Demokrasi, oleh sebagian Muslim, dianggap sebagai keniscayaan, termasuk untuk memperjuangkan syariah Islam, karena tidak ada alternatif lain. Betulkah demikian? Ataukah ini hanya menunjukkan sikap pragmatis sebagian Muslim sekaligus kelemahan mereka dalam berjuang? Bagaimana pula sesungguhnya hakikat demokrasi itu? Sebagai sebuah rule the game, apakah demokrasi cukup ‘ramah dan bersahabat’ dengan partai-partai Islam selama ini ataukah justru sebaliknya? Bagaimana sebetulnya partai-partai Islam harus memainkan peran dan memfungsikan dirinya di tengah-tengah umat?
Beberapa pertanyaan di atas, secara ringkas namun jelas, dijawab oleh Jubir HTI, HM Ismail Yusanto dalam wawancara Redaksi dengan beliau di bawah ini.
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap demokrasi?
Penerimaan Dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Jika kita ringkas, ada tiga kelompok sikap. Pertama: yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Kedua: yang menolak sama sekali demokrasi; sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan bertentangan dengan Islam. Ketiga: yang mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tetapi Islam bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang islami. Perbedaan ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.
Mestinya kita harus kembali pada inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat. Dari sini jelas, demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat.
Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap HT sendiri terhadap Pemilu?
Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan (wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariah Islam adalah mubah. Keabsahan wakalah itu bergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna maka wakalah tersebut juga sah; jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi,maka tidak sah. Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul; dua orang yang melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan (al-umûur al-muawakkal biha); serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam. Jika semua rukun terpenuhi maka yang akan menentukan kemudian, apakah wakalah ini islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Jika yang dilakukan oleh wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam maka ini adalah wakalah islami. Jika sebaliknya, tentu tidak islami dan harus ditolak.
Apakah duduknya partai-partai Islam di Parlemen bermanfaat?
Masuknya seorang Muslim yang bertakwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekular ini akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketika mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyîr), menghentikan sistem sekularisme dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan kebobrokan sistem sekular itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Jika semua itu tidak dilakukan maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen akan digunakan pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyîr), bahwa mereka juga Muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut. c) Mereka akan menimpakan tanggung jawab kerusakan dan kezaliman yang lahir dari sistem sekular itu kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggung jawab adalah kaum sekuler saja. d) Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak, dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Sejauh mana partai-partai Islam saat ini memperjuangkan syariah Islam?
Perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suara partai-partai Islam dalam Pemilu selalu jauh di bawah partai sekular. Kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan Pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariah Islam sehingga seolah-olah hidup matinya bergantung pada Pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat; melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan zalim yang tidak sesuai dengan syariah; serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan di belahan Dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.
Bagaimana dengan anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat untuk perjuangan penegakan syariah?
Sebagian orang beranggapan, jika sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, yaitu pemenang Pemilu, selain berhak membentuk pemerintahan, juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariah Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis, tetapi faktanya pemerintahan sekular yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentoleransi keberhasilan sebuah partai Islam dalam Pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina membuktikan hal itu.
Bagaimana dengan sebagian orang yang menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi?
Pertama: harus dipahami, anggota HT mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan. Karenanya, jika sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekular, termasuk demokrasi itu sendiri.
Ada yang beranggapan, perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan demokrasi itu. Bagaimana dengan adanya anggapan ini?
Memang, ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham, tetapi sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi sehingga muncul pertanyaan, jika tidak melalui cara demokrasi, lalu menggunakan apa?
Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai tharîqah dakwah Rasulullah saw. Ini metode perjuangan yang islami, dan insya Allah akan bisa mengantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.
Ada pula yang memandang, perjuangan melalui demokrasi akan lebih cepat mencapai hasil daripada berjuang untuk menegakkan Khilafah yang membutuhkan waktu yang panjang. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan, cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini justru telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan secara cepat. Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui Pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya beberapa bulan. Namun, karena reformasi juga tidak dimaksudkan untuk melakukan perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan sebelumnya. Jika sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekular, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Tidak aneh jika upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50 tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu sepanjang ini.
Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Fase ini tidak mungkin terjadi jika Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama, yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Jika perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan metode atau tharîqah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sejak negeri ini merdeka, insya Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang.
Ada pandangan, ketidakterlibatan HTI dalam Pemilu merupakan penggembosan terhadap perjuangan politik umat?
HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalui kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah lahir ribuan kader dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu memungkinkan adanya tuntutan dari umat bagi terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi, bagaimana bisa HTI dituduh melakukan penggembosan perjuangan politik umat?
Juga ada pandangan, kalau HTI tidak terlibat dalam Pemilu, berarti hanya menjadi penonton?
Tudingan semacam ini baru benar jika HTI memang tidak melakukan apa-apa. Faktanya, HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan umat melalui berbagai cara (uslûb) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru Tanah Air. Ribuan forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang dikeluarkan oleh HTI baik berupa Buletin Jumat Al-Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar, Majalah al-Wa’ie, dan Tabloid Media Umat; juga makalah dan sebagainya yang tersebar, dibaca dan dikaji oleh umat. Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai Muslim. Kesadaran itu berpengaruh besar terhadap aspek ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran mereka dalam perjuangan ini. HTI pun sangat aktif melakukan kritik dan koreksi terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syariah, serta mengungkap konspirasi asing—yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah—di negeri ini dan negeri di Dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu, bagaimana bisa HTI disebut hanya menjadi penonton?
Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam Pemilu?
HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak didukung. []