HTI

Ibrah (Al Waie)

Dakwah Fardiyah

Keterlibatan setiap individu Muslim dalam sebuah jamaah dakwah merupakan kewajiban dari Allah Swt. sebagai implementasi dari seruan-Nya (yang artinya): Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang mendakwahkan Islam dan melakukan amar-makruf nahi mungkar (TQS Ali Imran [3]: 103).

Namun demikian, kewajiban dakwah secara berjamaah (kolektif) ini tidaklah menggugurkan kewajiban dakwah secara fardiyah (individual). Dakwah fardiyah tidak lain merupakan pilar penopang dakwah secara berjamaah.

Sayangnya, ada semacam ’sindrom’ yang—disadari atau tidak—sering diidap oleh sebagian aktivis jamaah dakwah. Bergabungnya mereka ke dalam jamaah dakwah, bahkan menjadi anggota tetapnya, acapkali membuat mereka lupa untuk melakukan amalan-amalan dakwah fardiyah. Tidak sedikit aktivis suatu jamaah dakwah merasa telah berdakwah hanya karena mereka tercatat sebagai anggota jamaah dakwah tersebut. Padahal mungkin yang mereka lakukan selama bertahun-tahun sekadar mengikuti halaqah, membayar infak bulanan, atau membaca buletin mingguan yang diterbitkan jamaah dakwahnya. Secara fardiyah, tidak ada yang dilakukannya selain itu; tidak melakukan kontak-kontak dakwah secara individual; tidak melakukan pembinaan; tidak mengisi acara-acara pengajian; tidak pula berusaha menyebarluaskan ide-ide yang diadopsi jamaahnya, meski sekadar dengan menyebarluaskan buletin dakwah sekaligus menjelaskan isinya kepada masyarakat.

Padahal jelas, kedudukannya sebagai anggota suatu jamaah dakwah tidak secara otomatis akan menyelamatkan dirinya dari azab Allah Swt. pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak berdakwah. Mengapa? Sebab, amal jamaah dakwah tidaklah mewakili amal individu anggotanya. Allah Swt. pun tidak akan pernah menghisab dan meminta pertanggungjawaban manusia secara kolektif, tetapi pasti secara individual. Dengan kata lain, Allah Swt. hanya akan menilai amalan-amalan dakwah fardiyah seseorang secara nyata sebagai bagian dari jamaah dakwahnya. Allah Swt. berfirman: Lahâ mâ kasabat wa ’alayhâ ma iktasabat (Bagi setiap orang ada pahala atas kebajikan yang dikerjakannya dan azab atas keburukan yang dikerjakannya) (QS al-Baqarah [2]: 286).

Amir jamaah dakwah pun tidak akan menanggung dosa anggotanya yang meninggalkan dakwah meski mungkin ia masih tercatat secara resmi sebagai anggotanya. Allah Swt. berfirman: Walâ taziru wâzirat[un] wizra ukhrâ (Seseorang tidak menanggung dosa orang lain (QS al-An’am [6]: 164; al-Isra’ [17]: 15; Fathir [35]: 18; az-Zumar [39]: 7; an-Najm [53]: 38 ).

*****

Jamaah dakwah tidaklah seperti sebuah perusahaan, yang mungkin di dalamnya terdiri dari ’sekutu aktif’ (yang terlibat penuh dalam pengelolaan perusahaan) dan ’sekutu pasif’ (yang sekadar menanamkan investasi atau memiliki saham perusahaan tanpa terlibat dalam pengelolaan perusahaan). Tidak ada istilah ’sekutu pasif’ dalam sebuah jamaah dakwah. Karena itu, sebesar apapun ’investasi’ atau ’saham’ yang diberikan oleh seorang anggota jamaah dakwah—dalam bentuk infak rutin atau tabarru’ât untuk kepentingan dakwah—tidaklah akan menggantikan kewajibannya berdakwah secara aktif bersama-sama jamaah dakwah, tentu selama ada kemampuan.

Bukankah Abu Bakar ra., Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin Affan ra., atau Abdurrahman ra. adalah di antara para Sahabat Nabi saw. yang paling banyak menginfakkan hartanya di jalan dakwah? Namun, bukankah pula mereka tetap berada di garda terdepan dalam perjuangan di medan dakwah, bukan di belakangnya, apalagi sampai meninggalkan dakwah hanya karena secara materi sudah berkontribusi banyak untuk dakwah?

Abu Bakar ra. pernah menginfakkan semua harta miliknya untuk perjuangan dakwah. Namun, Abu Bakar pun selalu mengiringi Baginda Nabi saw. dalam setiap aktivitas dakwah Beliau. Bahkan Abu Bakarlah ’tameng hidup’ Baginda Nabi saw. saat Beliau dilempari batu oleh orang-orang kafir. Abu Bakar pula yang menyertai Baginda Nabi saw. dalam perjalanan yang penuh dengan ancaman bahaya saat keduanya berhijrah ke Madinah al-Munawwarah.

Keterlibatan dakwah secara aktif dan konsisten juga dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab ra. yang pernah menginfakkan setengah hartanya di dalam perjuangan dakwah; atau Utsman bin Affan yang pernah membiayai sendiri 10 ribu pasukan kaum Muslim dengan memberi mereka masing-masing seekor kuda tunggangan dan peralatan perang yang lengkap; atau juga Abdurrahman bin Auf yang pernah menginfakkan 200 ’uqyah emas dalam suatu peperangan; menginfakkan 700 ekor unta dengan seluruh muatannya untuk fakir miskin di Madinah; serta menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar (sekitar Rp 42,5 miliar, dengan asumsi 1 gr emas=Rp 250 ribu) yang hasilnya diinfakkan untuk Bani Zuhra serta orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin maupun Anshar.

Lebih dari itu, dengan mencermati sirah perjuangan dakwah Rasulullah saw., akan dijumpai bahwa dalam kutlah (jamaah) dakwah Rasulullah saw. yang beranggotakan para Sahabat—baik pria atau wanita; baik kaya atau miskin; baik dari kalangan terhormat atau kalangan biasa—tidak ditemukan adanya seorang Sahabat pun yang kemudian diam dan tidak melakukan aktivitas dakwah. Semua anggota kutlah dakwah Rasulullah saw. aktif berdakwah; tidak ada yang sekadar menjadi penonton.

*****

Mengemban dakwah adalah bagian dari ibadah (pengabdian) kita kepada Allah Swt. Itu harus kita lakukan tanpa henti dan tanpa mengenal kata istirahat. Hanya kematianlah yang boleh menghentikan aktivitas ibadah kita, termasuk dakwah kita. Itulah yang Allah telah perintahkan kepada kita, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Sembahlah Tuhanmu hingga datang kematian (TQS al-Hijr [15]: 99).

Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk tidak mengenal lelah dalam beribadah kepada Allah Swt., termasuk dalam mengemban dakwah sebagai bagian dari ibadah itu. Dengan itulah, insya Allah, pertolongan Allah akan lebih cepat kita peroleh, dan cita-cita berupa tegaknya syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah Islamiyah akan segera terwujud.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Arief B.I.]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*