Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli terhadap penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.
Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan. Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Ada diktator militer, yang memerintah dengan asas, “yang kuat menguasai yang lemah.” Dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?
Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktator dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktator. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika). Jarang juga yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis, namun juga bukan diktator.
Karena itu, setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai dengan sejumlah perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.
Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vokal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila. Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut Pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariah Islam.
Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Karena itulah, negeri ini kemudian disebut sebagai negeri Muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).
Simplifikasi
Namun, semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simpel) sesuatu yang sebenarnya tidak sederhana itu. Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan—partai, Pemilu, parlemen—maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi dianggap hanya prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariah Islam. Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin Nazi yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses Pemilu yang demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”) sehingga pada Pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk mengubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi lawan-lawan politiknya). Karena itu, tidak aneh jika kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan. Pertama: bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Kita melihat bahwa pada Pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amien Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.
Kedua: pihak yang mendapat suara terbanyak tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syaraih Islam via jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair, tetapi kemudian militer yang direstui Prancis menganulir Pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan Pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun, pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!
Ketiga: pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjata (militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakikatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan Pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa jika militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People power yang sebesar apapun hanya akan berhasil jika militer mendiamkannya.
Untuk melakukan kudeta, bagi militer cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi, termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.
Keempat: hambatan konstitusi. Di beberapa negara, sekularisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekular, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap di tangan orang-orang sekular.
Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun, manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah kata al-Quran:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ، فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, namun ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (QS al-Balad [90]: 10-11).
Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), kadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat pada lunturnya ideologi partai. Para pemilih, bahkan tim sukses pun, tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu, kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah saw. yang merubah kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya kepada para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari luar negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.
Ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu-persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional. Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya, hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti itu akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang. Kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti itu akan digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia mempunyai kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!
Hanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) yang dapat mendobraknya, namun jalan ini adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung risikonya. Walhasil, banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakikatnya adalah sistem kufur. Akhirnya, karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekular yang kejam, bukan pula diktator korup.
Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan, sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang juga tanpa sengaja dapat terkepung di medan yang penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.
Jalur Alternatif
Namun, kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.
Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah saw., melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itu pun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang sehingga perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) berjalan mulus. Tentu saja jalan ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah jika dapat dipertahankan. Kuncinya perubahan total itu harus didukung oleh kesadaran masyarakat dan pemilik kekuasaan riil (ahlul Quwwah). Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang luar biasa tentang bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna. [Dr. Fahmi Amhar]