HTI

Dari Redaksi (Al Waie)

Demokrasi Sistem Kufur

Sungguh mengherankan ketika ada penulis yang mengklaim aktivis dakwah dalam sebuah situs Islam menyatakan demokrasi adalah milik umat Islam yang dicuri oleh Barat. Na’ûdzubillâh!

Pandangan menyesatkan seperti ini biasanya muncul karena keliru dalam memahami fakta demokrasi atau sekadar mencari-cari legitimasi (alasan) untuk membenarkan tindakan keliru yang selama ini mereka lakukan.

Demokrasi, misalnya, dilihat hanya sekadar pemilihan kepala negara (pemimpin) oleh rakyat; atau hanya proses pengambilan keputusan yang sama dengan musyawarah; atau sekadar kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengkritik penguasa. Dari situ muncul anggapan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.

Kita seakan-akan melupakan, bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang muncul dari akidah sekularisme dengan prinsip-prinsip pokoknya yang bertentangan dengan Islam. Demokrasi merupakan istilah Barat, yang oleh presiden AS Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg (1863) dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Prinsip pokok demokrasi yang paling mendasar adalah kedaulatan rakyat. Suara rakyat dianggap sebagai sumber hukum (source of law) yang paling pokok dan paling tinggi. Karena itu, kebenaran harus didasarkan pada suara mayoritas rakyat. Rakyat mempunyai otoritas mengangkat dan memberhentikan pemimpin. Rakyat juga berhak membuat peraturan dan UU karena mereka adalah pemilik kedaulatan melalui wakil-wakil mereka di parlemen. Berdasarkan prinsip penting ini perkara yang benar dan salah kemudian ditentukan oleh suara manusia atas nama suara rakyat atau suara mayoritas.

Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat ini kemudian dibangun sistem berikut mekanismenya. Dibuatlah sistem Pemilu regular untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Terdapat lembaga parlemen yang diklaim merupakan representasi rakyat, mekanisme pengambilan keputusan di parlemen yang berdasarkan suara terbanyak, pembagian kekuasaan yang dikenal dengan trias politika dan mekanisme koreksi lewat partai-partai politik. Semua itu dibangun untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Dalam Islam sangat jelas bahwa kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah. Sumber hukum satu-satunya (mashdar al-hukmi) adalah al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Jika kalian berselisih paham dalam suatu perkara, hendaklah kalian merujuk kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Dengan berpegang teguh pada dua perkara ini kita tidak akan tersesat. Inilah yang disabdakan Rasulullah saw.:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ

Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku (HR al-Hakim).

Karena itu, demokrasi dengan Islam bertolak belakang. Perbedaan secara mendasar demokrasi dengan Islam dilihat dari sumber kedaulatan ini.

Memang, baik dalam Islam maupun demokrasi, rakyatlah yang memilih kepala negara. Namun, syarat kepala negara dalam sistem demokrasi dan Islam berbeda. Dalam Islam, misalnya, di antara syarat kepala negara adalah wajib beragama Islam dan laki-laki. Sistem demokrasi tentu tidak mensyaratkan hal itu. Dalam demokrasi, pemimpin dipilih secara rutin lewat Pemilu reguler. Sebaliknya, dalam Islam, selama pemimpin (khalifah) masih memenuhi syarat in’iqâd (pengangkatan) yang hukumnya wajib, juga selama tidak melakukan penyimpangan dalam bentuk kufr[an] bawah[an] (kekufuran yang nyata), ia tidak boleh diganti. Dalam Islam terdapat kewajiban untuk menaati pemimpin selama dia tidak menyimpang dari hukum syariah.

Syura dalam sistem Islam juga berbeda dengan demokrasi. Kata Syaikh Abdul Qadim Zallum (1990), “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan).”

Jelas, dilihat dari sejarah kemunculan sistem demokrasi yang berasal dari Barat, prinsip pokok, berikut mekanisme yang ada di dalamnya, demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam. Sistem ini bahkan bertentangan 100 persen dengan sistem Islam. Sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur.

Dalam Islam tasyabbuh (menyerupai, meniru-niru) orang-orang kafir jelas diharamkan. Apalagi meniru dan mempraktikkan sistem ideologi mereka yang kufur. Berkaitan dengan ini, Syaikh Ali Belhaj (pemimpin senior FIS Aljazair) dalam bukunya, Ad-Damghah al-Qawwiyah li Nasfi ‘Aqîdah ad-Dimuqrathiyah, mengutip pernyataan Sayyid Qutb tentang haramnya tasyabbuh ini. Sayyid Quthub mengatakan, “Rasulullah melarang kaum Muslim ber-tasyabbuh dalam pakaian dan penampilan, gerak dan tingkah-laku, perkataan dan adab. Sebab, di balik semua itu terdapat perasaan batin yang membedakan konsep, manhaj dan watak jamaah Islam dengan konsep, manhaj dan watak jamaah lainnya. Rasulullah juga melarang kaum Muslim untuk menerima(hukum/aturan/ideologi) selain dari Allah Swt. Padahal manhaj yang Allah berikan kepada umat ini adalah untuk diwujudkan di muka bumi.” [Farid Wadjdi]

4 comments

  1. Mulyandi_Rasyidiq

    Sudah nyata demokratisasi memberikan implikasi sangat buruk kepada kaum muslimin, baik ekonomi, politik, sosial, keamanan, bahkan keyakinan. Orientasi politik ekonomi keduniaan semata yang diajarkan oleh ideologi demokrasi telah mengesampingkan orientasi dunia akhirat sehingga yang terjadi kerusakan semata.

    Jika sudah demikian, masihkah kita berharap kepada demokrasi buatan manusia dan melupakan sistem peraturan Ilahi?

  2. Tegakan khilafiyah tumbangkan demokrasi kufur, Allah beserta hamba-Nya yg memperjuangkan agama-Nya. Allahuakbar!!!.

  3. Banyak yang salah kaprah dengan demokrasi, tulisan ini dapat menjelaskan perbedaan itu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*