HTI

Afkar (Al Waie)

Kaidah Ahwan Asy-Syarrayn

Salah satu kaidah yang sering dipakai saat ini adalah kaidah ahwan asy-syarrayn (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan). Kaidah ini sering digunakan untuk melegalisasi sesuatu yang haram; atau menjadikan sesuatu yang dilarang berubah menjadi sesuatu halal. Contoh:

1. Lokalisasi zina dan judi dibolehkan dengan alasan, jika tidak dilokalisasi akan timbul bahaya yang lebih besar, yaitu perzinaan dan perjudian akan menyebarluas.

2. Boleh terlibat/masuk ke dalam sistem kufur, karena jika tidak, akan muncul bahaya yang lebih besar, yaitu kepemimpinan akan dikuasai oleh orang kafir.

3. Solusi masalah Palestina adalah dengan mendirikan dua negara, untuk Israel dan untuk Palestina. Sebab, jika tidak, bahaya lebih besar akan menimpa penduduk Palestina; peperangan akan terus-menerus berlangsung dan akan menimbulkan darar yang lebih besar daripada bahaya akibat dibentuknya dua negara: Palestina dan Israel.

4. Mengambil demokrasi, meski di baliknya ada bahaya, merupakan keniscayaan bagi kaum Muslim. Sebab, jika tidak mengambil demokrasi, rakyat akan dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang madaratnya lebih besar.

5. Pemimpin wanita boleh, alasannya memiliki pemimpin wanita jauh lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Bahaya akibat kepemimpinan wanita lebih ringan daripada bahaya tidak adanya pemimpin bagi rakyat.


Mendudukan Kaidah

Perlu dipahami, kaidah Ahwan asy-syarrayn termasuk Qâ’idah Kulliyyah atau Qâ’idah Fiqhiyah. Qâ’idah Kuliyyah bukan nash (dalil) syariah. Qâ’idah Kulliyyah hanyalah hukum syariah yang digali dari nash syariah (al-Quran dan as-Sunnah). Menurut Mahmud Abdul Karim Hasan, Qâ’idah Kulliyyah merupakan al-hukm asy-syar’i al-kulli (hukum syariah yang bersifat global). Sebagai hukum syariah yang bersifat umum dan global, ia bisa meliputi dan diterapkan pada bagian-bagiannya (juz’iyatihi) atau yang termasuk jenisnya (afrâdihi). Sebagai hukum syariah, Qâ’idah Kuliyyah harus disandarkan pada dalil syariah, baik al-Quran, as-Sunnah, Qiyas maupun Ijmak Sahabat.


Makna dan Penerapan Kaidah

Makna kaidah ini, dengan redaksi yang berbeda-beda, menurut ulama yang mengadopsinya adalah bolehnya mengambil salah satu dari dua perkara haram yang lebih sedikit keharamannya atau lebih sedikit keburukan/mafsadatnya. Menurut Imam as-Suyuthi, kaidah ini adalah cabang dari kaidah, “Adh-Dharar yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).” Lalu dari kaidah ini lahir kaidah, Adh-Dharar lâ yuzâlu bi adh-dharar (Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).”

Hanya saja, jika dua bahaya/madarat bertemu dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus—dengan kata lain salah satunya harus dijalani—maka bahaya/madarat yang lebih besar harus dihilangkan (dihindari) dengan mengambil bahaya/madarat yang lebih kecil. Menurut Imam as-Suyuthi redaksi lengkapnya adalah:

إِذَا تَعَارَضَا مَفْسَدَتَانٍ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِهِمَا

Jika dua bahaya bertentangan maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan.1

Kaidah ini populer dengan istilah: ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang paling ringan di antara dua keburukan); aqalu adh-dhararayn (memilih bahaya yang lebih kecil di antara dua bahaya); akhafu al-mafsadatayn (memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan), dar’ al-mafsadah al-akbar bi al-mafsadah al-ashghar (menangkal mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil). yukhtâr ahwan asy-syarrayn aw akhafu adh-dhararayn (dipilih keburukan yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan); adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).2

Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi ‘emergensi’ (darurat/terpaksa). Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.


Dalil Kaidah

Menurut Imam Shalahudiin al-‘Ala’I, di antara dalil kaidah ini adalah Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Nabi saw. menyetujui klausul: jika ada dari penduduk Makkah datang kepada Nabi saw. dalam keadaan beriman maka ia akan dikembalikan ke Makkah. Jika ada kaum Muslim dari Madinah datang ke Makkah maka mereka tidak harus dikembalikan ke Madinah. Nabi saw. menyetujuinya—meski bisa membahayakan, yaitu melemahkan posisi kaum Muslim dan agama Islam—untuk menghindari bahaya yang jauh lebih besar, yaitu akan terbunuhnya kaum Muslim yang tinggal di Makah.3

Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam mengetengahkan dalil kaidah ini. Beliau menyatakan, “Namimah adalah mafsadat yang diharamkan, tetapi boleh dilakukan atau diperintahkan jika mengatakannya mengandung maslahat yang lebih besar bagi orang yang diberitahunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS al-Qashash [28]: 20. Berita yang disampaikan kepada Nabi saw. oleh para Sahabat tentang kaum munafik adalah juga dalil tentang hal ini. 4

Dalil yang lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa pernah ada seorang Arab Baduwi (pedalaman) berdiri di salah satu sudut masjid, lalu kencing di situ. Para Sahabat berteriak (hendak menghentikannya). Namun, Nabi saw bersabda, “Biarkanlah ia.” Ketika orang itu sudah selesai, Nabi saw. memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air. Imam an-Nawawi berkata, “Apa yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah upaya untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Menghentikan kencingnya di tengah-tengah akan menyebabkan menyebarnya najis pada pakaian, badannya dan pada beberapa tempat di masjid. Beliau mencegah bahaya yang lebih besar ini dengan mengambil bahaya yang lebih ringan (yaitu terkotorinya bagian tertentu dari masjid dengan air kencingnya).”

Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,5di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai.


Syarat Penerapan Kaidah

Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diberlakungan secara serampangan. Kaidah ini hanya diberlakukan pada dua kondisi:

1. Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita.

2. Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi.

Hanya saja, penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariah juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.

Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata:

Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).

Berikut ini beberapa contoh penerapan kaidah Ahwan asy-Syarrayn yang tepat sesuai dengan syarat-syaratnya: 6

1. Jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janinnya sekaligus, sementara harus segera diputuskan antara: menyelamatkan ibu, tetapi akan mengakibatkan kematian janin; atau menyelamatkan janin, tetapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan, ia akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, yaitu keduanya akan mati. Berdasarkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn, harus diputuskan menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.

2. Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan dibunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mencegah hal itu, namun pada saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya, sementara tidak mungkin melakukan keduanya sekaligus. Dalam hal ini, syariah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih diutamakan daripada menunaikan kewajiban. Yang harus dilakukan adalah mendahulukan untuk menyelamatkan orang yang akan dibunuh atau wanita yang akan diperkosa itu.

3. Boleh melakukan operasi cesar untuk mengeluarkan janin jika tidak bisa lahir secara normal meski dengan bantuan sekalipun.

4. Jika seseorang diancam agar membunuh si Fulan, kalau tidak mau ia akan dibunuh; ia tidak memiliki pilihan ketiga. Dalam kondisi seperti itu ia harus merelakan dirinya terbunuh untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu membunuh orang lain.

Jadi, penerapan kaidah harus memenuhi ketentuan, syarat dan batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Penggunaan kaidah tersebut untuk membolehkan perkara yang haram, seperti yang belakangan ini terjadi, sebenarnya hanya memperalat kaidah tersebut, menyalahi syariah dan tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur.

Misal: pendapat yang mengatakan (tentang Pemilu), “Kita harus memilih si A meski sekular, jangan memilih si B; karena si A mendukung kita, sedangkan si B tidak,” atau semisalnya. Pendapat ini secara syar’i tertolak. Yang harus dikatakan dalam masalah ini adalah kedua pilihan adalah perkara yang diharamkan. Kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat, karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan, yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan seperti: membuat hukum (tasyrî, legislasi); menyetujui program-program yang diharamkan; menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Karena itu, kita tidak boleh memilih kedua-duanya; karena memilih si A atau si B sama saja haramnya dan karena tidak memilih si A atau si B masih ada dalam batas kemampuan kita. Lebih dari itu, masih ada pilihan aktivitas lainnya yang bahkan hukumnya wajib. Jadi dalam hal ini kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diamalkan.

Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan: jika kita tidak memilih si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Hal itu sebagaimana kita tidak boleh mengatakan jika kita tidak memanfaatkan bar yang menjual khamr maka bar itu akan dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak berpihak kepada kita. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan dua perkara haram tersebut dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya.

Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ

Sesungguhnya jika manusia melihat kemung-karan tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum.

Bisa jadi ada yang berkata: kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri, tidak melakukan apapun. Jawabannya, “Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun—tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik—maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”

Dalam konteks ini kita harus meninggalkan keduanya dan melakukan pilihan ketiga yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan orang yang layak untuk dipilih dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam.

Kondisi tersebut sama seperti kondisi saat kepada seseorang disodorkan dua jenis makanan: bangkai dan daging babi. Apakah serta-merta ia boleh menerapkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn? Tentu tidak. Yang harus ia lakukan adalah meninggalkan keduanya dan bersungguh-sungguh mencari makanan yang halal, serta bersabar tidak memakan keduanya, kecuali jika sampai taraf darurat yang jika tidak memakan salah satunya ia akan binasa. Wallâhu a’lam bi ash-Shawab. [ <!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Verdana; panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:536871559 0 0 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom: