Awal bulan ini Pemilu 2009 akan digelar di negeri ini. Layaknya hajatan, Pemilu memang membutuhkan biaya besar. Lihat saja total anggaran yang pernah diajukan KPU 31 Oktober 2007 yang lalu. Total dana yang dibutuhkan sebesar Rp 47,9 triliun. Ini baru anggaran KPU Pusat. Belum KPUD.
Pilkada Jatim 2008 saja menghabiskan dana Rp 830 miliar. Untuk daerah lain, Litbang Kompas mencatat, Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar; Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya tidak kurang dari Rp 500 miliar. Tentu ini belum biaya yang dikeluarkan masing-masing calon. Pasangan Karsa saja, dalam Pilkada Jatim yang lalu, misalnya, secara resmi menghabiskan Rp 1,3 triliun. Belum lagi pasangan-pasangan lain. Jadi, hajatan Pemilu ini nyata-nyata menguras dana tidak kurang dari triliunan rupiah.
Pemilu dan Pilkada juga melelahkan. Secara umum rakyat Indonesia harus mencoblos atau mencontreng 3 hari sekali dalam Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kalau terjadi sengketa, konflik dan anarkisme akibat Pilkada.
Namun, sebagai ritual demokrasi, Pemilu tetap mutlak harus dijalankan. Sebab, sah-tidaknya praktik demokrasi ditentukan oleh Pemilu; tidak akan ada demokrasi tanpa Pemilu. Karena itu, semahal apapun dan sekalipun melelahkan Pemilu harus tetap berjalan. Begitulah. Namanya, juga ritual.
Pemilu selama ini diharapkan mampu membawa perubahan. Nyatanya, Pemilu dan demokrasi tidak membawa perubahan apapun. Janji-janji yang disampaikan oleh parpol peserta Pemilu, caleg, capres dan cawapres akhirnya terbukti hanya pepesan kosong. Wajar jika Pemilu pun nyaris diabaikan—jika tidak bisa dikatakan ditinggalkan—oleh rakyat. Rakyat sudah sadar, bahwa janji-janji perubahan itu hanya omong-kosong. Justru melalui wakil rakyat dan pemerintahan terpilih, produk undang-undang yang memiskinkan mereka pun lahir. UU Migas, UU SDA, UU Minerba, UU Penanaman Modal dan UU BHP adalah sedikit contoh dari produk mereka. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan mereka.
Bahkan atas nama wakil rakyat dan penguasa mandataris rakyat, mereka mengundang dan menyambut negara-negara penjajah dengan bangga, justru untuk melestarikan kepentingan sang penjajah di negeri mereka. Para wakil rakyat dan penguasa itu tidak malu dan sungkan menunjukkan kesetiaannya pada titah tuannya. Meski untuk itu, rakyat dan negeri mereka harus menjadi tumbal dari kepatuhan mereka. Proyek perang melawan terorisme, liberalisasi ekonomi, liberalisasi ajaran Islam dan kehidupan masyarakat adalah contoh telanjang dari bukti kepatuhan mereka. Penangkapan ulama, pencekalan pembicara dan penggagalan proyek kemanusiaan pun tanpa malu mereka praktikkan demi memuaskan nafsu sang majikan. Ibarat jongos, apapun titah sang tuan, langsung dilaksanakan tanpa reserve sedikitpun.
Atas nama demokrasi dan kebebasan, kemaksiatan pun merajalela. Kumpul kebo, zina dan homoseksual marak di mana-mana. Ironisnya, tidak ada yang mempersoalkan. Namun, atas nama demokrasi dan kebebasan, perkawinah yang sah menurut syariah justru dipersoalkan. Atas nama demokrasi dan kebebasan, Ahmadiyah tetap dibiarkan bebas dan diawetkan. Penistaan agama, baik terhadap al-Quran, Nabi saw. hingga syariah pun seolah dibiarkan.
Ketika kepercayaan rakyat pada demokrasi dan Pemilu pada titik nadir, justru ada yang mencoba mencari peruntungan; mulai dari pengusaha, pengedar narkoba, maling hingga pengangguran, semuanya ingin mencoba mencari peruntungan dari hajatan demokrasi. Mereka semuanya mendaftarkan dirinya menjadi calon-calon anggota dewan yang terhormat.
Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu hanyalah utopia. Memang betul mereka dipilih oleh rakyat, dan dari rakyat, tetapi jangan berharap mereka memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemilu sebagai proses perubahan juga hanyalah utopia. Nyatanya, Pemilu sudah berlangsung berkali-kali, tetapi nasib rakyat tidak pernah berubah. Inilah realitas demokrasi dan Pemilu, yang ternyata hanyalah fatamorgana. Dari jauh tampak indah, ternyata setelah dekat, semuanya hampa.
Namun, entah mengapa masih ada umat Islam yang belum jera, dan tetap percaya, padahal semuanya itu hampa dan terbukti sia-sia. Mahabenar Allah Yang berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
Apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik perbuatannya yang buruk, lalu dia meyakini perbuatan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? (QS Fathir [35]: 8).
Itulah gambaran yang dilukiskan Allah dalam al-Quran untuk mereka yang percaya pada jalan yang digariskan bukan oleh Allah, alias jalan setan. Namun, karena kepiawaian setan, jalan itu pun dihias sedemikian rupa sehingga seolah-olah indah dan baik. Untuk itu, berbagai dalih (hiyal) pun dibangun agar bisa menjustifikasi kebaikan semu itu. Semuanya itu konon demi kemaslahatan umat. Mereka lupa, atau sengaja melupakan peringatan Allah di dalam surah yang sama:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
Siapa saja yang menghendaki kemuliaan, maka kemuliaan itu semuanya hanyalah milik Allah. (QS Fathir [35]: 10).
Dengan demikian, siapapun yang menginginkan negeri ini terhormat, keliru sekali jika menganggap Pemilu dan praktik demokrasi bisa mewujudkan semuanya. Yakinlah, semuanya itu utopis. Lihatlah apa yang dialami oleh Amerika dan negara-negara Uni Eropa saat ini. Belum cukupkah semuanya itu menjadi bukti?
Karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada Allah, dengan cara mempraktikkan seluruh sistem-Nya. Hanya dengan itulah keberkahan dari langit dan bumi akan Allah turunkan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS al-A’raf [7]: 96).
Inilah saatnya! Allahumma waffiqnâ wanshurnâ fî thâ’atika wa al-Muslimîn.[]
Inilah demokrasi, atau setidaknya, inilah pelaksanaan demokrasi. Yang ada adalah formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Kenyataan demikian tidak hanya terlihat di negeri ini, tetapi juga di negara kampiun demokrasi seperti AS, Inggris, dan negaranegara Eropa. Sekali lagi, yang ada adalah formalisasi kepentingan. Substansinya sendiri, yaitu kemaslahatan rakyat, tidak mendapat tempat. Inilah demokrasi dan pelaksanaannya di dunia.
Konsep kedaulatan rakyat yang terdengar begitu membius ternyata hanya sekadar khayalan yang sangat jauh dari kenyataan. Dalam sistem demokrasi, pemerintah menjalankan kontrak dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan dengan mendapat gaji dari rakyat. Anehnya, pihak yang digaji menjadi lebih berkuasa atas pihak yang menggaji. Pekerja lebih berkuasa atas majikan daripada sang majikan sendiri. Jika rakyat berdaulat, mengapa rakyat dan kehendak rakyat tidak diperhatikan; mengapa pemerintah yang katanya bekerja untuk rakyat malah banyak memaksa rakyat; mengapa justru rakyat yang menuruti keinginan penguasa? Lalu di manakah kedaulatan rakyat itu? Inilah sebagian dari ironi demokrasi. Kedaulatan rakyat sebagai pilar demokrasi ternyata hanya ilusi. Demokrasi hanyalah formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu, tidak lebih. Rakyat tetap saja sebagai obyek penderita, tidak menjadi subyek.Oleh karena itu, tidak ada yang layak diterapkan oleh kita sekalian kecuali sistem Islam. Tidak layak kita merendahkan diri dengan menerapkan sistem lain yang bertentangan dengan sistem yang agung ini. Sistem demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada rakyat tidak layak untuk kita ikuti. Sistem itu justru menempatkan rakyat sebagai sekutu bagi Allah, Tuhan kita. Na‘ûdzu billâh min dzâlik.
pemilu memang hanya seremonial untuk melanggengkan sistem yang ada