HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Saya Siap Jadi Martir

SP PLN, Yes! PLN, Yes! Unbundling, No!” teriak para peserta Daurah (training) Kepemimpinan Serikat Pekerja (SP) PLN lantang. Yel-yel ini diteriakkan berulang-ulang dengan penuh semangat sambil mengacungkan tangan terkepal ke atas di sepanjang 3 hari acara Daurah. Mungkin pembaca bertanya-tanya, apa itu unbundling? Buat masyarakat awam, istilah ini memang sama sekali asing dan mungkin tidak terlalu penting.

Untuk diketahui, PLN sekarang ini sesungguhnya terbentuk dari nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan listrik asing sepeti OGEM, ANIEM, GEBEO dan lain-lain yang di masa Soekarno dalam kondisi unbundling (terpecah-pecah) kemudian disatukan (bundling) ke dalam perusahaan listrik dan gas negara (PLGN). Bundling (penyatuan) sejumlah perusahaan listrik swasta waktu itu dilakukan agar penyediaan listrik bisa lebih efisien dan mencegah agar listrik tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja.

Namun, posisi bundling dari PLN itu tampaknya akan segera berakhir. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa PLN pada 8 Januari tahun lalu telah memutuskan akan merestrukturisasi PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa Barat, Distribusi Jawa Tengah, Distribusi Jawa Timur dan Distribusi Bali) serta satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga ditetapkan akan dibentuk 2 BUMN Pembangkitan, yakni PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).

Keputusan inilah yang disebut merupakan realisasi dari rencana unbundling baik secara vertikal (fungsional) maupun horisontal (kewilayahan) seperti disebut dalam UU No 20/2002 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Unbundling merupakan satu tahapan menuju profitisasi dan privatisasi serta divestasi sebagaimana disebut dalam roadmap Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi (1998).

Lantas apa yang salah dengan keputusan itu? Menurut Ir. Ahmad Daryoko, Ketua Umum SP PLN, dalam surat terbukanya kepada Presiden SBY yang disampaikan bersama ribuan karyawan PLN yang melakukan demo di depan Istana Negara pada 31 Januari 2008 tahun lalu, unbundling semacam itu akan menyebabkan kenaikan harga listrik hingga 50% akibat adanya beban biaya (pajak, biaya operasional dan sebagainya) dari 3 entitas kelistrikan yang berbeda yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi, yang sebelumnya ketiganya itu menjadi satu di bawah PLN. Ini jelas akan merugikan konsumen (rakyat). Ini titambah dengan visi profitisasi dimana PLN ditempatkan sebagai perusahaan yang harus mencetak profit (keuntungan), yang akan semakin membawa PLN jauh dari fungsi kewajiban memberikan layanan publik (public service obligation) yang mestinya memang harus dilakukan oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Jika akhirnya privatisasi melalui divestasi benar-benar dilakukan, menurut Ir. Ahmad Daryoko, pihak swasta akan sangat dominan dalam penyediaan listrik yang ujungnya harga listrik akan didikte oleh kartel perusahaan listrik swasta.

Dominannya kartel perusahaan listrik swasta dengan segala dampak negatifnya telah dialami oleh Kamerun. Pada saat beban puncak (antara jam 5 sore sampai dengan jam 10 malam) kartel perusahaan swasta itu memaksakan kenaikan harga hingga 15 sampai 20 kali lipat. Kenyataan ini disampaikan oleh Dr. David Hall dari Public Services International Research Unit, London di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) saat membahas UU Nomer 20 tahun 2002 yang akhirnya dibatalkan oleh MK.

Jika alasan unbundling adalah untuk efisiensi dan transparansi, Mahkamah Konstitusi dalam konsideran penolakan UU 20/2002 telah menegaskan bahwa efisiensi dan transparansi adalah masalah teknis yang sangat bergantung pada kemampuan manajerial PLN serta faktor luar PLN. Inefisiensi yang terjadi pada tubuh PLN sekarang ini di antaranya dipicu oleh regulasi minyak gas. UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, terutama pasal 22, telah menyebabkan kelangkaan gas karena gas dalam negeri oleh perusahaan gas asing sesuai dengan UU itu lebih banyak diekspor. Akibatnya, di dalam negeri kekurangan pasokan gas, termasuk untuk PLN. Di seluruh Indonesia terdapat pembangkit dual firing yang berkapasitas 7500 MW. Dengan asumsi harga gas sebesar USD 5,5/MMBTU, maka biaya produksi sekitar Rp 7 triliun. Namun, akibat kelangkaan gas karena dijual ke luar negeri, maka terpaksa pembangkit itu dioperasikan dengan BBM yang biasa produksinya mencapa Rp 32 triliun pertahun. Jika UU Migas direvisi, dan PLN bisa mendapatkan cukup gas, maka didapat efisiensi sebesar Rp 25 triliun!

Setelah ditelusuri, ternyata rencana unbundling ini merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF sebagaimana tertera pada poin 20 Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani Presiden Soeharto pada Januari 1998. Poin ini kemudian ditegaskan lagi dalam Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi. Dalam buku putih itu, disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi. Dapat dipastikan bahwa undbundling saat ini akan sampai pada tahap divestasi/penjualan aset negara karena memang itulah yang diminta oleh negara donor terkait pengembalian utang negara.

Nyatalah bahwa keputusan itu tidak lain dibuat demi kepentingan kekuatan kapitalisme global yang saat ini tengah menyebarkan virus liberalisme di segala bidang, terutama di bidang ekonomi, lebih khusus lagi dalam bidang pengelolaan SDE (sumber daya energi). Keputusan RUPS PLN pada tanggal 8 Januari 2008 lalu adalah langkah awal menuju sasaran akhir sebagaimana terprogram dalam UU 20 tahun 2002, yang sudah dibatalkan oleh MK, yakni penjualan aset negara dan pelepasan tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyatnya.

Dalam konteks inilah, SP PLN telah berketetapan untuk terus berjuang menolak rencana unbundling. Nah, rangkaian Daurah yang diselenggarakan di sejumlah kota bersama DPP HTI dilakukan untuk mendukung konsolidasi di antara pekerja PLN. Konsolidasi yang terbaik diawali dengan kesepahaman ideologis, yakni perlawanan terhadap Kapitalisme, liberalisme dan sekularisme. Alhamdulillah, berdasarkan evaluasi obyektif, seluruh peserta merasakan manfaat luar biasa dari acara Daurah itu.

Bagi para peserta, Daurah ini bukan hanya memberi semangat untuk menolak rencana unbundling PLN, tetapi juga memberikan kesadaran baru tentang Islam dan kehidupan. Simaklah sebagian pengakuan jujur mereka (bukan nama sebenarnya):

Pak Abdullah (45), “Saya sampai tidak bisa tidur selama 2 malam ini. Sebab dalam menjalani kehidupan selama ini saya merasa jauh dari Islam dan saya yakin ‘pasti’ masuk neraka. Saya berpikir, bagaimana supaya bisa keluar dari kubangan neraka sehingga bisa masuk surganya Allah. Inilah yang saya pikirkan setiap malam sehingga saya tidak bisa tidur selama pelatihan ini.”

Kesadaran baru, itulah yang rata-rata dirasakan oleh peserta. “Saya merasa seperti baru mengenal Islam…Jujur selama ini, saya merasa sudah mengenal Islam secara baik. Namun, ketika mengikuti acara ini, saya merasa sangat sedikit sekali pemahaman Islam saya,” ungkap Pak Joko (46).

Pak Farial (54), Saya merasa otak saya ‘dicuci’ kembali. Saya menyadari bahwa otak saya selama ini telah ‘diracuni’ oleh paham-paham selain Islam seperti sekularisme dan Kapitalisme-demokrasi. Alhamdulillah, saya bisa mengikuti training ini yang merupakan kesempatan yang ‘luar biasa’ dimana otak saya bukan hanya ‘dicuci’ namun juga telah dikasih ‘antivirusnya’.

Kesadaran akan kesalahan di masa lalu ternyata tidak selalu membawa duka. Pak Joni (53) justru merasa bahagia. Katanya, “Ketika saya telepon istri dan kemudian mengutarakan kesalahan-kesalahan yang selama ini telah saya lakukan, istri hanya diam saja. Tidak berkata-kata. Saya dengar suara isak tangis ketika mendengar cerita dan komitmen. Ketika saya minta komentar, istri saya dengan suara lirih menjawab, ’Terima kasih, Abang. Semoga apa yang Abang cita-citakan bisa terlaksana.’ Sungguh ini adalah kata-kata yang ‘luar biasa’ dari istri saya. Saya belum pernah merasakan ‘kebahagiaan’ sebagaimana kebahagiaan ketika saya telpon tersebut. Semoga saya bisa menjaganya.”

Saya seperti ‘hidup kembali’. Setelah selama ini saya merasakan kegelisahan hidup. Apa yang selama ini berkecamuk di dalam hati dan pikiran, banyak terjawab dengan memuaskan selama pelatihan. Sungguh ini adalah pengalaman yang sangat berharga,” tutur Pak Ahmad (50) dengan sorot mata bahagia.

Bukan hanya mendapat kesadaran baru tentang Islam, para peserta juga tergugah tentang pentingnya perjuangan Islam. Pak Almend (49) menyatakan sejujurnya, “Saya merasa, selama ini kelompok yang memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah adalah kelompok ‘garis keras’. Gagasan menegakkan syariah Islam menurut saya selama ini adalah gagasan yang tidak cocok dengan Indonesia. Namun, setelah mengikuti training kepemimpinan ini, justru syariah Islam dan Khilafahlah yang akan mampu menyelesaikan problem yang saat ini dihadapi dan ditanggung oleh Indonesia.

Pada tiap akhir acara, seluruh para peserta bukan hanya bertekad akan memperbaiki diri, tetapi juga akan turut berjuang bagi tegaknya syariah dan Khilafah. Cetusan Pak Riza (55) kiranya bisa mewakili gelegak rasa para peserta. “Saya insya Allah siap jadi ‘martir’ bagi penegakan syariah Islam dan Khilafah. Saya siap ‘mati’ untuk membela PLN sehingga tidak jadi di-unbundling.”

Subhanallah, Allahu Akbar! [Kantor Jubir HTI-Jakarta]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*