Demokrasi, Kemuliaan Perempuan dan Kesetaraan
Perempuan dalam wacana demokrasi adalah sosok yang setara dengan laki-laki, yakni sebagai individu yang berdaulat penuh atas dirinya. Pandangan terhadap perempuan harus tegak di atas prinsip kesetaraan yang adil. Yang dimaksud adil adalah tidak membedakan manusia atas dasar fungsi reproduksi. Dengan demikian, tidak diterima adanya pembagian fungsi dan peran dalam struktur sosial masyarakat, termasuk dalam keluarga.
Perbedaan dalam organ reproduksi seperti kemampuan rahim untuk mengandung dan melahirkan anak atau kemampuan menyusui, tidak berarti mendudukkan perempuan pada peran reproduksi semata. Perbedaan ini hanya dipandang sebagai hak perempuan menjalankan peran reproduksi, tetapi bukan kewajiban. Dengan demikian, wacana yang berkembang dalam alam demokrasi adalah betapa tidak adilnya ketika perempuan harus menjalankan peran sebagai ibu, pengasuh anak kecil, pengelola rumah tangga dan berbagai aktivitas domestik lainnya. Kondisi ini dipandang menghambat ketidaksetaraan dalam upaya meraih peran di sektor publik.
Indikator Keberhasilan: Kebebasan Perempuan
Persoalan perempuan seperti kemiskinan, kebodohan, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan dan lain sebagainya dipandang berawal dari tidak adanya peran perempuan dalam kebijakan pengelolaan sistem masyarakat. Dominasi peran laki-laki di sektor publik menyebabkan kepentingan perempuan terpinggirkan. Kebijakan yang dilahirkan dipandang tidak memperhatikan kepentingan perempuan. Sulit memahami adanya sensitivitas kaum laki-laki untuk mengerti dan memahami apa yang diinginkan perempuan. Dengan demikian, perjuangan yang dianggap paling berhasil untuk mengubah kebijakan agar berpihak pada perempuan adalah dengan mendudukkan perempuan dalam penentu kebijakan, khususnya di legislatif dan eksekutif.
Persoalannya, perjuangan membela kepentingan perempuan ini sering terganjal kultur masyarakat dan nilai-nilai agama (khususnya Islam) yang menempatkan perempuan secara dominan di sektor domestik. Apalagi Islam memberikan keterbatasan ruang bagi seorang perempuan untuk berkiprah di sektor publik. Misal: adanya kewajiban untuk meminta ijin pada suami ketika keluar rumah, keharusan adanya mahram untuk menemani safar, atau larangan berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram-nya yang dipandang menghambat kebebasan perempuan untuk keluar rumah.
Prinsip kebebasan yang merupakan hal mendasar dalam demokrasi akhirnya membuat pandangan terhadap agama pun harus ditundukkan dalam perspektif kebebasan manusia; manusia bebas memberikan pandangan apapun terhadap apapun, bahkan agama sekalipun. Kedaulatan di tangan manusia memberikan ruang bagi akal untuk menetapkan penilaian dan aturan. Apa yang baik bagi manusia menurut pandangan manusia, harus didukung oleh agama.
Inilah sebabnya mengapa hal yang dipandang strategis untuk mengatasi hambatan kultural (yang bersumber pada ajaran agama Islam) yang tidak berpihak pada perempuan adalah mengubah terlebih dulu cara pandang keagamaan, khususnya yang terkait dengan perempuan. Nash-nash yang menguatkan posisi perempuan dalam peran kerumahtanggaan harus ditinjau kembali penafsirannya agar sesuai dengan cara pandang demokrasi. Nash-nash yang mengokohkan peran perempuan sebagai ibu dan istri harus direvisi penafsirannya agar tidak menghambat kebebasan perempuan untuk berkiprah di sektor publik. Nash-nash yang menggunakan kata setara, seperti dalam QS al-Hujurat ayat 13 (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa,” diambil pesan kesetaraannya (al-musawwah). Kemudian al-musawwah ini menjadi kaidah untuk menafsirkan nash-nash al-Quran dan hadis yang lain, bahkan bisa menjadi alasan untuk me-naskh (menghapus) ayat-ayat yang dipandang tidak sesuai dengan tafsiran kesetaraan ala demokrasi.
Menafikan Kemuliaan Wahyu
Cara pandang demokrasi telah jelas menolak kebenaran dan kemuliaan wahyu Allah Swt. Agama dipandang tidak layak dan tidak relevan untuk mengatur persoalan perempuan. Sekalipun kalangan pejuang kebebasan perempuan menggunakan dalih agama sebagai sumber dalam merumuskan nilai-nilai luhur bagi seluruh manusia, pada hakikatnya mereka sama sekali tidak meyakini kebenaran agama untuk mengatur manusia. Agamalah yang harus tunduk pada kemauan manusia.
Wajar saja, dengan alasan demokrasi, di Indonesia pernah mengemuka usulan semacam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang mengusulkan kebolehan kawin mu’tah; perempuan boleh menikah tanpa wali; Muslimah boleh menikah dengan non-Muslim; poligami diharamkan; anak di luar nikah juga memiliki hak waris dari ayah biologisnya. Semuanya mengatasnamakan penafsiran agama. Padahal semua itu sama sekali tidak merujuk pada nash-nash keagamaan. Bahkan yang terjadi justru memanipulasi penafsirannya.
Dalam demokrasi pun menguat usulan untuk tidak mengatur urusan pornografi dan pornoaksi, melegalkan aborsi tanpa alasan apapun, melokalisasi prostitusi, membiarkan hubungan sejenis seperti homoseksual dan lesbian, dll.
Demokrasi mendorong kaum perempuan untuk berjuang sendiri di legislatif dan eksekutif. Perempuan harus memperjuangkan aspirasinya sendiri. Perempuan harus berjuang agar kebijakan yang digulirkan negara berpihak kepada kaum perempuan.
Dalam demokrasi, perempuan berhak tidak mau hamil, tidak menyusui anaknya, meninggalkan bayinya kapan pun ia mau, tidak perlu taat pada suami, tidak terikat dengan pekerjaan rumah tangga dan bebas berinteraksi dengan laki-laki manapun.
Merusak Kemuliaan dan Kehormatan Perempuan
Dengan strategi membebaskan perempuan untuk berbuat semaunya, disadari atau tidak, demokrasi sesungguhnya telah merusak kehormatan dan kemuliaan perempuan. Di negara-negara penganut demokrasi dan kebebasan, telah terjadi syndrome pada kaum perempuan yang akhirnya gamang pada kemandirian mereka sendiri. Colette Dowling pernah menulis buku tentang Cinderella Complex, yang diamini oleh kebanyakan perempuan Amerika Serikat. Dowling menulis tentang perempuan-perempuan yang bertopeng keperkasaan, sementara di lubuk hati mereka tetap ingin dilindungi dan bergantung pada orang lain, terutama laki-laki. Inilah kemudian yang dikatakan sebagai ketidakbahagiaan kaum perempuan ketika menemukan kebebasannya.
Di beberapa negeri-negeri Muslim para pejuang hak-hak perempuan mengungkapkan data ketertekanan perempuan pada kondisi kulturnya yang dipandang mengekang kebebasan. Mereka ingin bebas seperti perempuan Barat. Namun, hal yang dicermati di sini, ketika demokrasi telah berhasil menanamkan pemikiran-pemikiran Barat yang menolak kebenaran wahyu pada diri kaum Muslim, maka terjadilah penyimpangan demi penyimpangan. Wanita Muslimah berpikir sebagaimana wanita Barat. Mereka tidak lagi berpikir sebagaimana seorang Muslimah. Wajar saja jika terjadi ketidaknyamanan. Namun, ketika Muslimah mengikuti jalan hidup yang bebas ala masyarakat Barat, mereka hanya akan menemukan kerusakan demi kerusakan.
Dalam Islam, seorang Muslimah terpelihara kehormatan dan kemuliaannya, karena Islam hanya mengikatkannya pada seorang laki-laki yang sah menikahinya dan memerdekakannya dari laki-laki yang lain. Sebaliknya, dalam kebebasan demokrasi, tidak ada seorang pun laki-laki yang berhak melindunginya; ia bebas dieksploitasi, dijamah dan dinikmati keindahannya oleh laki-laki manapun.
Islam memuliakan perempuan dan menempatkannya pada posisi dan peran yang tepat, sesuai kodrat penciptaannya. Perempuan adalah ibu generasi. Di pundaknya terletak tanggung jawab yang besar untuk melahirkan dan mendidik generasi sebagai aset bangsa. Agar peran tersebut berjalan dengan baik, Islam menetapkan sejumlah aturan yang mengatur pola relasi antara laki-laki dan perempuan agar terwujud keselarasan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Aturan-aturan tersebut meliputi hukum tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri, kehamilan, kelahiran Islam, penyusuan, jaminan nafkah, pendidikan anak dan lain-lain. Islam juga menetapkan kewajiban negara untuk memelihara dan melindungi tugas mulia ini.
Sesungguhnya Islam telah memuliakan perempuan dan menjaga kehormatannya, dengan konsep dan platform yang jelas. Hal yang tak pernah ada dalam sistem demokrasi sehingga kaum perempuan harus memperjuangkannya sendiri. Persoalannya adalah mereka tak akan pernah menemukannya di alam demokrasi.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Ir. Lathifah Musa, Anggota Pimpinan Muslimah DPP HTI.
tegakkan khilafah
saya sangat setuju dengan mbak latifah musa,bahwa demokrasi sangat merusak kehormatan dan kemuliaan perempuan dengan gombalan kebebasan berekspresi perempuan dijadikan sama seperti binatang piaraan. perempuan yang memakai pakaian yang tertutup dianggap kuno, free sex banyak terjadi dimana-mana. Ada salah satu teman saya mengatakan bahwa negara ini negara bebas jadi boleh dong memakai pakaian sesuai dengan keinginan kita selagi itu nyaman dan tidak mengganggu orang lain.