkan anak memasuki masa  kedewasaannya. Masa awal kedewasaan anak perempuan adalah saat ia pertama kali mengalami haid dan anak laki-laki ketika mengalami mimpi basah. Anak perempuan bisa dianggap dewasa kurang-lebih saat berusia 9 tahun dan anak laki-laki kira-kira ketika berusia 15 tahun.
  2. Orangtua untuk merancang sistem pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Pendidikan bertujuan untuk menyiapkan pola pikir dan pola sikap yang islami. Untuk itu, rancangan kurikulum yang tepat adalah membangun kemampuan berpikir islami pada anak sesuai dengan tahapan usianya. Kurikulum ini dimulai sejak anak usia dini yang bertujuan untuk mengoptimalkan wadah berpikirnya yakni panca indera dan otak, mengisinya dengan informasi yang baik, benar dan tepat (tsaqâfah Islam dan ilmu penunjang) serta memberikan pola mekanisme agar  potensi berpikirnya bisa berjalan benar.
  3. Orangtua tidak boleh menyerahkan pendidikan yang bertujuan mematangkan kemampuan berpikir dan berperilaku ini kepada lembaga formal semata. Sebab, mayoritas ritme kehidupan anak ada di tengah keluarganya. Untuk itu, pendidikan harus diterapkan pertama kali dalam keluarga. Lembaga formal hanya menjadi alat bantu untuk menambah informasi dan wawasan bagi anak. Orangtuanyalah yang harus bertanggungjawab membentuk dan mengawasi apakah pola mekanisme berpikir dan berperilaku ini telah terbentuk pada anak.
  4. Orangtua adalah teladan yang pertama bagi anak. Karena itu, orangtua adalah contoh terbaik bagi anak dalam menerapkan pola berpikir dan meneladani bagaimana mengarahkan kecenderungan bersikap. Orangtua harus menyadari bahwa setiap saat ia bertemu dengan anak adalah saat anak mempelajari kehidupan dan bagaimana memecahkan persoalan-persoalannya sesuai tuntunan Islam.
  5. Seorang ibu memegang peranan penting dan utama bagi anak-anak, secara khusus anak-anak perempuan. Dengan demikian, ibu harus memiliki kesadaran bahwa anak-anaknya adalah bagian dari  seluruh irama hidupnya.  Pembinaan bagi kaum perempuan agar menjadi ibu berkualitas yang mampu mendidik dan membina  anak-anaknya harus menjadi perhatian penting masyarakat dan negara.
  6. Ayah dan ibu harus menjadi teladan anak-anak mereka. Anak-anak perempuan harus  mampu menjadi ibu yang baik, pendamping suami sejati, pendidik dan pembina generasi Muslim yang berkualitas sebagai peran pentingnya bagi kebangkitan Islam dan kaum Muslim. Anak laki-laki akan mampu menjadi suami dan ayah yang mampu memenuhi kebutuhan keluarga, mengayomi istri dan anak-anaknya serta menjadi pemimpin yang bertanggungjawab. Ayah berperan memberikan keteladanan bagi anak laki-laki bagaimana menjadi seorang pemimpin keluarga yang baik.
  7. Kesadaran tentang arti dan tujuan kehidupan harus ditanamkan sejak usia dini. Dengan itu, anak selalu memandang bahwa dunia adalah ajang untuk beramal yang terbaik dan berjuang untuk meraih kemuliaan sebagai seorang Muslim. Pendidikan keluarga akan membentuk anak memiliki karakter seorang Muslim yang baik dan  pejuang Islam yang tangguh.
  8. Pernikahan anak bukan berarti menghilangkan tanggung jawab sebagai orangtua. Keteladanan Rasulullah saw. dalam membina putri tercintanya Fathimah az-Zahra ra. dengan  Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. yang saat itu juga berusia muda sangat penting dipelajari oleh para orangtua. Saat biduk rumah tangga keduanya didera kesulitan ekonomi, dihiasi konflik suami-istri, maka Rasulullah saw. turun tangan; memberikan nasihat-nasihat berharga bagi pasangan muda ini untuk tetap teguh mengarungi hidup dan menempuh kebahagiaan berumah tangga.
  9. Kerjasama yang baik antara orangtua dan menantu ketika mempelai putri adalah gadis kecil diteladankan dengan sangat mulia oleh Rasulullah saw. bersama Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang saat itu adalah mertuanya dari istri yang masih sangat belia, Aisyah binti Abu Bakar ra. Gadis kecil Aisyah bagai beralih mengalami masa pertumbuhan menuju kedewasaan yang sempurna dari rumah Abu Bakar, ayahnya,  ke rumah Rasulullah saw., suaminya. Aisyah memboyong mainan dan bonekanya ke rumah suaminya dan ia tumbuh secara nyaman dalam suasana yang selalu membahagiakan. Namun, Rasulullah juga mengajarkan bagaimana kehidupan perjuangan dan menempuh tantangan-tantangan hidup. Pada usia 10 tahun Aisyah ra. sudah turut andil di medan Perang Uhud, membawa air di atas pundaknya untuk memberi minum para Mujahidin. Keberanian dan ketangguhan Asiyah ra. mencengang-kan para Sahabat Rasulullah saw. Ketinggian ilmu hasil pendidikan suaminya mampu menempatkannya sebagai guru di antara para Sahabat Rasulullah Saw.

Dengan semua itu, menikah dini bukanlah tantangan yang rumit dan tersulit bagi generasi ini. Mengapa harus dipersoalkan? []

Ir. Lathifah Musa:

DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.

Pengamat dunia anak-anak dan praktisi Home Schooling dalam keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*