Keraton Surakarta memiliki sebuah struktur pemerintahan yang tersusun atas beberapa lembaga, di antaranya lembaga pengadilan. Secara kelembagaan, pengadilan Keraton merupakan lembaga yang memberikan kontribusi dalam upaya penegakan hukum, menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kasunanan Surakarta. Sistem peradilan Keraton juga merupakan lembaga penegak hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi raja.
Sejak masa Mataram di Kartasura sampai pindahnya Keraton ke Surakarta, sudah ada campur tangan dari pemerintah Kumpeni dalam sistem peradilan di pemerintahan Kasunanan Surakarta. Perkembangan selanjutnya menunjukkan penetrasi Kumpeni ke dalam persoalan internal Keraton yang membawa perubahan dalam tata peradilan dan hukum Keraton. Kumpeni berupaya memaksakan rencana reorganisasi terhadap sistem peradilan, dengan maksud supaya pemerintah Keraton menyetujui perubahan baik dalam pelembagaan maupun pranata hukumnya.
Sistem peradilan di Kasunanan Surakarta banyak mengalami perubahan sejak menguatnya penetrasi sistem Kumpeni yang semakin intensif. Reorganisasi sistem pengadilan dilakukan Kumpeni secara bertahap. Hal itu menyebabkan kebijaksanaan Sunan banyak dipengaruhi Kumpeni. Meskipun demikian, legitimasi Sunan masih tetap terjaga di mata rakyatnya.
Intervensi Kumpeni terhadap sistem peradilan menjadikan Sunan hanya sebagai simbol. Kumpeni bertindak sebagai pengendali kekuasaan di wilayah Kasunanan Surakarta.
Reorganisasi sistem peradilan di Kasunanan Surakarta sudah terjadi sejak pemerintahan Sunan Paku Buwana II (1726-1749). Seluruh daerah Mataram masuk ke dalam wilayah Kumpeni. Akibatnya, Mataram bukan hanya kehilangan wilayahnya, tetapi juga harus menyerahkan urusan peradilan ke tangan Kumpeni. Perubahan yang penting, yaitu: mengenai eksistensi lembaga peradilan itu untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Lembaga Peradilan yang ada saat itu dikenal dengan Pengadilan Surambi. Pengadilan surambi merupakan pengadilan agama. Tempat pelaksanaan persidangannya pun masih di lingkup tempat ibadah, yaitu di Serambi bagian depan Masjid Agung. Hari persidangan pengadilan surambi dilaksanakan pada hari Senin sampai Kamis.1
Di dalam pemeriksaan perkara, pengadilan surambi menggunakan pedoman kitab-kitab Islam. Selain sumber utamanya al-Quran dan al-Hadis juga digunakan kitab-kitab karangan Asy-Syafi’i yang disadur dari Al-Wajis dan kitab-kitab karangan Al-Ghazali. Kitab-kitab yang disadur antara lain: Al Muharrar; An-Nihâyah, At-Tuffah, dan Fath al-Wahab2
Sebelum reorganisasi tahun 1903, pengadilan berwenang menjatuhkan hukuman kisas (qishâsh). Eksekusi akibat hukum kisas secara psikologis merugikan terdakwa dan keluarganya. Namun, hukuman kisas telah terbukti efektif dalam mengurangi kejahatan dalam masyarakat. Sebab, pelaksanaan hukuman kisas tersebut dapat menjadi pelajaran bagi orang lain di sekitarnya. Melalui reorganisasi dalam sistem peradilan, Kumpeni berusaha menghapus hukum kisas atas pelaku tindak kejahatan kelas berat. Menurutnya, hukum kisas tidak manusiawi dan bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa.
Dalam Rijksblad Soerakarta tahun 1930 no. 6 disebutkan, pelaksana pengadilan surambi adalah wedana yogoswara dengan dibantu oleh beberapa ulama dan khatib. Kemudian salah satu dari khatib itu ditunjuk oleh wedana yogoswara sebagai juru tulis.
Pengadilan surambi menangani perkara-perkara antara lain:
1. Pembunuhan dan perkelahian, yang dibedakan menjadi rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam; pembu-nuhan secara sengaja, yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak disengaja tetapi mengakibatkan kematian, dihukum denda; pembunuhan karena terjadi kesalahan, dihukum denda (diyat mugalalah).
Diyat mugalalah adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima3. Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta tersebut.4
2. Pencurian dan Perampokan. Pada masa pemerintah Sunan Paku Buwana IV, orang yang menginap di rumah orang lain dapat didakwa sebagai pencuri, jika tuan rumah tempat ia menginap kehilangan barang. Hukuman yang dijatuhkan kepada penginap, jika terbukti bersalah, adalah mengganti sejumlah barang yang hilang.
Dalam serat Angger Gunung tanggal 12 Oktober 1840, terdapat dua pasal: pasal 81 dan 83 yang menyangkut tindak kejahatan perampokan (njarah rayah) dan pencurian kecil-kecilan (nyolong, njupuk, anyeler, nyebrot, nguntil). Mereka, baik orang yang membantu ataupun yang dibantu (dibaluhi) dalam suatu pemberontakan, akan dipukul dengan rotan/cambuk 200 (dua ratus kali), dan selanjutnya dibuang ke seberang lautan.
3. Hutang Piutang dan Gadai. Dalam mengatur hutang-piutang, Kerajaan menghendaki diangkatnya saksi.5 Oleh Sunan Paku Buwana IV pekara tersebut diatur secara tegas dalam preambule serat Angger Nawala Pradata.6
Sunan membuat peraturan tidak hanya memakai saksi dalam urusan hutang-piutang dan gadai, tetapi juga seseorang disarankan untuk membuat perjanjian secara tertulis dengan tanda tangan dari kedua belah pihak.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX, peraturan mengenai hutang-piutang lebih diperketat. Pejabat Kerajaan yang mempunyai hutang dan tidak mampu untuk membayar bisa dipecat dari jabatannya. Sanksi ini dimaksudkan untuk mendidik para pejabat untuk bersikap disiplin. Sebab, kewibawaan pejabat mencerminkan kewibawaan sang raja yang berkuasa.
<p