Pengantar:
Pemerintah sejak tahun 2005-an telah meluncurkan pengadaan listrik 10.000 MW. Benarkah proyek ini muncul dari sebuah perencanaan yang matang? Apakah ini proyek ‘akal-akalan’ saja? Benarkah ujungnya untuk kesejahteraan rakyat? Berhasilkah proyek ini? Ataukah sebaliknya, proyek ini justru ‘menyengat’ rakyat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, redaksi al-Wa’ie, Gus Uwik mewawancara Bapak Ir. Ahmad Daryoko (Ketua Serikat Pekerja PLN). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana awal munculnya proyek 10.000 MW itu?
Secara formal, sebagaimana peraturan yang ada, proyek ini ‘tidak ada’. Harusnya yang namanya proyek kelistrikan, apalagi yang gedhe-gedhe (besar-besar, red.) itu harus muncul dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), jadi jelas, planning-nya ada. Jadi, mestinya sebuah kebutuhan harus ada perencanaannya. Semua bisa diprediksi. Misalnya, katakanlah tahun ini baru punya 30.000 MegaWatt (MW). Di Jawa 20.000 MW, sedangkan di luar Jawa 10.000 MW. Lalu tahun depan seharusnya bisa diprediksi dari pertumbuhan ekonomi yang ada. Kalau pertumbuhan ekonomi 5%, maka untuk mengantisipasi kekurangan listrik, pertumbuhan listrik tidak boleh 5%.
Pada masa Orde Baru, pertumbuhan kelistrikan kontraksinya 100%. Artinya, kalau pertumbuhan ekonomi 5% maka pertumbuhan kelistrikan dibuat 10%. Itu semua untuk antisipasi konstruksi, menunggu selesai, dll. Jadi, semuanya bisa diprediksi. Nah, proyek 10.000 MW ini tidak ada dalam RUPTL.
Bagaimana bisa terjadi?
Proyek ini tiba-tiba langsung ada. Ini menjadi tanda tanya, kenapa kok tiba-tiba ada? Pasti ada sesuatu yang aneh memang. Sesuatu yang ada tanpa perencanaan kok, tiba-tiba blek ooo…aku butuh. Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba ada. Aneh, kan?
Dari pengamatan Bapak, apa di balik semua itu?
Secara eksak, saya tidak bisa memastikan. Kalau sudah kayak gini kan sudah repot. Tapi pasti ada sesuatu. Itu saja. Cuma peristiwanya kan terjadi sekitar tahun 2005-2006-an. Pada tahun-tahun tersebut di PLN terjadi peristiwa-peristiwa yang ‘mencengangkan’. Memang agak susah untuk mengait-kaitkannya. Soalnya gak ada bukti otentiknya. Tapi bahwa akhirnya terjadi politisasi, itu benar adanya. Besar sekali dan macam-macam.
Bagaimana dengan implementasinya?
Mencengangkannya pertama kali dari sisi tanpa perencanaan. Tahu-tahu diputuskan 10.000 MW. Itu angkanya darimana? Meski akhirnya orang nyocok-nyocokin ternyata cocok, tapi itu kan di cocok-cocokin. Bukan dari perencanaan dulu. Lalu dari sisi pelaksanaan. Pelaksananya kok tiba-tiba Cina semua? Sudah ada MoU dulu ke sana. Padahal kalau saya sebagai orang teknik proyek, kontraktor Cina ini kurang kredibel. Banyak kegagalan-kegagalan terjadi. Kegagalan-kegagalan teknis itu. Sebagai misal, Cilacap itu seharusnya 2 unit sekarang hanya 1 unit. Yang seharusnya 600 MW hanya 300MW. Labuan Angin juga seperti itu, seharusnya 2 unit hanya selesai 1 unit. Karena kegagalan konstruksi, equipment, dll. Itu karena kontraktornya Cina.
Nah, yang terakhir ini kok semuanya ke Cina. Alasannya murah. Padahal tidak juga. Kontraktor Cina pintar meng-creat additional work (kerja tambah-kerja tambah) yang akhirnya, ya sama saja. Jadi kalau Jepang, AS dan German itu standar perkiraan harga per mega sekitar 1 juta US$. Cina ini berani setengahnya. Antara 500-600 ribu US$ per mega. Dari sisi harga memang bersaing. Tapi faktanya, ya…hancur-hancuran.
Sekarang targetnya mau apa? Sampai dibuat MoU segala. Nah, ini semua sifatnya sudah politis.
Apakah tidak ada sanksi bagi kontraktor, ketika dalam pengerjaan baik dari waktu dan target, tidak sesuai dengan perencanaan, namun sudah default?
Begini, MoU yang dibuat oleh JK dan pemerintahan Cina itu kan seolah-olah pihak Cinalah yang melaksanakan. Dengan pertimbangan semata-mata harganya lebih murah. Kalau kita mau fair memilih kontraktor, memilih kontraktor juga komponennya macam-macam. Nah, ini seharusnya dibuka secara terbuka saja. Kenapa kok langsung MoU?
Alasan pertamanya memang kuat. Karena Cina bersedia juga untuk membiayainya. Banknya dari sana. Jadi ibaratnya kita ini mau beli mobil, showroom ini sekaligus membawa banknya. Bank of China sudah sanggup untuk membiayai. Tapi pada faktanya, kan tidak. Saya kan mengawasi proyek di Tuban, 2x 350MW, 2 unit. Sampai sekarang terjadi slow down karena terkendala pendanaannya. Jadi, gak jelas semua.
Bukannya Pemerintah menegaskan, bahwa untuk tahap kedua Bank of China sudah menyiapkan pendanaannya?
Selama ini juga seperti itu, tetapi pelaksanaan di lapangan tidak ada. Bahkan ada local person di tempat saya sekitar 1,25 triliun, sindikasi dari Bank Mandiri dan BRI, itu pun belum bisa dicairkan; menunggu komponen foreign currency-nya ini. Jadi sampai saat ini tidak bisa diproses. Saya sebagai pengelola proyek, apa yang disampaikan pemerintah, fakta di lapangan tidak ada. Jadi, proyeknya pada mandeg (berhenti, red.).
Kalau kondisi di lapangan seperti itu, terus bagaimana keinginan menyejahterakan rakyat?
Nah, itulah…karena kita ini suka main-main, sih. Jadi, antara keinginan untuk menyejahterakan rakyat dan praktik di lapangan tidak nyambung. Bahkan yang terjadi saat ini, visinya saja sudah kabur. Apa iya sih, akan menyejahterakan rakyat dengan ‘menggadaikan’ ladang-ladang minyak kepada asing? Ini kan tidak nyambung. Apa iya sih, mau menyejahterakan rakyat, ibaratnya kita dikasih warisan orangtua seperti rumah, motor, tv, dll. Nah untuk makan kita, kita menjual motor. Motor untuk bekerja kita, menghasilkan pendapatan, tetapi malah dijual. Ini kan orang yang kehilangan visi. Ladang minyak yang seharusnya dikelola, digadaikan atau diserahkan ke asing, kita hanya minta royalty-nya saja.
Katanya untuk rakyat. Berjuang untuk kepentingan rakyat. Kalau berjuang kok jual-jual aset negara seperti itu. Kalau asetnya habis terjual, apa nanti juga akan jual negara? Jadi gak ada daya juang para pemimpin negara ini. Kalau visinya untuk kepentingan rakyat, mestinya misi, yang lebih pendek lagi, tidak seperti sekarang. Strategi pencapaiannya harus jelas dan terukur. Kalaupun terpaksa menghutang pun yang baik. Kalau menghutang 100 perak, jangan sampai yang 70 perak di korup. Yang 30 perak diaplikasikan. Nah, ini semua katanya untuk rakyat.
Dalam proyek 10.000 MW ini apa garansi yang diberikan Pemerintah kepada pihak donatur, dalam hal ini Bank of China?
Sebenarnya garansi proyek adalah garansi Pemerintah, bukan garansi yang dikeluarkan oleh PLN. Tapi, toh walau telah digaransi oleh Pemerintah, tetap saja terjadi ingkar janji atau default dari kontraktor. Walhasil, terjadi keterlambatan atau kegagalan pembiayaan. Tapi sekali lagi, pangkal masalahnya karena semua ini tidak terencana dengan baik. Walaupun proyek ini didukung dengan Perpres karena memang proyek percepatan, tapi Perpres itu omong kosong. Saya kan yang melaksanakan proyek itu. Pada saat pembebasan tanah saja, kebetulan tanah proyek yang saya pegang itu tanah kehutanan, proses pembebasannya saja, dari Departemen Kehutanan ke Departemen Keuangan, dari Departemen Keuangan ke Presiden. Uuuh…lama sekali. Gitu saja memakan waktu hampir empat tahun. Itu saja gak selesai. Padahal proyeknya hanya 3 tahun. Tanahnya sendiri 4 tahun belum selesai. Jadi orang berpikir ada interest lain. Yang ini tidak bisa dijelaskan secara faktual.
Interest lain apa itu?
Ya…menurut saya tidak lepas dari sekitar fee dan duit bagi para pejabat itu. Jelas itu. Cuma caranya gimana saya kurang jelas. Tapi saya meyakini, itu sekitar-sekitar komisi, fee, setoran dan seputar-seputar itulah. Kalau ke China dapat berapa, kalau ke yang lain dapat berapa. Ternyata, mungkin ke China dapatnya lebih besar.
Ketika pembiayaannya tersendat, apakah PLN yang harus menanggung?
Iya. Karena tersendat tersebut akhirnya proyek ini ‘memakan’ cash flow-nya PLN. Ini yang meresahkan karyawan. Biaya-biaya operasional akhirnya tersedot ke proyek 10.000 MW ini.
Jadi, tegasnya proyek 10.000 MW ini proyek gagal?
Ya…proyek gagal. Sebab, proyek ini dikasih waktu hanya 3 tahun. Bahkan tidak sampai. Hanya 32 bulan. Tidak semua sesuai dengan keinginan. Yang jalan benar hanya 3 pembangkit; Labuan, Indramayu sama Rembang. Ini yang betul-betul running well. Yang lain-lain mangkrak semua. Tempat saya baru 10% saja.
Jadi, total target 10.000 MW itu yang terwujud berapa?
Labuan: 700MW, Indramayu: 3×315 MW dan Rembang: 650 MW. Total: 2.295 MW. Ya, baru 23%-nya yang selesai.
Kendala utama proyek ini sehingga gagal?
Terutama pembebasan tanah. Yang kedua pendanaan itu sendiri. Yang ketiga karakter kontraktor. Kita menghadapi orang-orang yang tidak gentleman. Kalau kita melangkah dalam pekerjaan, senantiasa berdasarkan pada meeting yang ada. Walaupun sudah hitam di atas putih, oleh kontraktor bisa dilanggar itu.
Jika proyek ini dikatakan ‘gagal’, bagaimana dampaknya?
Sebenarnya begini, kalau proyek ini tidak gagal maka kita akan bisa efisiensi dari sisi bahan bakar. Karena begini, di Jawa-Bali ini, kita kan punya pembangkit yang menghasilkan 7000 MW dengan duel firing. Pembangkit yang bisa pakai bahan bakar minyak dan gas. Selama ini kan gasnya tidak ada. Kalaupun ada tidak sampai 10%. Karena tidak ada gas, pakai minyak. Yang ada adalah timbul cost yang besar dan berlebih-lebih. Kalau 7000 MW ada gas, paling hanya membutuhkan 15 triliun. Dengan harga gas 5,5 US$/mbtu. Karena pakai gas, bisa sampai 60 triliun lebih.
Nah, kalau pembangkit dengan batu bara (proyek 10.000 MW) ini jadi, akan muncul pertanyaan lain. Sebab, begini, kalau kita bicara konsentrasi Jawa-Bali, sudah punya 21.500 MW terpasang, namun hanya menghasilkan 19.000MW. Saat ini kebutuhan 15.000 MW, jadi ada cadangan 4.000 MW.
Nah ini, dengan adanya proyek 10.000 MW, yang 7.000 MW-nya berada di Jawa-Bali dan berhasil semua, maka akan banyak yang nganggur. Dari sini terlihat dari sisi perencanaan saja sudah tidak nyambung. Kalaupun toh jadi, seharusnya di tahun 2009 ini atau maksimal 2010 depan, prediksi saya beban puncak belum sampai 25.000 MW. Jadi dari sisi cadangan sangat-sangat aman. Oleh karena menjadi hal yang musykil ketika di Jawa-Bali ada pemadaman-pemadaman.
Yang Luar Jawa, bagaimana?
Ya, memang agak kedodoran. Cuma tidak merata mereka. Seperti di Sumatera, khususnya Medan, kemarin saja defisit daya hingga 400MW. Itu memang iya. Di Luar Jawa sangat-sangat banyak sekali kekurangannya. Nah, proyek 10.000 MW, 3.000 MW tersebar di seluruh Luar Jawa, namun kecil-kecil.
Dengan 3.000 MW sudah cukup memenuhi kebutuhan listrik di Luar Jawa?
Saya rasa kurang. Apalagi untuk mengantisipasi pertumbuhan. Namun, tidak drastis juga. Mestinya 5.000 MW lah.
Jika proyek ini gagal, mengapa blow up media kurang?
Ya, memang. Jadi, gini. Untuk proyek-proyek padat modal memang begitu faktanya. Media kita kan sudah ‘dikangkangi’ kapitalis. 10.000 MW ini kan proyeknya kapitalis. Jadi susah.
Apakah ada indikasi proyek ini ‘pesanan’ asing?
Nah, itu pasti. Sebab, dari awalnya saja tidak masuk dalam agenda RUPTL. Tiba-tiba ada. Jatuh dari langit. Kalau sudah terkait dengan ‘uang’ indikasinya jelas asing atau kompradornya itu. Mereka-mereka yang meng-create undang-undang pro kapitalis, merekalah kompradornya. Jadi, pasti ada desain asing.
Proyek 10.000 MW ini apakah menyejahterakan rakyat atau justru ‘menyengat’ rakyat?
Ya, memang pada akhirnya akan menyengat rakyat, karena dijadikan permainan oleh para komprador tadi. Beban-beban hutang nanti siapa yang akan menanggung? Negara, kan? Negara pakai APBN, kan? APBN dari pajak. Pajak dari siapa? Ya, kembali dibebankan kepada rakyat. []