Islam dan Demokrasi
Disadari atau tidak, virus westoxiation (peracunan Barat) telah menjalar hebat ke sebagian besar tubuh ummat ini. Intelektual dan tokoh agama pun menjadi sasaran utamanya. Orang yang terjangkit virus tersebut biasanya gemar mempropagandakan—atau paling tidak mengakui—bahwa Islam akomodatif terhadap ideologi Barat, yang di antaranya turunannya adalah Hak Asasi Manusia (HAM), Pluralisme dan Demokrasi. Tidaklah aneh jika kemudian muncul pernyataan yang sering mengaitkan demokrasi dengan Islam atau sebaliknya. Misalnya, statemen bahwa Islam mengakui demokrasi; demokrasi ada dalam Islam; Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring; Islam agama demokratis dan segudang klaim dan justifikasi lainnya. Yusuf Al-Qaradhawi, misalnya, dalam bukunya Fikih Daulah menjelaskan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Pasalnya, menurutnya, substansi demokrasi adalah hak rakyat untuk memilih penguasa, dan itu ada dalam Islam.
Siapapun yang secara sejujur menyelami hakikat demokrasi dan mengaitkannya dengan dalil syariah pasti tidak akan sampai pada kesimpulan yang dangkal seperti di atas. Demokrasi sama sekali bukanlah ide yang berasal dari Islam; tidak ada kemiripannya dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Bahkan terminologi Islam dan demokrasi saja sudah contradictio in terminis, alias saling bertentangan satu sama lain, karena Islam menentang demokrasi dan demokrasi pasti menolak kehadiran Islam. Jadi, mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam atau sebaliknya merupakan tesis yang terburu-buru, terlalu simplistis, gegabah dan cenderung menyesatkan.
Demokrasi; Anak Kandung Sekularisme
Istilah demokrasi berasal berasal dari kata demos artinya rakyat dan cratein yang berarti pemerintah. Abraham Lincoln (1809-1865) mendefinisikan demokrasi sebagai “Government of the people, by the people, for the people” (suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Kemunculan demokrasi terinspirasi fakta negara kota (polis) di kota Athena, Yunani pada sekitar tahun 450 SM yang mempraktikkan pelibatan seluruh warga kota dalam proses pengambilan keputusan. Konsep Yunani Kuno tersebut digali kembali di Eropa pada ‘zaman pencerahan’, yakni era perlawanan terhadap kekuasaan gereja dan kaisar (pada zaman pertengahan) yang sarat dengan penyimpangan dan penindasan terhadap rakyat dengan mengatasnamakan agama (baca: gereja). Oleh karena itu, muncullah gerakan reformasi gereja yang menentang dominasi gereja, dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan. Puncaknya adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang berujung pada sekularisasi, yakni upaya kompromistik untuk memisahkan gereja dari masyarakat, negara, dan politik.
Pada masa itu, orang mencari suatu model agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan atau penguasa gereja. Ironinya, satu-satunya bahan yang tersedia bagi para pemikir di Abad Pertengahan adalah dari sejarah Yunani Kuno. Dari sejarah itu mereka belajar bahwa di Kota Athena tempo dulu diterapkan satu sistem, yaitu seluruh warga kota turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Sistem tersebut dianggap sistem yang baik oleh para pemikir Abad Pertengahan waktu itu. Mereka yang sedang tertekan oleh kediktatoran para raja dan kaum bangsawan serta penguasa gereja kemudian mengadopsi sistem Athena tersebut dan mempopulerkannya dengan nama “demokrasi”.
Menilik dari aspek historis, demokrasi jelas dilahirkan dari rahim sekularisme yang menolak campur tangan agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya negara. Selain itu, demokrasi juga murni berasal dari rekacipta dan hawa nafsu manusia, bukan berasal dari agama samawi manapun, apalagi Islam.
Manusia Bukan al-Hâkim
Salah satu pemikiran mendasar dalam demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Sebagai konsekuensi dari ide kedaulatan rakyat, rakyat melalui wakilnya dipandang memiliki hak untuk membuat konstitusi, peraturan dan undang-undang apapun; mereka pun berhak untuk membatalkannya. Dalam demokrasi semua standar dikembalikan pada akal manusia. Padahal faktanya, sehebat dan secerdas apapun, manusia tetaplah manusia; serba lemah, kurang, terbatas dan butuh akan yang lain. Fakta tersebut disadari sendiri oleh ahli hukum Barat seperti Prof. Dr. Angelius (Wijs Gerige Ge Menschapsleer). Dia mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan mutlak membutuhkan sesamanya. Oleh karena itu, apapun yang dihasilkan manusia—termasuk hukum—pasti mengalami kekurangan dan kelemahan serta akan menimbulkan perbedaan, perselisihan dan pertentangan.
Akal sama sekali tidak dapat menilai apakah sesuatu perbuatan itu baik (khayr) atau buruk (syarr), terpuji (hasan) atau tercela (qabîh). Hanya Allah (Asy-Syâri’) yang dapat menilai baik-buruk dan terpuji-tercelanya sesuatu. Alasannya, surga dan neraka adalah ciptaan Allah sebagaimana halnya manusia, langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah telah menentukan kelayakan manusia memasuki surga atau neraka bergantung pada sejauh mana manusia mengikuti perintah-Nya. Artinya, surga-neraka atau pahala-siksa merupakan konsekuensi dari sejauh mana manusia mengikuti hukum-hukum Allah, Pemilik surga dan neraka, bukan mengikuti kehendak manusia sebagai makhluk-Nya dengan segala keterbatasannya. Manusia tidak memiliki kemampuan menilai perkara-perkara yang berada di luar jangkauan akalnya, bahkan ia tidak mungkin mampu menilai perkara-perkara yang tidak dapat dia indera.
Pada praktiknya di negara sekular, hukum dan perundangan (termasuk persanksian) dibuat berdasarkan cara pandang terhadap kemaslahatan para pembuatnya. Jika cara pandang mereka terhadap kemaslahatan berubah maka hukum pun dapat berubah, begitu seterusnya.
Selain itu, manusia cenderung selalu ingin diuntungkan dan tidak ingin dirugikan. Oleh karena itu, jika manusia diberi kewenangan untuk membuat hukum, sudah bisa dipastikan dia tidak akan membuat hukum yang akan merugikan dirinya sendiri. Tentu realita tersebut sangat berbahaya mengingat penilaian terpuji-tercela, baik-buruk, pada diri manusia jelas berbeda. Kondisi itulah yang menyebabkan undang-undang buatan manusia sering dibuat, kemudian diperselisihkan, lalu dipertentangkan dan pada akhirnya akan dicabut jika dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat dan zaman. Oleh karenanya, hukum tidak boleh berasal dari manusia. Hukum haruslah berasal dari Yang Mahasempurna, yakni dari Zat Yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan. Dialah Allah SWT.
Demokrasi, Gagasan Utopis
Salah satu jargon penting dalam demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Para pegiat demokrasi ingin memunculkan kesan bahwa negara yang demokratis adalah negara yang mengakomodasi aspirasi masyarakat. Padahal sejatinya, praktek demokrasi yang saat ini berkembang dengan konsep representasi alias demokrasi perwakilan (representative democracy) hanyalah ilusi yang mustahil diwujudkan. Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon yang sengaja dipropagandakan untuk menipu rakyat, agar mereka merasa ikut serta dalam menentukan arah pemerintahan dengan berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi. Padahal sejatinya yang diuntungkan hanyalah segelintir orang, utamanya pemilik modal dan elit partai politik.
Demokrasi juga selalu mengalami distorsi. Pada demokrasi (perwakilan) yang dipraktikkan sekarang ini, 1 orang dipilih mulai tingkat DPRD I dan II hingga DPR RI untuk mewakili ribuan bahkan ratusan ribu orang. Artinya, 1 orang anggota legislatif harus dapat mewakili, menyerap dan menyuarakan aspirasi ribuan hingga ratusan ribu orang. Tentu yang demikian mustahil diwujudkan. Mana mungkin 1 orang anggota dewan dapat mewakili dan menyerap, misalnya, 400 ribu orang konstituennya? Mereka hanya duduk di bangku sidang sembari berasumsi bahwa rakyat yang memilihnya akan menyepakati apapun yang diputuskan di gedung parlemen. Distorsi pun semakin terbukti ketika produk legislasi wakil rakyat justru menguntungkan pihak asing, pemilik modal dan merugikan rakyat. Di Indonesia, disahkannya UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba (Mineral dan Batubara), UU BHP (Badan Hukum Pendidikan), dll adalah wujud konkret ilusi sekaligus manipulasi demokrasi.
Demokrasi: Alat Penjajahan
Kapitalisme dan penjajahan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kapitalisme tak akan hidup tanpa menjajah, sementara penjajahan adalah ’ruh’-nya Kapitalisme. Saat ini, negara kapitalis seperti AS dapat hidup dan kaya karena hasil mengeksploitasi negara Dunia Ketiga. Agar mereka dapat dengan mudah mengeruk kekayaan negara lain, maka adanya kesamaan standar, persepsi dan keyakinan bagi seluruh negara di dunia menjadi sangat penting. Standar, persepsi dan keyakinan tersebut sedemikian rupa akan dikesankan sebagai ide yang terbaik, berlaku universal, seperti halnya agama, sehingga mau tidak mau semua negara diarahkan (baca: dipaksa) menganutnya. Standar, persepsi dan keyakinan tersebut tidak lain adalah demokrasi (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi dunia yang muncul dari ideologi Kapitalisme.
Untuk memperjuangkan kepentingan ideologinya, yang dilakukan negara kapitalis adalah mengajak seluruh dunia untuk menjadikan Kapitalisme—termasuk demokrasi—sebagai standar, persepsi, serta keyakinan yang berlaku di segala aspek kehidupan bagi seluruh umat manusia. Untuk itu, negara kapitalis seperti AS melakukan internasionalisasi ideologi Kapitalisme sebagai asas interaksi dan UU Internasional. AS dan negara kapitalis lainnya kemudian membentuk PBB dan Piagam PBB, yang menjadi legitimasi dan alat kepentingan internasionalnya. Sebagai pembentuk badan internasional itu, AS tentu harus mendapat jaminan, bahwa kepentingan-kepentingannya tetap bisa terjamin. Karena itu, dibuatlah Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dengan anggota tetap yang memiliki hak veto. Dengan hak ini, AS dapat dengan mudah menggagalkan segala keputusan yang dianggap bertolak belakang dengan kepentingannya; tidak peduli sebaik apa pun keputusan itu; tidak peduli meskipun seluruh negara mendukung keputusan tersebut.
Dalam bidang politik, berbagai aturan yang jelas-jelas bersumber dari ideologi Kapitalisme dibuat dan diinternasionalisasikan. Lahirlah, antara lain, salah satu ciri penting demokrasi, kebebasan dengan dideklarasikannya Declaration of Human Right tahun 1948. Deklarasi ini mencantumkan penjaminan atas kebebasan manusia; terutama kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan perilaku. Internasionalisasi ini dibutuhkan AS agar setiap tindakannya di dunia internasional menjadi legal atau sah meskipun sebenarnya sekadar untuk kepentingan nasional (national interest) AS semata.
Demokrasi Menurut Kacamata Ulama
Para ulama yang lurus mendalami fakta demokrasi tentu akan sampai pada kesimpulan, bahwa demokrasi bukan hanya tidak ada hubungannya dengan Islam, tetapi bertentangan secara mendasar dengan Islam. Mereka yang mengkritik dan memberikan catatan negatif terhadap demokrasi di antaranya:
1. Adnan ‘Ali Ridha an-Nahwi. Dalam kitabnya, Syûrâ Lâ ad-Dimuqrathiyah, halaman 103, ia menyatakan, “Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit.”
2. Syaikh Abul A’la al-Maududi. Dalam kitabnya, Al-Islâm wa al-Madaniyah al-Hâditsah, halaman 36, ia mengatakan, “Telah saya