Maslahat (al-mashlahah, bentuk pluralnya al-mashâlih) adalah mashdar (gerund) mim dari kata shalaha–yashlahu wa yashluhu–shulûhan wa shalâh[an]; bisa juga dari kata shaluha–yashlahu–shulûhan wa shalâh[an]. Secara bahasa artinya adalah lawan dari fasâd (kerusakan). Karena itu, ishlâh dan istishlâh adalah lawan dari ifsâd dan istifsâd; maslahat adalah lawan dari mafsadat.
Di dalam Mu’jam al-Wasîth dikatakan shalaha shalâhan wa shulûh[an], artinya fasad (kerusakan) hilang darinya. Sesuatu yang bermanfaat dan sesuai dikatakan: yashlahu laka. Juga dinyatakan, mashlahah adalah ash-shalâh dan manfaat.
Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, “wa ashlahtuhu fa shalaha wa ashlaha adalah membawa ash-shalâh, yaitu kebaikan (al-khayr) dan yang benar/sesuai (ash-shawâb). Di dalam perkara tersebut terdapat mashlahah, yaitu terdapat kebaikan (al-khayr).”
Dengan demikian, maslahat secara bahasa dapat dimaknai sebagai manfaat, kebaikan dan jauh dari kerusakan. Jadi, maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan/mencegah kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat)—jalb al-manâfi’ aw al-khayr wa daf’u al-mafâsid aw al-madharrah.
Al-Quran dan as-Sunnah di banyak tempat menggunakan kata ishlâh sebagai lawan dari isfsâd. (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 11; al-A’raf [7]: 85 dan asy-Syu’ara’ [26]: 152. Adapaun di dalam hadis, misalnya, Abdurrahman bin Sanah mendengar Rasul saw. pernah bersabda:
بَدَأَ الإِِسْلاَمُ غَرِيبًا، ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ…
“Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Karena itu, beruntunglah orang yang asing.” Ditanyakan, “Ya Rasulullah, siapa orang yang asing itu?” Beliau bersabda, “Mereka yang melakukan perbaikan pada saat masyarakat melakukan rusak (HR Ahmad).
Jadi, al-Quran dan as-Sunnah menggunakan kata ishlâh dan ash-shalâh—yang merupakan asal dari mashlahah—dalam makna bahasanya, yaitu lawan dari ifsâd dan fasâd. Kata mashlahah sendiri tidak ditemukan di dalam nash baik al-Quran maupun as-Sunnah. Hal itu menunjukkan bahwa syariah tidak mendefinisikan kata mashlahah secara spesifik dan tidak mengalihkan pengertian dan maknanya dari makna bahasanya.
Dalam perkembangannya, istilah maslahat ini jadi menonjol dalam kajian ushul fikih dan para ulama ushul fikih. Akhirnya, istilah mashlahah menjadi salah satu istilah yang populer dalam kajian ushul fikih dan memiliki pengertian tersendiri yang lebih khusus daripada makna bahasanya.
Ibn Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir menyatakan, mashlahah adalah mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah).
Imam al-Ghazali berkata di dalam al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl:
Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan tentang mendatangkan manfaat dan menolak madarat. Yang kami maksudkan bukan itu. Jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah adalah maksud/tujuan makhluk dan kebaikan makhluk ada dalam pencapaian maksud/tujuan mereka. Akan tetapi, yang kami maksudkan dengan mashlahah adalah penjagaan atas maksud/tujuan syariah. Maksud/tujuan syariah dari makhluk ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan (nasab) dan harta mereka. Semua hal yang menjelaskan penjagaan lima dasar ini adalah maslahat. Semua yang melalaikan pokok-pokok ini adalah mafsadat. Sebaliknya, menolaknya, yaitu menolak semua hal yang mengabaikan pokok-pokok itu, adalah maslahat.
Menurut Imam asy-Syathibi dalam Al-Muwâfaqât, pada dasarnya syariah ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian Beliau membagi maslahat—yang juga disebut maqâshid—menjadi tiga jenis: maslahat dharûriyah, hâjiyat dan tahsîniyat. Disebut dharûriyah karena maslahat ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia; jika tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus; ia akan berjalan di atas kerusakan, kacau dan kehidupan hilang. Dharûriyah terdiri dari menjaga agama, jiwa, keturunan (nasab), harta dan akal. Disebut hâjiyat karena hal itu diperlukan untuk merealisasikan kelapangan dan menghilangkan kesempitan dan kesukaran, contohnya rukhshah. Adapun tahsîniyat maknanya adalah mengambil kebaikan (perhiasan-perhiasan) tradisi dan menjauhi kondisi yang kotor; semua itu dihimpun oleh bagian akhlak mulia, seperti bersuci, menutup aurat, berhias, ber-taqarrub dengan amalan sunnah, sedekah, dsb.
Hukum Syariah Pasti Membawa Maslahat
Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat.
Allah SWT juga berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82).
Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.
Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi manusia. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat. Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan.
Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm halaman 13 menyatakan, “Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal.”
Beliau berkata pada halaman 14, “Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat.”
Beliau juga berkata di halaman 13, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah.”
Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata—ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
نَهَانَا رَسُولُ اللهِ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
WaLlâh a’’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]