Pemilu Legislatif telah usai. Partai nasionalis-sekular masih berjaya. Peta koalisi menyambut Pemilu Presiden pun mulai jelas. Golkar, PKS, PBB dan PKB tampaknya mantap merapat ke kubu SBY (Partai Demokrat). Gerindra dan Hanura menunjukkan isyarat kuat mendukung Megawati sebagai capres. PAN dan PPP masih mikir-mikir.
Dasar koalisi jelas bukan ideologi, tetapi pragmatisme yang didasarkan pada kepentingan untuk mendapat kekuasaan. Masing-masing merapat ke kubu yang kira-kira akan menang dan mendapat limpahan balas budi dari sang pemenang. Semangat ’yang penting bisa meraih kekuasaan’ pun sangat kental.
Demi kekuasaan, rasa malu pun harus ditinggalkan. JK dengan Partai Golkarnya, yang tadinya semangat berpisah dengan SBY, kembali merapat. Setelah lama tidak bertemu pasca insiden politik masa Reformasi, dua mantan jenderal, Wiranto dan Prabowo, kembali berpelukan. Ada juga yang tadinya mesra sekarang berseberangan.
Kalau itu dilakukan partai-partai nasional sekular, kita tentunya bisa maklum. Prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan memang menjadi adigium politik sekularisme. Politik, ya bagi-bagi kekuasaan. Namun, yang kita persoalkan kalau itu dilakukan juga oleh partai-partai yang secara dejure menyatakan sebagai partai Islam. Koalisi pragmatisme seperti ini menyimpan bahaya.
Pertama: bahaya ideologis, yakni berupa distorsi ideologi yang akan meruntuhkan idealisme dan konsistensi ideologi partai Islam. Ideologi partai sekular yang tidak berdasarkan Islam seharusnya dikritik dan diluruskan. Yang terjadi malah sebaliknya: berkoalisi; tentu saja dengan syarat tanpa mempersoalkan ideologi sekular.
Dalam Islam sudah sangat jelas bahwa asas partai haruslah Islam bukan yang lain. Misinya juga jelas, sebagaimana dalam QS Ali Imran: 3. Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok dari umat Islam yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.” Dasar dan misi partai sekular jelas bertentangan dengan itu semua.
Dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân dijelaskan bahwa yad’ûna ilâ al-khayr adalah mengajak manusia ke jalan Islam dan syariah-Nya yang Allah syariatkan kepada hamba-Nya. Akankah partai sekular itu mengajak untuk menegakkan syariah Islam?
Islam dengan sangat tegas mengharamkan segala bentuk kerjasama (ta’âwun) dalam hal dosa dan permusuhan (QS al-Maidah: 2). Imam Ali ash-Shabuni, dalam Shafwât at-Tafâsir, menafsirkan ayat ini: Tolong-menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran serta dalam perbuatan yang bsia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT juga dengan sangat tegas melarang kita untuk cenderung kepada orang-orang yang zalim (Lihat QS Hud: 113).
Track record calon presiden dari partai sekular jelas perlu dipertanyakan ‘ideologi’ Islamnya. Yang jelas selama ini sang kepala negara tidak menerapkan syariah Islam untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bagaimana mungkin Presiden seperti ini didukung dan partai Islam harus berkoalisi dengannya?
Saat menjadi presiden, sikapnya juga tidak tegas terhadap kekufuran. Sampai sekarang sikap terhadap Ahmadiyah masih belum jelas. Padahal mayoritas ulama dan umat Islam sudah menuntut pembubaran Ahmadiyah.
Para capres juga dikenal memilih kebijakan neoliberal dalam ekonomi selama ini. Ini jelas bertentangan dengan Islam dan menyengsarakan rakyat. Islam jelas menyatakan listrik, air, emas dan minyak bumi adalah milik umum (milkiyah ‘amah). Semua itu seharusnya dikelola oleh negara untuk rakyat karena memang milik rakyat, bukan malah diprivatisasi dan dijual ke asing. Belum lagi kebijakan politik luar negeri yang tidak jelas dukungannya terhadap umat Islam. Sang presiden menerima dan merangkul Bush dan Hillary Clinton yang jelas-jelas menjadi pembela Israel.
Distorsi Ideologi ini semakin menguat ketika partai-partai Islam (sebagai konsekuensi ingin lebih diterima dalam koalisi) membuka diri cenderung ke arah sekular. Sangat ironis kalau petinggi partai Islam mengatakan persoalan ideologi sudah selesai. Padahal jelas-jelas Indonesia masih dikuasai oleh ideologi kufur. Ada juga yang mengatakan bahwa syariah Islam adalah masa lalu. Padahal jelas-jelas Indonesia masih menerapkan hukum kufur, artinya kewajiban penegakan syariah Islam masih berlaku hingga kini.
Muncul pula sikap plin-plan. Sebelumnya dikatakan negara Islam itu wajib, sekarang tidak. Tadinya presiden wanita haram, saat angin perpolitikan berubah, pendapatnya juga berubah. Menjelang Pemilu sering dikampanyekan golput haram karena berarti membiarkan orang kafir, sekular dan musyrik berkuasa. Padahal partai-partai Islam selama ini malah berkoalisi dengan partai sekular atau mencalonkan pemimpin dari partai sekular, baik dalam Pilkada atau Pilpres.
Kedua: bahaya politik. Koalisi pragmatisme ini merupakan ’bunuh diri politik’. Rakyat bisa meragukan kesungguhhan partai Islam untuk memperjuangkan syariah Islam. Mereka melihat partai Islam tidak konsisten. Belum lagi oknum yang merusak citra partai Islam akibat tidak tahan godaan wanita atau harta. Ini jelas menjadi penghambat bagi perjuangan penegakan syariah Islam. Yang lebih berbahaya, keberadaan partai Islam dalam koalisi sekular itu mengokohkan eksistensi dan legitimasi sistem kufur yang ada. Padahal sistem kufur tersebut seharusnya ditolak, dibuang jauh-jauh dan diganti dengan sistem Islam.
Seharusnya kita menjadikan Rasulullah saw. sebagai pedoman dalam sikap politik kita. Kekuasaan politik memang kita butuhkan, tetapi harus dibangun dari asas Islam dan berdasarkan syariah Islam serta dengan cara-cara yang berdasarkan manhaj Rasululullah saw.; bukan dengan menghalalkan segala cara; bukan asal kekuasaan yang mensyarakatkan kita berkompromi atau cenderung pada kekufuran.
Rasul yang mulia pernah ditawari harta, kekuasaan dan wanita. Beliau menolaknya dengan tegas. Padahal kalau sedikit saja Rasulullah mau berkompromi, kekuasaan sudah di depan mata. Namun, Rasulullah saw. Menjawab, “Demi Allah, Jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku menghentikan dakwahku, aku tidak akan menghentikannya, sampai Allah memberikan kemenangan atau aku mati karenanya.” [Farid Wadjdi]